"Kamu melamun ya waktu menyebrangi jalan?" tanya Arfi lugas. Rahma nyengir.
"Kok tahu?"
"Aku bisa menebaknya, Rahma."
"Sebenarnya aku tidak mau melamun, tapi...," Rahma menghela nafas panjang ,"aku sedang berpikir harus mengatakan apa lagi kepada Ayah dan Ibu. Rasanya, lama-lama aku tidak kuat juga...."
"Jangan menyerah, Rahma," ucap Arfi sambil menggenggam tangan Rahma.
"Bagaimana lagi...," Rahma tersenyum lemah. "Lihatlah keadaanku. Kalau seperti ini... siapa pun tidak akan pernah mencintaiku ya, Fi?" tanyanya lirih ," kurasa aku harus mengakhiri doaku sampai di sini.
Arfi menatap Rahma iba. Genggamannya kian erat di jemari Rahma.
"Jangan berhenti berdoa... mungkin nanti malam Allah akan mengabulkan doamu, besok, atau lusa... hanya jangan berhenti berdoa, Rahma."
Rahma tersenyum sambil menatap Arfi. Matanya terasa kian berat dan panas oleh air mata, duka, dan rasa putus asa.
Saat keluar dari rumah sakit, hujan turun menyergap. Arfi terpaksa berlari-lari menuju halte yang terletak di luar pagar rumah sakit. Sore menjelang malam itu suasana di halte sepi. Hanya ada beberapa orang pegawai yang juga terjebak hujan menunggu kendaraan umum datang.
Sambil duduk di kursi dan mengeringkan pakaiannya yang basah, Arfi mengambil handphone dari dalam tas tangannya. Ia mengetik cepat-cepat. Air matanya menetes perlahan saat memencet tuts demi tuts telepon dan menekan tanda pengiriman pesan.