Ketiga, kami sepakat untuk mencari alternatif waktu yang disepakati bersama untuk memberi kabar, yaitu sebelum subuh dan sebelum tidur.Â
Keempat, kami berusaha menyatukan segala keinginan sekaligus alternatif yang diberikan, lalu kami sepakati bersama.
Yang kelima, kami memastikan kembali bahwa kesepakatan solusi tidak memberatkan salah satu pasangan, melainkan melegakan kedua belah pihak.
Terakhir, kami berusaha untuk meninjau ulang kesepakatan, sambil berusaha lebih tenang. Tidak ada salahnya untuk memberikan candaan untuk mencairkan suasana.
Konflik adalah keniscayaan dalam berumahtangga, tapi komitmen untuk berfokus pada solusi adalah menjadi tanggung jawab bersama. Konflik menjadi momen untuk lebih mengenal karakter pasangan kita, sekaligus mengasah kepekaan dan kepedulian kita.
Salah satu tanda kita mengenal pasangan kita adalah dengan memahami bahasa cinta (love language) nya. Garry Chapman (2009) mengungkapkan ada lima jenis bahasa cinta, yang pertama adalah words of affirmations (apresiasi verbal yang ditunjukkan pada pasangan kita), quality time (kebersamaan yang diikuti dengan percakapan atau aktivitas yang dilakukan bersama).
Bahasa cinta yang ketiga adalah menerima hadiah. Hadiah tidak selalu berupa barang mewah, melainkan hal-hal sederhana yang bisa jadi sangat diperlukan oleh pasangan kita. Di sinilah seni kepekaan kita diuji. Dua bahasa cinta berikutnya adalah act of service (bantuan) dan physical touch (sentuhan).
Bagi pasangan yang menjalani LDM, bahasa yang melibatkan pertemuan raga menjadi hal yang sulit dilakukan. Oleh sebab itu, alangkah baiknya kedua pasangan belajar terbuka mengenai bahasa cinta masing-masing, karena bisa jadi preferensi bahasa cinta kita dengan pasangan kita berbeda.
Misalnya, saya cenderng suka mendengar pujian dari suami saya, sementara suami saya menganggap bahwa bantuan adalah wujud nyata dari cinta. Hal ini bukanlah sebuah masalah, asal ada komunikasi yang mengantarkan penerimaan dan penyesuaian dengan pasangan.
Perbedaan waktu antara jam di Indonesia dan Belanda sempat membuat saya dan suami kewalahan untuk berkomunikasi. Indonesia memiliki 5-6 jam lebih awal dari pada Belanda, sehingga seringkali saya masih tidur ketika suami saya menelepon saya di pagi hari Jakarta.Â
Begitu pula ketika saya berusaha menghubungi suami saya di atas jam 7 malam di Belanda, kemungkinan besar suami saya juga sudah tidur. Hal-hal sepele seperti ini jika terjadi berangsur-angsur juga bisa menimbulkan sekat dan memicu konflik.