Mohon tunggu...
Sylvania Hutagalung
Sylvania Hutagalung Mohon Tunggu... -

Saya orang yang berfikir sederhana. Tertarik dengan arsitektur, sejarah, cerpen, dan puisi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Map of The Problematique

3 Februari 2014   21:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:11 354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Lalu masalahnya dimana?

Masalahnya adalah ketika kedua keadaan ini ternyata bisa disusun terbalik. Ketika tujuan itu bukan lagi sekedar proyeksi, namun fakta yang harus dan pasti terjadi. Masa kini justru menjadi relatifitas karena harus menyesuaikan dengan masa depan yang sudah terlanjur diamini sebagai sebuah kemutlakan. Inilah yang disebut dengan simulacra (simulacrum jika bersifat jamak).

Dalam pembukaan tulisannya, ‘Simulacra and Simulations – I. the precession of simulacra,’ Jean Baudrillard mengutip dongeng karya JorgeLuis Borges yang bercerita tentang tragedi sebuah peta. Alkisah, dahulu kala tersebutlah sebuh kerajaan yang sangat masyur. Sang raja ingin sekali membuat sebuah simbol yang bisa menunjukkan keadidayaannya. Lalu ia memerintahkan kartografer untuk membuatkan baginya sebuah peta yang berbeda dari biasanya. Sang kartografer pun menggambar sebuah peta yang begitu besar dan detail sehingga ukurannya sama besar dengan luas kerajaan itu. Karena peta itu begitu besar, maka sedikit demi sedikit kerajaan itu tertutup oleh peta itu sendiri. Sekarang peta itu adalah kerajaan itu, kerajaan itu adalah peta itu. Tidak adalagi pembeda antara yang nyata dengan yang rekaan. Kehebatan kerajaan itu sama masyurnya dengan kehebatan peta yang begitu besar itu. Ketika kerajaan itu runtuh karena tertutup peta, tragedinya pun sama menggenaskannya dengan sang peta yang akhirnya lapuk dimakan cuaca. Keduanya menjadi identik dalam segala hal yang membuat orang-orang tidak lagi bisa membedakan apakah mereka sedang berbicara tentang sebuah peta atau tentang sebuah kerajaan.

Simulacra tidak sama dengan simulasi. Simulasi bisa dipahami dalam hubungan antara diri kita dengan bayangan kita, dimana cermin bertindak sebagai batas. Batas disini sangat signifikan karena menjadi dasar dalam mendefinisikan mana yang nyata dan mana yang rekaan. Walau kita dan bayangan kita tampak identik, cermin yang berada diantara menjadi penegas bahwa hubungan yang terjadi selalu satu arah: kita mempengaruhi bayangan kita, bukan sebaliknya. Dalam simulacra, tidak ada lagi batas. Rekaan itu adalah kenyataan itu sendiri. Baudrillard menulis, “The simulacrum is never what hides the truth – it is the truth that hides the fact that there is none. The simulacrum is true.” Simulacrum bukanlah tentang menyembunyikan kebenaran (pengadaian dan seolah-olah), simulacrum adalah kebenaran yang menutupi fakta bahwa sebenarnya tidak pernah ada apapun. Simulacrum itu benar adanya.

Masa kini dan masa depan dimaknai berbeda dalam simulacra. Jika biasanya kita menarik garis lurus dari masa kini menuju masa depan, maka dalam simulacra masa kini dan masa depan berada pada satu titik yang bertindih. Satu-satunya cara menghubungkannya adalah dengan membuat sebuah lingkaran, sehingga sebuah perjalanan bisa tetap terjadi walau masa kini dan masa depan adalah satu kejadian dengan dua nama berbeda. Dalam cara pandang pertama, dua titik – masa kini dan masa depan,menciptakan jarak yang membuat perjalanan sering dimaknai sebagai pencapaian. Namun dalam cara pandang simulacra, masa depan adalah sesuatu yang pasti terjadi, karenanya tidak penting kapan dia terjadi. Yang penting adalah bagaimana membuatnya terjadi. Kemutlakannya membuatnya terasa hadir saat ini, tidak ada lagi rasa penasaran tentang apa itu masa depan karena masa depan telah didefinisikan saatini. Karenanya, sama seperti lingkaran yang harus bergerak 360 derajat untuk kembali ke titik awal, perjalanan disini dimaknai sebagai sebuah penggenapannya.

Bagaimana kita memahaminya dalam kehidupan kita sehari-hari? Mudah, tonton saja televisi! Ada terlalu banyak prediksi tentang penyakit, bencana, dan perang, dan lihatlah bagaimana beberapa masa kemudian hal tersebut benar-benar terjadi. Atau jika kita membaca kitab suci, kita akan mendapati begitu banyak nabi dan santo yang mendapat wahyu tentang masa depan, lalu mengamininya, dan hal tersebut kemudian digenapi. Entah kita orang suci yang menghidupi apa yang kita percayai dengan iman, atau orang tanpa kepercayaan tertentu yang hanya ingin hidup baik-baik, kita dapat memahami simulacrum disekitar kita dengan cara pandang yang sama. Simulacrum bukan sekedar teori, dia adalah fenomena yang coba dibahasakan secara akademis. Kita tidak lagi boleh menyederhanakan masa depan hanya sebagai sebuah misteri, seakan-akan misteri memberi ruang lebih untuk terjadinya kemungkinan-kemungkinan lain. Terlalu banyak hal yang harus kita sangkal untuk bisa kembali ke cara pandang seperti itu.

Inilah yang cobadiceritakan oleh Muse, sebuah grup rock asal Inggris, dalam lagu mereka Map of Problematique yang liriknya saya kutip pada awal tulisan ini. Namun, jauh sebelum Muse menjadikannya judul untuk lagu mereka, Map of Problematique adalah istilah yang lekat dengan sebuah kelompok bernama Club of Rome (CoR). Kelompokini terdiri dari orang-orang terpandang dan berpengaruh; mulai dari para kepala negara, birokrat, politisi, ilmuan, ekonom, hingga ke pemimpin bisnis dunia. Kelompok ini fokus dalam isu-isu penting yang menyangkut kemanusiaan dan keberlangsungan hidup manusia. Melalui analisa dan identifikasi masalah yang ada disekitar kita, mereka ingin mempropagandakan sebuah ‘perubahan.’ Salah satu laporan mereka, yang terangkum dalam buku The Limit to Growth, telah mampu membuka mata dunia tentang kenyataan bahwa di masa depan bumi akan lumpuh. Buku ini seperti kotak Pandora yang dibuka dan kemudian menciptakan ketakutan global.

Secara singkat, The Limit to growth (1972) adalah sebuah buku yang bercerita tentang interaksi antara faktor-faktor dalam ekonomi eksponensial dan pertumbuhan populasi manusia yang diperbandingkan terhadap ketersediaan sumber daya alam yang sifatnya sangat terbatas. Interaksi ini dijabarkan melalui sebuah simulasi komputer yang menggambarkan bagaimana sistem kehidupan manusia bersilangan dengan bumi dan sumber dayanya. Ada lima variabel yang menjadi fokus pengujian dalam permodelan awal; yaitu populasi manusia, laju industrialisasi, tingkat pencemaran lingkungan, laju produksi pangan, dan laju pengurangan sumber daya alam. Dengan mengubah kondisi lima variabel ini bentuk-bentuk konsisten dari kemungkinan yang ada dapat diketahui. Buku ini bukanlah ramalan pasti dan terukur tentang masa depan, hanya sebuah studi mengenai kecenderungan bagaimana sistem kehidupan kita akan bereaksi, sehingga gambaran mengenai masa depan dapat diprediksi. Dan dari hasil simulasi didapati bahwa ada 2 skenario negatif dimana bumi menjadi begitu kewalahan sebelum akhirnya kolaps, dan sebuah skenario positif dimana bumi akan mampu menstabilkan diri. Walau bukan sebuah jawaban yang terukur, namun hasil simulasi ini menjadi alarm bahwa kita perlu bersiap untuk kemungkinan terburuk. Sebagai sebuah buku dengan penjualan terlaris pada masanya, The Limit to Growth banyak mendapat pujian, juga kritikan secara luas. Beberapa ilmuan sempat ragu, apakah simulasi ini layak dijadikan pijakan (mengingat dampak ketakutan global yang ditimbulkannya) karena model yang dipakai sangat sederhana, bahkan terlalu sederhana untuk merepresentasikan dunia secara nyata. Namun gejala-gejala kegagalan bumi itu sedikit demi sedikit mulai terlihat kini, sama seperti apa yang diprediksikan beberapa dekade lalu, membuat banyak orang meyakini bahwa kotak Pandora itu memang telah terbuka.

Dalam dongeng tentang kotak Pandora, kutukan terjadi karena adanya keinginan untuk mengungkap apa yang seharusnya menjadi sebuah rahasia, sehingga mengkhianati sifat alami dari rahasia itu sendiri. Kita mencurangi waktu dengan melihat bagaimana sesuatu itu akan berakhir jauh sebelum kita menunaikan bagian kita, yaitu menjalani prosesnya dari awal hingga ke akhir. Karenanya, sebuah tujuan yang seharusnya menjadi ketegangan puncak dari perjalan hidup kehilangan misteri dan kegelapannya. Ketegangan itu bergeser ketengah, keproses dimana ramalan itu mencoba bertemu dengan penggenapannya.

Kita bisa memahaminya seperti ini; katakanlah kita memegang sebuah batang kayu yang ujungnya terbakar. Untuk beberapa saat, kita bisa tetap memegang sang kayu dengan aman karena api membutuhkan waktu untuk mencapai tangan kita. Tapi pada akhirnya kita harus melepaskan kayu itu jika tidak ingin ikut terbakar. Ketika kita melihat api pada batang kayu yang kita pegang, pertanyaannya selalu sederhana: kapan kita akan melepaskan kayunya? Apakah secepatnya atau menunggu detik-detik terakhir sebelum api membakar kita? Ini bukan lagi tentang bagaimana kita bisa menghentikan sang api, atau bagaimana kita menyelamatkan sang kayu. Ini hanya tentang seberapa cepat kita bisa menerima kenyataan bahwa api itu pasti akan membakar habis sang kayu.

Sekali lagi, lalu masalahnya apa?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun