"Pernikahan itu adalah ibadah seumur hidup. Bukan lagi tentang egomu, egonya, tapi tentang bagaimana kalian mampu menyeimbangkan ego masing-masing dan membangun mimpi bersama." (Ibu, 15 Juli 2018)
Setiap kisah cinta pasti memiliki keistimewaannya masing-masing. Mungkin saya dan suami saya, salah satunya. Kami menikah di tanggal 16 Juli 2018, sekaligus merayakan 29 tahun pernikahan kedua orang tua kami (baik Ayah dan Ibu saya, maupun Ayah dan Ibu suami saya) yang juga menikah di tanggal 16 Juli 1989.
Saya mengenal suami saya di akhir November 2017, ketika kami sama-sama tepilih menjadi penerima beasiswa pemerintah Indonesia. Tak sampai empat bulan masa perkenalan, lelaki ini menyatakan perasaan dan ingin bertemu langsung dengan orangtua saya.
Semula terasa ganjil, mengapa begitu cepat? Tapi, seringkali Tuhan, sang Maha Penulis Skenario terbaik memang punya cerita surprise, salah satunya adalah bagaimana Ia mempertemukan dua insan dalam waktu yang singkat menurut logika kita sebagai manusia, mengikat janji dunia akhirat.
Pasca menikah, mungkin sebagian besar pasangan millennial akan mengunggah cerita manis berbulan madu di Labuhan Bajo, Bali, atau tempat-tempat romantis lainnya. Tapi tidak dengan kami.
Kami memutuskan untuk berlibur selama satu malam di Malang, itu pun karena hadiah dari sahabat saya. Setelah itu, kami kembali pada realita merajut mimpi bersama: mempersiapkan studi master.
Hari ketiga pernikahan, kami berpanas-panas ria di Jakarta yang semrawut, untuk mengambil visa. Saya akan menempuh studi master di Clinical Pychology di University of Groningen, Belanda. Sementara suami saya akan mengambil studi master Robotics and Mechatronic Engineering di University of Leeds, Inggris.
Ya, Long Distance Marriage adalah salah satu keputusan besar sekaligus pengalaman terbaik di awal tahun pernikahan kami.
Sanggupkah LDM di awal tahun? Begitu tanya sebagian besar orang yang saya temui, yang mau tidak mau cukup memengaruhi pikiran saya. Mungkin ini hikmah dari mengambil mata kuliah Psikologi Keluarga di tahun 2014 silam. Tuhan mengajak saya untuk mengimplementasikan ilmu lewat kehidupan sehari-hari, yaitu pernikahan.
Salah satu konsep yang saya ingat sampai sekarang adalah Relationship Maintenance Behaviours (Dinda dan Emmers-Sommer, 2006), yaitu perilaku yang dilakukan untuk mempertahankan sebuah hubungan, termasuk Long Distance Marriage.
Ada tujuh poin penting untuk mempertahankan hubungan keluarga, yaitu:
(1) Assurance, kepastian atau keyakinan satu sama lain terhadap cinta dan keberlangsungan rumah tangga;
(2) Openness, keterbukaan dalam mengungkapkan perasaan dan mendiskusikan situasi yang dihadapi pasangan;
(3) Manajemen konflik yang kooperatif;
(4) Berbagi tugas;
(5) Positivity, mengingkatkan diri pada aktivitas yang bermanfaat, baik saat bersama maupun saat LDM;
(6) Saling memberikan nasehat;
(7) Lingkungan keluarga dan sosial yang mendukung (Stafford & Canary, 1991).Â
Sementara, Dinda & Emmers-Sommer (2006) mengidentifikasi keberlangsungan hubungan (relationship continuity) ke dalam tiga kategori, sebagai berikut:
(1) Perilaku prospektif, misalnya berbincang-bincang mengenai rencana LDM sebelum benar-benar berpisah;
(2) Perilaku introspektif, yaitu berusaha tetap menghubungi pasangan meskipun sedang berjauhan, dengan menggunakan media tertentu;
(3) Perilaku retrospektif, yaitu mengenang kembali masa-masa berjauhan dan merefleksikan bersama ketika bisa bertatap muka. Ternyata, tidak sia-sia saya mengambil jurusan psikologi, pelan-pelan akan saya coba implementasikan, tentunya bersama suami saya.
Menjelang keberangkatan saya ke Belanda, saya jalan-jalan keliling kota bersama suami, sambil mengingat-ingat kembali kira-kira barang apa yang saya butuhkan dan mesti dibeli. Beberapa kali suami saya bertanya "kenapa?" di tengah perjalanan. Sedangkan saya bukanlah orang yang mudah menjelaskan sesuatu dengan berbicara. Mungkin sisi introver saya memang di bagian itu.
Meski saya memahami tujuh poin penting untuk menjaga hubungan dengan pasangan, ternyata paham saja tidak cukup. Harus ada keberanian untuk terbuka dengan pasangan kita, sesulit apapun itu. Saya sampaikan kekhawatiran saya, ketakutan saya ketika akan jauh dari suami saya, jauh dari keluarga, jauh dari zona nyaman yang sampai saat ini selalu membuat saya jatuh cinta: tanah Jawa.
Suami saya tersenyum lega ketika saya mampu mengeluarkan semua hal yang sempat mengendap dalam pikiran, meski saya mengalami kesulitan dalam memberikan tanda koma apalagi tanda titik. Semua kalimat keluar dalam hitungan detik.
Hal yang paling saya suka dari suami saya adalah, tidak memotong pembicaraan seabsurd apapun kalimat yang muncul dari bibir saya. Sembari meneguk minuman dingin di panasnya kota Jakarta, tempat kami tinggal, ia pun ternyata memiliki kegelisahan yang sama.
"Perjalanan masih panjang, bahkan kita masih bisa mengintip garis start kita bulan lalu. Besok lusa kamu flight ke Groningen, bulan depan aku menyusul ke Leeds, dan kita baru akan ketemu lagi waktu liburan semester, bisa jadi Januari atau Februari tahun depan ya. Tapi kalau boleh kita kilas balik, sudah seberapa jauh langkah Valina sampai akhirnya akan sekolah di luar negeri? Coba diinget-inget, berapa tahun proses yang sudah kamu jalani, bahkan dulu mungkin belum kenal aku, belum naksir aku, eh hahahaha, ayo kita berjuang bersama, bukan keluar dari zona nyaman, tapi memperluas zona nyaman" ujar suami saya saat itu.
Saya terseyum menahan tawa mendengar kalimatnya. Ada benarnya memang, sejak lulus sarjana di tahun 2015, berkali-kali mengikuti tes bahasa inggris (IELTS) dan berkali-kali pula gagal, berkali-kali melamar beasiswa dan berkali-kali pula ditolak.
Kini, semua ada di depan mata, dalam hitungan jam saya akan terbang. Ya, terkadang atau bahkan seringkali kita butuh orang lain untuk menggapai pikiran yang jernih.
Ya, percaya dan terbuka pada pasangan bisa menjadi salah satu jalan untuk menenangkan kegelisahan, meluruskan kembali benang ruwet dalam pikiran, termasuk belajar untuk tidak peduli dengan segala komentar dari lingkungan yang mempertanyakan kesanggupan saya untuk belajar di luar negeri berbonus Long Distance Marriage.
Realita hidup mengajarkan bahwa, tidak semua orang bisa merasakan apalagi mendukung keputusan hidup kita, selama pasangan dan keluarga memberikan dukungan dan mengirim doa, tak perlu khawatir dengan lingkungan yang tak bisa kita kendalikan.
Kami kembali pulang ke rumah, dengan perasaan yang lebih tenang. Malam itu pun kami tetap saling berbagi cerita, tentang jadwal telepon atau video call, tentang hal-hal yang bisa jadi membuat masing-masing dari kami cemburu. Ternyata se-menyenangkan itu ya hadiah dari keterbukaan dengan pasangan.
Memasuki hari-hari pertama LDM, sepertinya tidak seberat apa yang saya pikirkan. Saya tetap bisa memasak dan makan di apartemen tempat saya tinggal di Groningen. Meski cuacanya sudah mulai dingin dan konon suhu dingin dapat meningkatkan gejala depresi. Saya baik-baik saja, sampai saya memasuki perkuliahan di pekan pertama.
Saya memasuki hari-hari dimana puluhan jurnal menanti setiap harinya, dan materi kuliah yang tak kunjung selesai meski semalam suntuk sudah belajar. Belum lagi perbedaan kultur lingkungan maupun kultur belajar yang juga memicu stress. Di belahan dunia yang lain, saya paham suami saya sedang menyiapkan segala hal untuk keberangkatannya ke Inggris.
Rasa bersalah pun hinggap karena saya tidak bisa menemaninya seperti ia menemani saya sebelum saya berangkat. Semua perasaan yang sulit dideskripsikan menyatu di puncak rasa bersalah dan hopelessness, saya matikan telepon seluler saya dan saya pejamkan kedua mata saya yang tidak bisa membendung air mata yang terus mengalir.
Setiap beberapa jam sekali, saya terbangun dan kembali dalam kegelisahan. Benar rupanya, merealisasikan mimpi belajar di luar negeri itu sepaket, baik senang maupun susahnya semua adalah nikmat yang belum tentu bisa dirasakan semua orang. Termasuk membendung rindu pada suami dan keluarga.
Saya paham, ternyata menepi dari media sosial bukan memutus hubungan dengan semua orang tanpa filter. Saya perlu menghubungi suami saya, karena sudah sepuluh jam saya tidak menghubungi siapapun, termasuk suami saya.
Benar adanya, begitu saya nyalakan koneksi internet, puluhan missed-call dan belasan pesan whatsapp memenuhi notifikasi. Konflik tidak dapat dihindari.
Suami saya sempat kesal sekaligus khawatir terhadap kondisi saya karena akses komunikasi saya matikan. Saya pun juga dalam kondisi tertekan dengan kultur akademik dan dalam penyesuaian budaya, berharap suami saya peka bahwa saya butuh waktu untuk sendiri tanpa ada komunikasi apapun terlebih dahulu.
Jika kami bertahan dengan ego masing-masing, kami akan terjebak pada masalah tanpa solusi. Kami pun belajar untuk menenggelamkan ego, dan kembali pada enam tahapan resolusi konflik yang digagaskan oleh Olson dan DeFrain (2011).
Yang pertama, saya ajak suami saya untuk mengklarifikasikan kembali masalahnya. Saya akui kesalahan saya dengan tiba-tiba mematikan akses komunikasi, namun saya juga menjelaskan ekspektasi kepekaan suami saya.
Kedua, kami ungkapkan hal-hal yang menjadi keinginan kami. Ternyata, suami saya mengizinkan saya untuk me-time, tapi karena ia menyadari ketidakpekaannya, ia hanya mengharapkan saya untuk izin terlebih dahulu dan memastikan bahwa kondisi aman, tidak membahayakan diri.Â
Ketiga, kami sepakat untuk mencari alternatif waktu yang disepakati bersama untuk memberi kabar, yaitu sebelum subuh dan sebelum tidur.Â
Keempat, kami berusaha menyatukan segala keinginan sekaligus alternatif yang diberikan, lalu kami sepakati bersama.
Yang kelima, kami memastikan kembali bahwa kesepakatan solusi tidak memberatkan salah satu pasangan, melainkan melegakan kedua belah pihak.
Terakhir, kami berusaha untuk meninjau ulang kesepakatan, sambil berusaha lebih tenang. Tidak ada salahnya untuk memberikan candaan untuk mencairkan suasana.
Konflik adalah keniscayaan dalam berumahtangga, tapi komitmen untuk berfokus pada solusi adalah menjadi tanggung jawab bersama. Konflik menjadi momen untuk lebih mengenal karakter pasangan kita, sekaligus mengasah kepekaan dan kepedulian kita.
Salah satu tanda kita mengenal pasangan kita adalah dengan memahami bahasa cinta (love language) nya. Garry Chapman (2009) mengungkapkan ada lima jenis bahasa cinta, yang pertama adalah words of affirmations (apresiasi verbal yang ditunjukkan pada pasangan kita), quality time (kebersamaan yang diikuti dengan percakapan atau aktivitas yang dilakukan bersama).
Bahasa cinta yang ketiga adalah menerima hadiah. Hadiah tidak selalu berupa barang mewah, melainkan hal-hal sederhana yang bisa jadi sangat diperlukan oleh pasangan kita. Di sinilah seni kepekaan kita diuji. Dua bahasa cinta berikutnya adalah act of service (bantuan) dan physical touch (sentuhan).
Bagi pasangan yang menjalani LDM, bahasa yang melibatkan pertemuan raga menjadi hal yang sulit dilakukan. Oleh sebab itu, alangkah baiknya kedua pasangan belajar terbuka mengenai bahasa cinta masing-masing, karena bisa jadi preferensi bahasa cinta kita dengan pasangan kita berbeda.
Misalnya, saya cenderng suka mendengar pujian dari suami saya, sementara suami saya menganggap bahwa bantuan adalah wujud nyata dari cinta. Hal ini bukanlah sebuah masalah, asal ada komunikasi yang mengantarkan penerimaan dan penyesuaian dengan pasangan.
Perbedaan waktu antara jam di Indonesia dan Belanda sempat membuat saya dan suami kewalahan untuk berkomunikasi. Indonesia memiliki 5-6 jam lebih awal dari pada Belanda, sehingga seringkali saya masih tidur ketika suami saya menelepon saya di pagi hari Jakarta.Â
Begitu pula ketika saya berusaha menghubungi suami saya di atas jam 7 malam di Belanda, kemungkinan besar suami saya juga sudah tidur. Hal-hal sepele seperti ini jika terjadi berangsur-angsur juga bisa menimbulkan sekat dan memicu konflik.
Akhirnya kami sepakat untuk video call jam 3 WIB, dimana suami saya hendak shalat tahajjud sekaligus menunggu subuh, sedangkan saya bersiap untuk tidur, atau barangkali sedang beristirahat sebelum beralih ke materi kuliah lainnya yang harus saya pelajari.
Awalnya terasa sangat berat, tapi lama-lama terbiasa dan menikmati komunikasi dengan ritme seperti ini. Biasanya memang saya yang menelepon suami saya duluan, sekalian membangunkannya, tetapi suami saya yang selalu mengajak saya untuk bercerita apapun hal sederhana yang saya lakukan, seperti misalnya: hari ini telah bertemu dengan siapa saja, makan apa, berapa suhu disini, apa yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan hari ini.
Saya merasa sangat terbantu untuk merefleksikan apa yang telah terjadi selama dua puluh empat jam terakhir. Begitu juga suami saya, yang syukurlah tanpa diminta, ia begitu terbuka kepada saya, dan kadang menceritakan apa yang menjadi kegelisahannya.
Secara tidak sadar, ternyata pelan-pelan kami mulai mengimplementasikan prinsip-prinsip menjaga kualitas hubungan, terutama belajar untuk terbuka, menerima kondisi masing-masing dan saling memberi nasehat.
Barangkali, ini adalah hikmah dari konflik beberapa waktu terakhir, ketika sempat enggan menghubungi dan justru berujung pada salah paham. Syukurlah, semua dapat diatasi dengan menenggelamkan ego dan mengendapkan hati masing-masing.
Komunikasi semakin mudah ketika suami saya sudah menginjakkan kaki di bumi Inggris, karena perbedaan waktu yang hanya satu jam, sehingga jam video call kami jauh lebih fleksibel daripada ketika salah satu dari kami masih di Indonesia.
Kenyataannya, ketika kami sama-sama kuliah dan ditumpuk dengan berbagai macam tugas dan reading list, barulah saya sadar, ternyata seperti ini rasanya, berusaha saling memahami agenda masing-masing dan betapa sulitnya menemukan jam yang pas untuk berbagi cerita seperti hari-hari sebelum suami saya sekolah.
Meskipun kami bisa dengan mudah memberikan pesan suara, namun tetap saja ada masa-masa dimana saya merasa kurang. Barangkali, di sini peran pengalihan bekerja, pengalihan yang positif tentunya. Saya belajar untuk berpikir positif dan self-talk, barangkali 'jauh' dengan orang yang kita sayangi mengajarkan kita untuk berdamai dengan diri sendiri, berproses lebih optimal untuk mengembangkan diri (self-development), apalagi saya juga sedang belajar.
Kadangkala, self-talk ini dapat berjalan dengan baik, bahkan sangat baik. Saya bisa menghabiskan waktu berjam-jam di perpustakaan kampus berkutat dengan artikel tentang sense of self, yang menjadi topik thesis saya.
Tapi, ada kalanya saya jenuh dan gagal bersembunyi dari rasa kangen. Meski sudah kembali melihat foto pernikahan dan momen bersama lainnya. Karena saya tahu saat itu suami saya sedang padat-padatnya kuliah, saya membuka laptop dan menuliskan apa yang saya rasakan saat itu, semua hal yang mengganjal, dan juga hal-hal yang ingin diperbaiki bersama.
Sepertinya menulis merupakan salah satu media yang efektif untuk saya melepaskan stress, sekaligus media komunikasi yang fleksibel, tapi bisa komprehensif. Saya bisa menceritakan banyak hal tanpa harus mengganggu suami saya saat itu juga. Saya kirim tulisan itu melalui e-mail. Paling tidak, setelah menulis dan menekan tombol send, saya merasa lega.
Hari-hari selama saya jauh dari suami, jauh dari keluarga, membuat saya belajar untuk mengenal diri saya lebih dalam, mengenal coping stress atau cara menanggulangi stress yang tepat buat saya, namun belum tentu tepat untuk orang lain.
Ada orang lain dengan kepribadian yang berbeda, lebih merasa lega menggunakan pesan suara untuk mengungkapkan perasaannya pada pasangan. Ada juga yang tiap beberapa jam meng-update ucapan terima kasih kepada pasangan mereka ke media sosial seperti Instagram. Ada juga yang merasa sangat lega dengan mengirim serangkaian tulisan melalui e-mail, seperti saya.
Tidak ada yang salah, karena semua itu adalah bentuk komunikasi dari masing-masing orang dengan kepribadian yang bisa jadi berbeda.
Berkaitan dengan perkembangan media sosial, pada awalnya saya adalah orang yang cukup mengkritisi orang-orang yang sering membagikan kehidupan pribadinya ke dalam akun Instagram mereka. Sharing is caring, begitu kata mereka, tapi dalam beberapa hal, saya justru merasa sharing is scaring.
Apalagi saat sedang jauh dari suami, ditambah dengan kehidupan akademik saya yang sepertinya tidak terlalu lancar. Saya malu untuk mengakui, saya iri dengan kebersamaan dengan pasangan yang terpapar di akun media sosial saya.
Ya, semoga sifat 'manusiawi' yang satu ini tidak menjadi pembenaran seumur hidup saya. Daripada menuruti perasaan iri, saya justru tertarik mempelajari perilaku manusia, khususnya pasangan di media sosial.
Menariknya, dalam sebuah konsep Relationship Maintance Behaviours (RMB) yang digagaskan oleh Merolla (2010), ada salah satu dimensi bernama network, yang juga bisa menjadi cara yang dilakukan pasangan untuk mempertahankan hubungan, baik saat menjelang LDM, maupun saat LDM. Merolla (2010) menyatakan, menjelang LDM, pasangan juga membutuhkan dukungan dari lingkungan sekitar, baik berupa pendapat maupun nasehat.
Membagikan cerita tentang keluarga merupakan salah satu cara untuk memperoleh masukan dari orang lain, dengan catatan: kedua pasangan (suami-istri) telah memiliki nilai tertentu dalam keluarga mengenai apa-apa saja yang bisa dibagikan di ruang publik, dan apa-apa saja yang cukup menjadi rahasia keluarga. Hal ini tentu tidak sama tiap pasangan dengan pasangan yang lain.
Jadi, menurut konsep RMB ini, sah-sah saja bila seseorang mempersiapkan LDM dengan menggunakan fasilitas 'Question and Answer' di media sosial, atau sekadar bertanya ke lingkaran pertemanannya, untuk mendapatkan dukungan.
Selain itu, saat LDM pun tidak masalah bila masing-masing pasangan menceritakan hal-hal baik yang telah dilalui bersama di media sosial atau di lingkungan sekitar, untuk menumbuhkan keyakinan dari diri mereka sendiri. Justru, Merolla (2010) menyatakan bahwa tidak baik bila pasangan yang sempat mengalami LDM, lalu merefleksikan pengalaman long distance marriage ini kepada orang lain, tidak didahului dengan refleksi bersama pasangan masing-masing, karena bisa jadi menimbulkan pengalaman traumatis.
Tentu ada hal-hal yang bisa menjadi hikmah bersama (bisa dibagikan ke publik), ada juga yang cukup menjadi muhasabah bagi pasangan suami istri. Dengan mempelajari dimensi network dalam Relationship Maintenance Behaviours ini, batas toleransi saya terhadap paparan media sosial menjadi lebih luwes.
Iya, barangkali berbagi kemesraan di media sosial adalah nilai-nilai yang dianut pasangan tersebut (misal, love language mereka), atau salah satu bentuk strategi koping, atau penanggulangan stres karena menghadapi kondisi LDM.
Selain dimensi network, ada dua dimensi lain dalam Relationship Maintenance Behaviors (RMB) yang tidak kalah penting, yaitu dimensi intrapersonal dan dyadic. Dimensi intrapersonal ini lebih bersifat self-reflective yang dilakukan masing-masing individu, baik sebelum melakukan LDM maupun saat sedang menjalani LDM.
Misalnya, seseorang yang membayangkan bagaimana ia berusaha menjaga komunikasi ketika sedang jarak jauh (LDM) sebagai upaya untuk mengelola ekspektasi sekaligus mempersiapkan kondisi psikologis. Selain itu, membayangkan segala kebaikan pasangan kita saat sedang menjalani LDM juga merupakan hal yang dianjurkan, dengan begitu kita akan selalu teringat akan komitmen yang sudah dirangkai.
Refleksi diri ini akan semakin baik apabila diikuti dengan dimensi dyadic (Merolla, 2010). Pada dimensi dyadic, hasil refleksi individu didiskusikan bersama pasangan, sehingga mereka memahami, apa yang kita ekspektasikan ketika sedang berjauhan, termasuk mengatur waktu untuk berkomunikasi melalui video call maupun telepon.
Begitu juga ketika pasangan LDM mendapatkan kesempatan untuk bertatap muka, momen ini sangat tepat untuk melakukan refleksi bersama, sekaligus merencanakan hal-hal baik yang bisa dilakukan ke depan.
Perjuangan Long Distance Marriage tiap pasangan tentu tidaklah sama, namun ada benang merah yang bisa kita terapkan bersama, yaitu memegang teguh komitmen pernikahan, karena pernikahan bukan hanya janji kepada pasangan, melainkan janji kepada Tuhan, Sang Maha Cinta. Kedua, saling menjaga kepercayaan dengan meyakini bahwa jarak tidak akan melunturkan perasaan, karena ada amanah yang harus diselesaikan, untuk masa depan yang lebih baik. Ketiga, saling menjaga komunikasi dan saling mendukung impian masing-masing untuk dirangkai menjadi impian bersama. Percayalah, pasangan kita adalah support system terbaik dalam langkah-langkah kita. Keempat, menjaga perasaan pasangan dengan cara membatasi pergaulan sewajarnya dengan lawan jenis. Nilai yang dianut tiap keluarga tentu tidak sama, sehingga hal ini juga perlu disepakati bersama, batasan seperti apa yang ingin diterapkan. Kelima, kita belajar untuk lebih mandiri dalam berbagai urusan, dan itu akan menjadi bekal yang baik ketika sudah tidak menjalani masa LDM. Keenam, semoga kita selalu bisa mengendapkan hati dan menjernihkan pikiran kita, agar emosi selalu stabil. Memang bukan hal yang mudah, tapi emosi yang labil tak pernah memberikan jalan cerah untuk menyelesaikan konflik. Semoga konflik membawa kita pada pemahaman bahwa kita menikah bukan mengejar kesempurnaan, melainkan saling melengkapi dan selalu belajar memaafkan.
Terakhir, bagi saya, bahasa cinta termanis kepada pasangan adalah dengan mendoakannya diam-diam, pada tiap sujud, pada tiap airmata yang mengalir, pada tiap rindu yang ditanam hingga nanti dipanen bersama. Semoga jauh menjadi momen untuk saling menyatukan impian, semakin siap untuk menerima pasangan, sepaket antara kelebihan dan kekurangannya.
Semoga jauh menjadi ruang bagi saya (atau mungkin kita) untuk saling introspeksi, sehingga nanti ketika berjumpa kembali dengan pasangan, kita semua bisa menjadi versi yang lebih baik lagi. Selamat berjuang, para LDM-ers, selamat memanen rindu dan melipat jarak di waktu yang tepat. Semoga Tuhan selalu menautkan hati kita dengan pasangan, karena jarak hanyalah ilusi bagi orang-orang yang saling mencinta.
REFERENSI
Chapman, Garry. (2005). The five love languages. United States: Northfield Publishing Chicago
Merolla, A. J. (2010). Relational maintenance and noncopresence reconsidered: Conceptualizing geographic separation in close relationships. Communication Theory, 20(2), 169--193. doi:10.1111/j.1468-2885.2010.01359.x
Olson, D. H., & DeFrain, J. D. (2011). Marriages and families: Intimacy, strengths, and diversity. McGraw-Hill.
Stafford, L., & Canary, D. J. (1991). Maintenance strategies and romantic relationship type, gender and relational characteristics. Journal of Social and Personal relationships, 8(2), 217--242. doi:10.1177/0265407591082004
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H