Mohon tunggu...
Irfan Fahmi
Irfan Fahmi Mohon Tunggu... Advokat & Mediator -

Ayah dari 2 orang anak yang meminati jurnalisme warga dan menggeluti profesi advokat (www.ifadvokat.com)

Selanjutnya

Tutup

Politik

18 Mei 1998, Tatkala Senjata Mengokang

18 Mei 2014   22:47 Diperbarui: 8 Mei 2018   11:49 657
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekitar 200-an orang berseragam loreng menggunakan baret mirip pasukan elit dari satuan angkatan bersenjata saat itu, berdiri tegap membarikade laju massa menuju ke dalam gedung MPR/DPR. Tampilannya mengerikan. Senjata laras panjang, tak lagi digantungkan di belakang punggung, melainkan dipegang dan moncong senjatanya diarahkan ke barisan massa mahasiswa.

Emosi massa saat itu tak ciut. Dan tetap berupaya mendesak masuk ke dalam gedung. Beberapa orang aktivis mahasiswa yang berperan sebagai Dinlap (Dinamisator Lapangan) tetap lantang bersemangat berorasi dan mengajak massa berteriak yel-yel membangkitkan emosi dan semangat massa untuk tetap maju mendesak barikade.

Tiba-tiba, “Krak… Krak… Krak…”

Air muka saya langsung ciut dan pucat pasi. Jantung saya berdegup kencang. Sebagian mahasiswa di barisan terdepan, hampir merasakan hal yang sama.

Ternyata terdengar senjata dikokang tiga kali. Artinya, peluru dari dalam magazin senjata laras panjang siap menyalak.

Suasana aksi sekejap menjadi tegang seribu tegang. Pikiran saya langsung melayang, dan membayangkan cerita tentang peristiwa di lapangan “Tiananmen” tahun 1989 di China, di mana 1000-an lebih mahasiswa tewas dibantai oleh tentara pemerintah RRT saat berupaya membubarkan aksi ratusan ribu mahasiswa. Saat itu saya merasa peristiwa Tiananmen bakal terulang di Jakarta pada hari itu.

Saya pun berdoa…

Alhamdulillah, insiden menegangkan itu berlangsung tak lama. Situasi mulai terkendali. Massa tetap tidak panik. Dan akibat insiden itu, simpul-simpul aktivis memutuskan untuk membawa massa aksi kembali mundur. Rencana menginap dibatalkan. Dan memutuskan untuk kembali aksi ke DPR pada esok hari.

Sebelum massa mundur pulang, muncul Amien Rais di tengah-tengah massa. Nampaknya ia berniat berorasi di hadapan massa. Namun massa menolak kehadirannya dan mengusirnya. Bahkan menyorakinya. Ketidakpercayaan terhadap elit politik yang sering dianggap hanya mengambil untung demi kepentingan politik kelompok dan pribadinya, menjadi alasan massa menolak kehadiran Amien Rais. Betapa malunya Amien Rais saat itu. Orang sekaliber dia, ternyata diperlakukan seperti itu, dan diliput oleh media massa pula.

Setelah aksi pada senin 18 Mei 98, besoknya pada hari Selasa 19 Mei 1998 sekitar jam 3 sore, aktivis FKMsJ kembali lagi aksi ke Gedung MPR/DPR dengan melibatkan jumlah ribuan mahasiswa yang jauh lebih besar dibanding aksi hari Senin. Dan sejak itulah selama 2 malam, para aktivis mahasiswa menduduki dan menginap di gedung MPR/DPR.

Yach…. Tulisan ini sekedar mengingat apa yang pernah terjadi dan saya alami tepat di hari ini pada sembilan tahun yang silam (sekarang sudah 16 tahun). Peristiwa yang bisa saja terlupa dalam ingatan karena dikikis perlahan oleh waktu. Semoga menjadi refleksi dan evaluasi di masa depan. Setidaknya, sekedar menjadi cerita dongeng tidur buat anak cucu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun