Bulan di langit  memancarkan sinarnya ke bumi, posisinya berarada  tepat  diatas ubun ubun kepalaku, cahayanya terang menyinari, indah dan mempesona, semua menyambut sang bidadari malam dengan sukacita, bulan purnama melukiskan tentang betapa agungnya ciptaan Tuhan, Malam ini begitu damai  tenang dan sepi,
Listrik yang menjadi kebutuhan nomor satu di era digital saat ini lagi padam Sudah menjadi kebiasaan di lingkungan kami,ketika listrik padam semuanya panik seperti Gempa bumi 7,0 Skala Richter (SR), terdengar jelas suara tetangga yang lagi marah karena  padamnya listrik tersebut,karena siaran atau berita yang yang sedang mereka saksikan di layar televisi terpotong dan terganggu, televisi adalah salah satu hiburan buat penduduk yang lagi bersantai dan beristirahat di rumah setelah penatnya bekerja seharian.
Di halaman saya duduk di sebuah batu dibawah rimbunnya pohon kersen yang Saya tanam dua tahun yang lalu,dalam kesendirian itu saya membayangkan tiga puluh tahun silam, di zaman ketika aku kecil dulu,
Tiga puluh tahun yang lalu di dusun kecil, di lembah sebuah gunung Inerie,Dusun yang subur dengan panorama alamnya yang indah,bukit yang hijau dengan segala komoditi didalamnya, penduduknya yang ramah budaya yang kental, sopan santun dan orangnya yang ramah terus dipupuk dan dijaga sampai saat ini, nama dusun itu Buu, berada di Kecamatan Jerebuu, Kab.Ngada, Propinsi Nusa Tenggara Timur,
Waktu itu umurku sebelas tahun ketika bulan terang seperti malam ini, itulah saat saat terindah buat kami anak – anak seusia berkumpul dan bermain. ,permainan yang paling cocok untuk bulan terang seperti ini yaitu perimainan hadang yang kami sebut permianan terima, tidak ada aktifitas lain selain permainan itu.
Di masa itu Listrik dan Televisi merupakan barang langka, belum ada PC Laptop, Handpone,dan alat digital lainnya belum ada Kami saat mengenal televisi hanya lewat buku dan gambar atau melihatnya di kelender usang yang tempel di dinding kantor sekolah.
Satu satunya yang memiliki televisi saat itu hanya di di kediaman pastor paroki kami, kami hanya diperbolehkan menonton pada hari Sabtu,dari pukul 19.00 sampai 21.00. bila kiat terlambat datang berarti nontonnya dari luar jendela karena ruangan sudah terisi penuh. Supaya dapat nonton dengan nyaman kita harus datang lebih awal.
Waktu nontonnya cukup Dua jam karena besok hari Minggu ada kebaktian di gereja“itu kata pastor.
Sinetron saat itu Tuturtinular cerita seorang Kesatria yang gagah berani pada zaman kerajaan tempo dulu.
Jadi kami yang hidup di zaman batu nonton cerita sinetron tentang zaman batu ,kami mengikuti ceritanya tidak sampai selesai karena sinetronnya bersambung .biasanya lanjutan cerita kami dengar dari karyawan paroki,entah benar atau tidak, dan dalam bercerita beliau selalu menambah bumbu penyedap,dan sedikit lelucon sehingga kita jadi bersemangat mendengarkan ceritanya maklumi saja karena yang menonton kelanjutan cerita hanya mereka di malam berikutnya