Kami kembali pulang ke rumah, dengan perasaan yang lebih tenang. Malam itu pun kami tetap saling berbagi cerita, tentang jadwal telepon atau video call, tentang hal-hal yang bisa jadi membuat masing-masing dari kami cemburu. Ternyata se-menyenangkan itu ya hadiah dari keterbukaan dengan pasangan.
Memasuki hari-hari pertama LDM, sepertinya tidak seberat apa yang saya pikirkan. Saya tetap bisa memasak dan makan di apartemen tempat saya tinggal di Groningen. Meski cuacanya sudah mulai dingin dan konon suhu dingin dapat meningkatkan gejala depresi. Saya baik-baik saja, sampai saya memasuki perkuliahan di pekan pertama.
Saya memasuki hari-hari dimana puluhan jurnal menanti setiap harinya, dan materi kuliah yang tak kunjung selesai meski semalam suntuk sudah belajar. Belum lagi perbedaan kultur lingkungan maupun kultur belajar yang juga memicu stress. Di belahan dunia yang lain, saya paham suami saya sedang menyiapkan segala hal untuk keberangkatannya ke Inggris.
Rasa bersalah pun hinggap karena saya tidak bisa menemaninya seperti ia menemani saya sebelum saya berangkat. Semua perasaan yang sulit dideskripsikan menyatu di puncak rasa bersalah dan hopelessness, saya matikan telepon seluler saya dan saya pejamkan kedua mata saya yang tidak bisa membendung air mata yang terus mengalir.
Setiap beberapa jam sekali, saya terbangun dan kembali dalam kegelisahan. Benar rupanya, merealisasikan mimpi belajar di luar negeri itu sepaket, baik senang maupun susahnya semua adalah nikmat yang belum tentu bisa dirasakan semua orang. Termasuk membendung rindu pada suami dan keluarga.
Saya paham, ternyata menepi dari media sosial bukan memutus hubungan dengan semua orang tanpa filter. Saya perlu menghubungi suami saya, karena sudah sepuluh jam saya tidak menghubungi siapapun, termasuk suami saya.
Benar adanya, begitu saya nyalakan koneksi internet, puluhan missed-call dan belasan pesan whatsapp memenuhi notifikasi. Konflik tidak dapat dihindari.
Suami saya sempat kesal sekaligus khawatir terhadap kondisi saya karena akses komunikasi saya matikan. Saya pun juga dalam kondisi tertekan dengan kultur akademik dan dalam penyesuaian budaya, berharap suami saya peka bahwa saya butuh waktu untuk sendiri tanpa ada komunikasi apapun terlebih dahulu.
Jika kami bertahan dengan ego masing-masing, kami akan terjebak pada masalah tanpa solusi. Kami pun belajar untuk menenggelamkan ego, dan kembali pada enam tahapan resolusi konflik yang digagaskan oleh Olson dan DeFrain (2011).
Yang pertama, saya ajak suami saya untuk mengklarifikasikan kembali masalahnya. Saya akui kesalahan saya dengan tiba-tiba mematikan akses komunikasi, namun saya juga menjelaskan ekspektasi kepekaan suami saya.
Kedua, kami ungkapkan hal-hal yang menjadi keinginan kami. Ternyata, suami saya mengizinkan saya untuk me-time, tapi karena ia menyadari ketidakpekaannya, ia hanya mengharapkan saya untuk izin terlebih dahulu dan memastikan bahwa kondisi aman, tidak membahayakan diri.Â