Ada tujuh poin penting untuk mempertahankan hubungan keluarga, yaitu:
(1) Assurance, kepastian atau keyakinan satu sama lain terhadap cinta dan keberlangsungan rumah tangga;
(2) Openness, keterbukaan dalam mengungkapkan perasaan dan mendiskusikan situasi yang dihadapi pasangan;
(3) Manajemen konflik yang kooperatif;
(4) Berbagi tugas;
(5) Positivity, mengingkatkan diri pada aktivitas yang bermanfaat, baik saat bersama maupun saat LDM;
(6) Saling memberikan nasehat;
(7) Lingkungan keluarga dan sosial yang mendukung (Stafford & Canary, 1991).Â
Sementara, Dinda & Emmers-Sommer (2006) mengidentifikasi keberlangsungan hubungan (relationship continuity) ke dalam tiga kategori, sebagai berikut:
(1) Perilaku prospektif, misalnya berbincang-bincang mengenai rencana LDM sebelum benar-benar berpisah;
(2) Perilaku introspektif, yaitu berusaha tetap menghubungi pasangan meskipun sedang berjauhan, dengan menggunakan media tertentu;
(3) Perilaku retrospektif, yaitu mengenang kembali masa-masa berjauhan dan merefleksikan bersama ketika bisa bertatap muka. Ternyata, tidak sia-sia saya mengambil jurusan psikologi, pelan-pelan akan saya coba implementasikan, tentunya bersama suami saya.
Menjelang keberangkatan saya ke Belanda, saya jalan-jalan keliling kota bersama suami, sambil mengingat-ingat kembali kira-kira barang apa yang saya butuhkan dan mesti dibeli. Beberapa kali suami saya bertanya "kenapa?" di tengah perjalanan. Sedangkan saya bukanlah orang yang mudah menjelaskan sesuatu dengan berbicara. Mungkin sisi introver saya memang di bagian itu.
Meski saya memahami tujuh poin penting untuk menjaga hubungan dengan pasangan, ternyata paham saja tidak cukup. Harus ada keberanian untuk terbuka dengan pasangan kita, sesulit apapun itu. Saya sampaikan kekhawatiran saya, ketakutan saya ketika akan jauh dari suami saya, jauh dari keluarga, jauh dari zona nyaman yang sampai saat ini selalu membuat saya jatuh cinta: tanah Jawa.
Suami saya tersenyum lega ketika saya mampu mengeluarkan semua hal yang sempat mengendap dalam pikiran, meski saya mengalami kesulitan dalam memberikan tanda koma apalagi tanda titik. Semua kalimat keluar dalam hitungan detik.
Hal yang paling saya suka dari suami saya adalah, tidak memotong pembicaraan seabsurd apapun kalimat yang muncul dari bibir saya. Sembari meneguk minuman dingin di panasnya kota Jakarta, tempat kami tinggal, ia pun ternyata memiliki kegelisahan yang sama.
"Perjalanan masih panjang, bahkan kita masih bisa mengintip garis start kita bulan lalu. Besok lusa kamu flight ke Groningen, bulan depan aku menyusul ke Leeds, dan kita baru akan ketemu lagi waktu liburan semester, bisa jadi Januari atau Februari tahun depan ya. Tapi kalau boleh kita kilas balik, sudah seberapa jauh langkah Valina sampai akhirnya akan sekolah di luar negeri? Coba diinget-inget, berapa tahun proses yang sudah kamu jalani, bahkan dulu mungkin belum kenal aku, belum naksir aku, eh hahahaha, ayo kita berjuang bersama, bukan keluar dari zona nyaman, tapi memperluas zona nyaman" ujar suami saya saat itu.
Saya terseyum menahan tawa mendengar kalimatnya. Ada benarnya memang, sejak lulus sarjana di tahun 2015, berkali-kali mengikuti tes bahasa inggris (IELTS) dan berkali-kali pula gagal, berkali-kali melamar beasiswa dan berkali-kali pula ditolak.
Kini, semua ada di depan mata, dalam hitungan jam saya akan terbang. Ya, terkadang atau bahkan seringkali kita butuh orang lain untuk menggapai pikiran yang jernih.
Ya, percaya dan terbuka pada pasangan bisa menjadi salah satu jalan untuk menenangkan kegelisahan, meluruskan kembali benang ruwet dalam pikiran, termasuk belajar untuk tidak peduli dengan segala komentar dari lingkungan yang mempertanyakan kesanggupan saya untuk belajar di luar negeri berbonus Long Distance Marriage.
Realita hidup mengajarkan bahwa, tidak semua orang bisa merasakan apalagi mendukung keputusan hidup kita, selama pasangan dan keluarga memberikan dukungan dan mengirim doa, tak perlu khawatir dengan lingkungan yang tak bisa kita kendalikan.