Satu tahun kemudian, Djaya menepati janjinya untuk kembali. Mereka dikaruniai seorang anak yang sangat manis, berkulit sawo matang seperti ayahnya, dan juga lesung pipi yang menghiasi senyum cantiknya, persis seperti ibunya. Waktu demi waktu berganti, kehidupan Maryam jauh lebih baik dibandingkan saat ia hidup seoang diri.Â
Ia begitu kesepian, dan sedih. Namun, kembalinya Djaya tidak berarti mereka bebas dari penjajahan Jepang. Suaminya yang penuh tekad dan juang itu masih harus pergi untuk memperjuangkan kemerdekaan negeri tercintanya, Indonesia, bersama-sama dengan pejuang-pejuang lainnya.Â
Perlawanan demi perlawanan masih tetap berlanjut, Djaya dan para pahlawan-pahlawan pribumi lainnya berusaha memberontak dan melawan tentara-tentara jepang dengan bambu-bambu runcing dan juga senapan yang tidak secanggih milik tentara-tentara itu. Mereka ikut serta dalam pemberontakan daerah karena muak atas perlakuan Jepang terhadap rakyat Indonesia. Mereka sudah mempersiapkan semuanya sebelum mereka memulai perlawanan itu.
Satu hari sebelum Djaya pergi meninggalkan Maryam, ia menuliskan sepucuk surat yang bertuliskan bahwa ia terpaksa pergi meninggalkannya demi negeri tercinta.
Kepada Maryam, isteriku.
Maaf aku tidak tega membangunkanmu, aku menulis surat ini agar kau tau seberapa besar rasa cintaku padamu. Begitu pula rasa cintaku pada tanah air ini. Kau tahu aku tak pandai dalam menulis dan juga merangkai kata. Tapi aku yakin kau tau apa yang ada di dalam lubuk hatiku. Apapun yang sudah terjadi merupakan sebuah kesempatan bagiku. Bertemu denganmu, mengenalmu, bahkan memilikimu. Kejadian dua tahun lalu memang pahit. Aku benci perpisahan, kau juga kan? Tapi aku bersyukur diberikan kesempatan untuk bertemu lagi denganmu. Penjajahan ini, diluar kendali kita. Semua perilaku kasar, jahat, yang sudah dilakukan oleh para penjajah itu memanglah keji. Tapi kita tidak bisa tinggal diam. Besok, aku dan pasukan lainnya akan merencanakan sebuah pemberontakan. Aku menyesal mengatakan ini padamu, tapi aku harus. Jangan kuatir, aku akan kembali kepadamu jika Tuhan berkehendak. Namun jikalau tidak, ingatlah bahwa aku akan tetap menyanyangimu dan Tara, puteri kecilku, sampai kapanpun. Jaga Tara baik-baik, aku percaya kamu adalah orang yang tangguh, jangan lupa ceritakan perjuangan kita padanya ketika ia sudah dewasa nanti, jangan lupakan sejarah ini. Rasa nasionalisme ini harus kau tanamkan padanya sejak kecil, katakana bahwa ia akan menjadi putri yang hebat, seperti ayah dan ibunya.
Salam sayang, Djaya.
Matahari belum saja terbit, namun mereka harus segera memulai perjalanan. Sebelum pergi, Djaya menyempatkan untuk mengecup pipi anak gadisnya yang mungil dan juga mengecup pipi istrinya, berharap ini bukan saat terakhir ia diberikan kesempatan untuk melihat mereka.Â
Pada saat ia berbalik badan, Maryam memanggilnya, Djaya tersentak, tidak mengira kalau ia akan membangunkan isterinya, ia mengatakan pada Maryam kemana ia akan pergi, lalu mereka berpelukan sebagai tanda perpisahan.
 Sebelum Pergi, Djaya memberikan Maryam sebuah buku jurnal usang miliknya, dan juga sebuah kalung warisan mendiang ibunya, kalung itu amat cantik dengan liontin emas yang berkilau. Djaya memasukkannya kedalam sebuah kotak kecil dan meminta Maryam untuk memberikannya kepada Tara saat ia besar nanti.
Mayam mengerti, meskipun sesak ia rasakan di dada, ia menggendong puterinya dan menatap kepergian suaminya. Senyum tipis terbenak di pipinya, meskipun sebenarnya hatinya sangat hancur. Ia melihat putrinya yang sedang tertidur, berharap bahwa setidaknya, Tara bisa berbicara dengan ayahnya sebelum ayahnya pergi, atau paling tidak, ia melihat rupa ayahnya, untuk sekali saja dalam hidupnya.