Pada abad globalisasi, celah persebaran informasi adalah perkara yang mustahil dihindari. Berita sebagai representasi informasi ditafsir sebagai produk jadi yang memuat urgensi. Dalam hal ini, jurnalis sebagai nakhoda tim produksi dipertemukan dengan eksepsi politis yang bersemi kembali. Secara etimologis, jurnalistik berasal dari kata journ yang berarti catatan atau laporan harian. Jurnalistik adalah dua sisi cermin tak seiras yang dicerna secara skeptis oleh rakyat. Baik segmen plus maupun minus, tergantung bagaimana setiap insan mengartikulasikannya. Demikian pula, wartawan dan pers merupakan elemen yang tidak bisa dipisahkan dalam daur penyiaran berita. Sayangnya, wujud surat kabar yang hadir saat ini memicu spekulasi apakah ia muncul sebagai komoditas orisinal dari pers atau sekadar pemanis dalam hingar bingar dunia maya.
Sedari dini, masyarakat Indonesia telah mengenal apa yang dimaksud dengan koran, majalah, tabloid, dan sebagainya. Beberapa diantaranya adalah contoh karya jurnalistik berupa sumber bacaan konvensional yang menjelma konsumsi rutin masyarakat. Namun sayangnya, minat literasi di Indonesia semakin merosot setiap tahunnya. Mengutip data Badan Pusat Statistik tahun 2022 disebutkan bahwa tingkat kegemaran membaca masyarakat Indonesia secara keseluruhan berada di angka 59,52 dengan durasi membaca 4-5 jam per minggu dan 4-5 buku per triwulan.
Seiring kemajuan zaman, jurnalistik menawarkan variasi baru berupa booklet, artikel, dan rubrik online yang bisa ditampilkan pada gawai masing-masing orang. Mulai banyak masyarakat yang bergerak meninggalkan cetakan fisik surat kabar demi berkiblat pada entitas modern. Berdasarkan pengamatan WeAre Social pada tahun 2022, rata-rata pengguna internet yang mengakses media sosial menghabiskan waktu antara 60 menit hingga 180 menit lebih dalam sehari. Sedangkan untuk menonton TV, baik secara broadcast maupun streaming, rata-rata masyarakat menguras waktu kurang lebih 2 jam 50 menit.
Revolusi teknologi memicu progress baru dalam dunia jurnalistik yang mendatangkan beragam tantangan dan apresiasi dari masyarakat. Efek positif yang kerapkali kita temukan adalah kemudahan untuk menerima berita teraktual dimana saja dan kapan saja selama kita saling terkoneksi oleh jaringan internet. Ironinya, penyaluran berita yang lebih gesit dan efisien belum tentu tepat sasaran. Perihal ini mendasari kenaikan tingkat responsivitas publik terhadap isu-isu terbaru dibandingkan pada masa lampau. Dibuktikan dengan peningkatan jumlah akun media sosial dari tahun ke tahun yang melonjak tinggi, salah satu contohnya adalah platform Twitter yang marak digemari oleh kaum millennial di Indonesia.
Berdasarkan laporan We Are Social, jumlah pengguna Twitter di Indonesia mencapai 18,45 juta pada 2022. Jumlah tersebut setara dengan 4,23% dari total pengguna Twitter di dunia yang mencapai 436 juta. Pengguna media sosial yang menyetujui opini penggagas bisa membagikan laman berita dengan metode forward, sehingga mengundang pembaca lain untuk turut menanggapi serta meramaikan trending topic. Mereka dapat menyodorkan komentar kepada penulis artikel atau thread, bahkan menyampaikan kritik dan sarannya pada media sebagai bentuk eksistensi belaka.
Penulis ikut diuntungkan dalam fenomena ini, sebab lalu lintas pengunjung laman akan meningkat drastis dan penulis mendapatkan timbal balik berupa credit yang sebanding. Akan tetapi, kredibilitas penulis juga dipertaruhkan dalam ajang kepenulisan ini. Sebelum mengunggah suatu pemberitaan, penulis hendaknya memahami substansi persoalan secara menyeluruh agar tidak menumbuhkan kesalahan persepsi dalam mengutarakan permasalahan. Meskipun, pada dasarnya perspektif individu sangat berwarna dalam menyikapi isu, tergantung sudut pandang yang kita ajukan.
Sebagai salah satu implementasi hak asasi manusia, kebebasan pers di Indonesia telah dijamin dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999. Bidang jurnalistik berkaitan dengan popularitas media, termasuk media massa maupun media sosial. Itulah sebabnya, karier jurnalis nampak menggiurkan untuk dilirik sebab umpan balik yang diperoleh pun menguntungkan. Gaya kepenulisan tidak diatur secara strict. Sehingga, aspek ini turut mendukung produktivitas dan kreativitas penulis dalam menuangkan gagasannya.
Banyak pemuda menggandrungi profesi jurnalis sebab pekerjaannya dinilai cukup fleksibel. Seseorang bisa meliput, menulis, dan mengedarkan tulisan darimanapun dan kapanpun alias tidak terbatas ruang dan waktu. Asalkan, ia mempunyai kadar kepekaan yang tinggi terhadap isu kontemporer, sense kekritisan yang tajam, dan kompetensi terbaik untuk mengolah alur peristiwa supaya lebih menarik disajikan. Sama halnya dengan dialektika politik, hendaknya manusia lebih banyak belajar untuk mempelajari momentum.
Pewartaan politik dapat dinikmati dari berbagai kisi-kisi. Misalnya, menjelang pesta kontestasi politik, para tokoh berlomba-lomba membenahi citranya di hadapan publik. Mereka memakai media massa maupun media sosial untuk membentuk branding yang inklusif demi memancing lautan manusia untuk terpikat dengan visi misinya. Politikus dengan lincah memanfaatkan setiap peluang yang ada. Dalam aksi sosial, liputan media tidak pernah absen dari kungkungannya. Tujuannya, memacu sebuah framing agar setiap mata tertuju pada branding yang sedang mereka giatkan.
Maka, dari situlah lahir berbagai manifestasi baru. Bahkan, beberapa media massa fenomenal juga dikuasai para elit politik untuk membangkitkan popularitas. Walaupun penggorengan isu masih marak terjadi, pada akhirnya netralitas yang dijunjung tinggi oleh jurnalis pun dipertanyakan. Seorang jurnalis dituntut untuk memperhatikan dan menerapkan kode etik ketika sedang bertugas. Kode etik jurnalistik berisi deretan prinsip yang menjadi pertimbangan, perhatian, atau penalaran moral profesi wartawan.
Hakikat ini mengatur hak dan kewajiban dari pewarta. Landasan kode etik jurnalistik mengacu pada kebutuhan masyarakat. Sebab kebebasan pers yang ideal adalah keleluasaan yang tidak mencederai kepentingan publik serta tidak melanggar hak asasi warga negara. Menurut pasal tiga kode etik jurnalistik, wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah. Di era ambiguitas ini, kita lumrah mengalami dilema kala membedakan manakah hasil pemikiran dari jurnalis yang bertanggung jawab penuh terhadap kreasinya dengan orang awam yang sekedar menulis gamblang tanpa memverifikasi material isu yang disorot.
Problematika yang terus berulang dan mencoreng nama baik jurnalistik adalah eksposur hoax yang merajalela. Beredarnya hoax marak terjadi karena terbitnya akun-akun anonim atau fake account yang menobatkan dirinya sebagai basis terpercaya. Kurangnya kewaspadaan pembaca mengakibatkan mereka sering terjerat dalam distorsi wawasan. Click-bait yang muncul di sisi pembuka atau judul berita acapkali menyesatkan pembaca yang hanya mencicipi detail informasi sekilas saja. Akhirnya, penggiringan opini menjerumuskan pelaku jurnalistik pada trust issue khalayak umum. Mengapa insiden ini tidak terkendali? Sebab, perangkaian berita seringkali ditaburi oleh bumbu-bumbu politis yang tidak sehat, kemudian membujuk pembaca untuk menanam doktrin kebencian terhadap pihak lain sesuai permintaan elit politik.
Tetapi, kontradiksinya ialah laporan 2018 Edelman Tust Barometer menunjukkan bahwa dari dua puluh delapan negara yang dilakukan survei, Indonesia menduduki posisi kedua dengan persentase kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap media yang menyentuh angka 68%. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat melihat tren tingkat kepecayaan masyarakat terhadap media televisi masih tinggi. Hal ini diperkuat oleh data dari Katadata Insight Center (KIC) tahun 2022 yang menyatakan televisi masih menjadi sumber media yang paling dipercaya untuk mendapatkan informasi. Berdasarkan data tersebut, sebanyak 47% responden menjawab televisi sebagai media yang mereka percayai. Adapun media sosial berada berada diperingkat kedua dengan yakni dengan 22,4% responden.
Dunia jurnalistik tidak terbelenggu pada satu mimbar kontekstual, namun cukup strategis karena bisa diakses melalui beraneka portal. Tentu saja, keunggulan komparatif ini mampu menciptakan suatu korelasi antara jurnalistik dan panggung politik yang saling membangun komplemen. Kita dapat menyaksikan beraneka tayangan pendek yang muncul di televisi atau narasi singkat yang mendampingi postingan gambar di media sosial. Beruntungnya, unsur ini mampu menyalakan kembali pancaran warna yang pudar dalam dinamika perpolitikan Indonesia. Kita diperkenankan mendalami siapa aktor politik yang sedang berlaga dalam waktu dekat ataupun mencari ruang demi prospek jangka panjang lewat siaran dan tulisan.
Perpaduan epik dari jurnalistik dan politik menuntut kita untuk lebih terbuka pada urusan-urusan mungil di sekeliling, sebab setiap impresi komunal berpotensi dipolitisasi. Asosiasi politik selalu menyelimuti kehidupan dan segala aksi timbal baliknya akan selalu mencuat di sekitar kita. Maka dari itu, ada beberapa pekerjaan rumah yang membebani pelaku jurnalistik. Reputasi adalah komponen yang diutamakan. Mereka ulang suatu peristiwa harus memperhatikan keberadaan narasumber. Narasi hiperbola yang cenderung menggiring opini perlu dibenahi menjadi konstelasi kalimat yang lebih rasional untuk dipahami.
Implikasinya adalah peluang publik untuk mendapatkan berita yang berkualitas menjadi lebih besar sehingga menyokong pengembangan kualitas literasi masyarakat Indonesia dalam jangka waktu panjang. Sehingga, produk-produk jurnalistik pun turut berkontribusi dalam meregenerasi atmosfer politik yang sudah memanas. Persaingan politik bukan lagi disusupkan pada aliran intrik politis yang saling menjatuhkan. Namun, denyut kontestasi ini dapat dimaknai dengan ajang adu gagasan yang saling membangun negeri untuk kedepannya.
Tak dapat dipungkiri, interelasi media jurnalistik dengan ritme kehidupan yang lebih progresif sangatlah terpaut. Kemampuan menyortir kabar sesuai fakta dan nyata sangat diperlukan. Kebijaksanaan dibutuhkan dari dua belah pihak, baik pewarta maupun pemirsa. Pewarta yang bestari memberitakan peristiwa apa adanya, sedangkan pemirsa yang berakal akan menyimak output berita sampai akhir pengulasan. Apabila keselarasan ini tercipta, kita bisa menciptakan barometer pemberitaan yang lebih efektif dan iklim peningkatan literasi yang berkiprah dengan signifikan. Pada intinya, kontemplasi dunia jurnalistik bermula dari kita semua dan bermuara untuk  kemaslahatan seluruh umat manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H