Mohon tunggu...
Mahalya Bintang Vanesya
Mahalya Bintang Vanesya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa di Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada

Sosok yang gemar menulis dan membaca rekomendasi buku - buku terbaru. Penulis sedang menempuh masa perkuliahan di ranah sosial humaniora dan kini tertarik pada isu mental health serta self improvement.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Berita Politik Masa Kini: Eminensi Jurnalistik atau Kenaifan Dunia Maya?

9 Juni 2023   15:59 Diperbarui: 9 Juni 2023   16:07 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Problematika yang terus berulang dan mencoreng nama baik jurnalistik adalah eksposur hoax yang merajalela. Beredarnya hoax marak terjadi karena terbitnya akun-akun anonim atau fake account yang menobatkan dirinya sebagai basis terpercaya. Kurangnya kewaspadaan pembaca mengakibatkan mereka sering terjerat dalam distorsi wawasan. Click-bait yang muncul di sisi pembuka atau judul berita acapkali menyesatkan pembaca yang hanya mencicipi detail informasi sekilas saja. Akhirnya, penggiringan opini menjerumuskan pelaku jurnalistik pada trust issue khalayak umum. Mengapa insiden ini tidak terkendali? Sebab, perangkaian berita seringkali ditaburi oleh bumbu-bumbu politis yang tidak sehat, kemudian membujuk pembaca untuk menanam doktrin kebencian terhadap pihak lain sesuai permintaan elit politik.

Tetapi, kontradiksinya ialah laporan 2018 Edelman Tust Barometer menunjukkan bahwa dari dua puluh delapan negara yang dilakukan survei, Indonesia menduduki posisi kedua dengan persentase kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap media yang menyentuh angka 68%. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat melihat tren tingkat kepecayaan masyarakat terhadap media televisi masih tinggi. Hal ini diperkuat oleh data dari Katadata Insight Center (KIC) tahun 2022 yang menyatakan televisi masih menjadi sumber media yang paling dipercaya untuk mendapatkan informasi. Berdasarkan data tersebut, sebanyak 47% responden menjawab televisi sebagai media yang mereka percayai. Adapun media sosial berada berada diperingkat kedua dengan yakni dengan 22,4% responden.

Dunia jurnalistik tidak terbelenggu pada satu mimbar kontekstual, namun cukup strategis karena bisa diakses melalui beraneka portal. Tentu saja, keunggulan komparatif ini mampu menciptakan suatu korelasi antara jurnalistik dan panggung politik yang saling membangun komplemen. Kita dapat menyaksikan beraneka tayangan pendek yang muncul di televisi atau narasi singkat yang mendampingi postingan gambar di media sosial. Beruntungnya, unsur ini mampu menyalakan kembali pancaran warna yang pudar dalam dinamika perpolitikan Indonesia. Kita diperkenankan mendalami siapa aktor politik yang sedang berlaga dalam waktu dekat ataupun mencari ruang demi prospek jangka panjang lewat siaran dan tulisan.

Perpaduan epik dari jurnalistik dan politik menuntut kita untuk lebih terbuka pada urusan-urusan mungil di sekeliling, sebab setiap impresi komunal berpotensi dipolitisasi. Asosiasi politik selalu menyelimuti kehidupan dan segala aksi timbal baliknya akan selalu mencuat di sekitar kita. Maka dari itu, ada beberapa pekerjaan rumah yang membebani pelaku jurnalistik. Reputasi adalah komponen yang diutamakan. Mereka ulang suatu peristiwa harus memperhatikan keberadaan narasumber. Narasi hiperbola yang cenderung menggiring opini perlu dibenahi menjadi konstelasi kalimat yang lebih rasional untuk dipahami.

Implikasinya adalah peluang publik untuk mendapatkan berita yang berkualitas menjadi lebih besar sehingga menyokong pengembangan kualitas literasi masyarakat Indonesia dalam jangka waktu panjang. Sehingga, produk-produk jurnalistik pun turut berkontribusi dalam meregenerasi atmosfer politik yang sudah memanas. Persaingan politik bukan lagi disusupkan pada aliran intrik politis yang saling menjatuhkan. Namun, denyut kontestasi ini dapat dimaknai dengan ajang adu gagasan yang saling membangun negeri untuk kedepannya.

Tak dapat dipungkiri, interelasi media jurnalistik dengan ritme kehidupan yang lebih progresif sangatlah terpaut. Kemampuan menyortir kabar sesuai fakta dan nyata sangat diperlukan. Kebijaksanaan dibutuhkan dari dua belah pihak, baik pewarta maupun pemirsa. Pewarta yang bestari memberitakan peristiwa apa adanya, sedangkan pemirsa yang berakal akan menyimak output berita sampai akhir pengulasan. Apabila keselarasan ini tercipta, kita bisa menciptakan barometer pemberitaan yang lebih efektif dan iklim peningkatan literasi yang berkiprah dengan signifikan. Pada intinya, kontemplasi dunia jurnalistik bermula dari kita semua dan bermuara untuk  kemaslahatan seluruh umat manusia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun