Mohon tunggu...
Vanessa Karsten
Vanessa Karsten Mohon Tunggu... Freelancer - is not really a writer

Mengabadikan momen lewat tulisan. Pelita Harapan '21.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebuah Kisah di Balik Sepucuk Surat

18 Agustus 2020   12:35 Diperbarui: 18 Agustus 2020   12:50 427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Djaya sudah bergegas pergi. Desa demi desa dilewatinya mengikuti perintah dari sang pemimpin. Dalam perjalanan, terdapat beberapa penduduk tampak berjalan menghampiri mereka. 

Sang pemimpin menghampiri penduduk tersebut dan tampak berbincang-bincang, entah apa yang dibicarakannya. Penduduk itu tampak sangat ramah, ia menawarkan mereka sesuatu. 

Para prajurit lain duduk menunggu disebuah gubuk tua bersama dengan yang lainnya. Tak lama, Pemimpin itu datang menghampiri mereka, memberitahu bahwa tentara Jepang datang secara tiba-tiba dan menyerang mereka semua.

Kini mereka bergerak maju bersama parapejuang-pejuang lainnya, mempertahankan NKRI yang dicintainya, mereka berusaha melawan tentara-tentara Jepang dengan senjata yang mereka miliki. Tidak peduli bambu runcing ataupun senapan, mereka menusukkan bambu runcing itu ke tubuh tentara-tentara yang lewat tanpa rasa peduli. Suara rentetan senjata, gemuruh pesawat yang melintas di udara, serta suara-suara bom yang dilemparkan tidak menggetarkan mereka lagi. Mereka terus berlari menerobos kerumunan tentara Jepang itu.

Bercak dan cairan kental berwarna merah pekat itu menghiasi tanah, tak lama aroma amis bisa dirasakan setiap orang yang berada disana. Banyak orang bergeletakan tersungkur di tanah tak berdaya, suara tangis, ketakutan, teriakan-teriakan itu bisa dirasakannya sampai ke ujung nadi. Jantung mereka berdegup sangat kencang, takut jika ajal akan menjemputnya saat itu juga.

Djaya berjuang hingga akhirnya, DOR! sebuah peluru menembus dada kirinya, tepat menusuk jantungnya. Bambu runcing yang ia genggam jatuh ke tanah, badannya tersungkur, pandangannya kabur. Ia tahu ini akhir dari hidupnya. Namun, ia percaya bahwa semangat perjuangannya tidak akan pernah habis sampai kapanpun. Api semangatnya akan tetap berkobar bersama jiwanya kemanapun ia pergi. Hal ini dilakukan demi keluarganya, dan juga demi negeri ini, mesipun harus mengorbankan jiwa, raga dan juga permata terindah dalam hidupnya, -- keluarga kecilnya.

--

Suasana dingin malam ini menyelimuti Maryam. Wanita paruh baya itu duduk termenung di meja kamarnya, memandangi baju lusuh yang baru saja diambilnya dari lemari serta kotak berisi barang-barang peninggalan kedua orangtuanya sepuluh tahun yang lalu. Ia berharap, bahwa tentara Jepang tidak pernah datang dan menginjakkan kakinya di bumi Pertiwi ini. Ia membenci karena harus menerima kenyataan bahwa kedatangan mereka harus merenggut nyawa kedua orangtuanya serta membuatnya kehilangan orang yang dicintainya. Ingatan tentang peristiwa kelam itu terus menerus menghantui pikirannya. Ingatan tentang bagaimana saat tentara-tentara Jepang membuatnya terpisah dari suaminya, Djaya, dan bagaimana ia kehilangan suaminya untuk selama-lamanya. Maryam mengurus Tara seorang diri. Putri itu dibesarkan dengan sepenuh hati, setiap hari sebelum tidur, Maryam selalu menceritakan kisah-kisah sejarah yang dialaminya, dan juga bangsa Indonesia.

Klek! Suara pintu terbuka. Tampak seorang gadis berdiri di depan pintu, ia tersenyum dan menghampiri ibunya. "Ibu sedang melihat apa?" ujarnya penasaran. "Ini, barang sisa peninggalan orangtua ibu dan juga ayahmu. Sini kemari, ibu akan ceritakan kamu satu cerita lagi. Mau dengar?" jawab Maryam sembari tersenyum melihat anaknya. "Mau! Ibu, boleh aku bertanya lagi? Mengapa ibu selalu menceritakanku tentang peristiwa sejarah? Apakah tidak ada cerita lain?" Tara membalas.

Maryam menghela nafas mendengar pertanyaan anaknya, "Bukan begitu, Ibu ingin, kamu benar-benar memaknai setiap peristiwa ini. Agar Tara selalu ingat, perjuangan Ayah dan juga para pahlawan-pahlawan yang sudah berjuang, sehingga kita bisa seperti ini sekarang, ya?"

"Lihat ini, ini adalah baju milik Ayahmu. Ayah sudah berjuang hingga Indonesia bisa merdeka. Kamu ingat kapan peristiwa proklamasi kemerdekaan Indonesia?" Maryam bertanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun