Mohon tunggu...
Valerine Dwi RD
Valerine Dwi RD Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Siswa

hobi saya berubah-ubah, tapi lebih suka diam di rumah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cahaya Matahari Terbit: Kaukah Temanku?

6 Oktober 2022   06:34 Diperbarui: 6 Oktober 2022   06:40 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

kenapa seperti iitu? kenapa tidak seperti ini

aku adalah gadis yang suka bermimpi. aku ingin menjadi banyak hal. badanku tidak bagus, nilaiku juga pas-pasan. meski begitu, aku selalu belajar.

ada hari dimana cuacanya cerah, namun terasa berat. seperti dua juta anjing yang menggonggong saling bersahutan, aku menutup telinga. 

aku mengantuk, mataku berat. aku mendaratkan badanku di kasur yang sudah memanggilku sedari tadi. "Tidurlah Arunika, pejamkan matamu" bisik batinku 

aku memejamkan mataku, dan aku tenang untuk beberapa saat.

aku memejamkan mataku dalam, badanku seperti dipeluk kehangatan.

namanya mentari, dia temanku dulu waktu aku kecil. kami pergi ke surau bersama, makan siang sambil bersepeda bersama, semuanya kami lakukan bersama

"Arunikaaa"

"Mentariiiiiiii, bagaimana kamu?"

"banyak yang berubah dariku, kamu bagaimana aru?"

"aku baiik sekali tari"

"sudah sebesar ini kami, sepertinya sepeda yang dulu sudah tidak muat"

"kakiku menekuk hahahahahaha"

kami sudah akrab sebelum kami bisa membaca, setiap pulang sekolah paud, kami selalu menghabiskan waktu bersama. bahkan kami pun stres bersama dikala PR mewarnai kami belum siap. 

kami juga merencanakan skenario untuk kabur dari perintah tidur siang, hufttt tidur siang adalah kegiatan yang tak aku sukai.

jari kami juga pernah menjadi korban, dari perintah guru kami untuk menempelkannya kertas warna. aku bingung, kenapa pekerjaan ini sangat susah.

di surau, kami berangkat bersama, dan pulang dengan ayah masing-masing, para ayah berbicara hanya sepatah dua patah saja. sedang kami banyak.

"isi bensiiiin... aaaaa keretaa masuk terowongan" sendok berisi nasi goreng itu meliuk-liuk masuk ke mulutku.

"aaaaaa" aku bersuara selagi membuka mulut.

"naahh pinter, sok jalan lagi 'motor' nya" 

seperti itulah cara mengisi bensin yang benar saat aku kecil,

tak lupa minum susu sebelum berangkat sekolah, dengan pita rambut yang warna warni, sepatu dan tas yang sangat lucu.

"liat, aku jepitnya bagus kan? warnanya pink dibeliin ayah" aku pamer dan bangga kepada mentari.

"ihhh bagus, yang aku gambarnya bunga bunga tapi dibeliin sama teteh" kakak perempuan mentari sangat baik, dia suka membelikan mentari aksesoris.

"aku seneng, sekarang kita senam di lapang sama Bu Rina" guru TK kami sangat asik, dan hari ini adalah jadwal senam.

saat itu, kami merasa kehidupan orang besar adalah hal yang sangat menyenangkan. orang besar bisa bermain jauh, orang besar bisa bekerja dan mendapat uang dengan mudah, orang besar juga tidak disuapi ibu saat berkendara, orang besar tidak tidur siang, dan orang besar tidak stres dengan PR mewarnai. ya, aku ingin cepat besar, aku tidak suka tidur siang

kami banyak merancang kehidupan di masa depan, tetapi mentari harus pindah rumah, karena ayahnya berpindah tugas. rupanya, PR ayah mentari bukan mewarnai, tapi pindah rumah. kala itu, keluarga mentari datang ke rumahku, dan bercerita tentang kepindahannya. semuanya menangisi perpisahan, aku dan mentari sih tidak. karena nanti besok siang kami akan main masak-masak dan bermain boneka. untuk apa menangis? 

"ibu kamu sama mamah aku nangis ru" bisik mentari sambil menyenggol tanganku.

"kamu nanti ke rumah aku lagi kan?" tanyaku pada mentari.

"iya, kita kan mau main masak-masak besok. kayanya bunga di halaman Bu Cinta besok mekar" rencana kami malam itu.

"besok aku samper ke rumah kamu ya" ucapku sebelum kami melambaikan tangan.

keesokannya, mentari tidak bermain denganku. dan saat itu aku menangis, memeluk ibu. bukan memeluk tari

"gapapa arunika, nanti kan kalau gede bisa ketemu lagi" ujar ibu

"bisa ketemu bu?" jawabku

"bisa sayang, nanti kalian bakal ketemu lagi. mentari udah gede, udah jadi dokter. kamu juga udah gede, udah jadi dokter"

"yeeee jadi bisa ke rumah sakit bareng-bareng ya bu? nanti aru mau main dokter-dokteran lagii" aku menjadi senang.

"bisa sayang, dah ya jangan nangis".

hari itu, aku sudah tenang. tetapi sekarang aku tidak jadi dokter. apakah kita masih bisa bertemu mentari?

aku sangat ingin bertemu dengan mentari dan arunika kecil, bumi berputar kini kami sudah besar. aku pun terbangun dengan keringat yang membasahi kasur dan bekas air mata yang mengalir. 

sampai sekarang, aku dan mentari seperti terjebak didalam garis waktu yang berhenti. detikknya tidak lagi bergerak ke kanan, hanya diam, diam dan diam.

aku melihat cermin, berharap berubah menjadi kecil. tetapi yang ada hanyalah pantulan diriku yang tetap besar, berumur 20 tahun dan sudah menjadi orang besar yang dulu aku impikan.

"mentari, Bu Cinta udah ga ada, rumahnya juga udah pindah tangan. kira-kira nanti kita cari bunga nya dimana ya?" aku mengajak ngobrol bayanganku di cermin.

"kriiing... kriiing..." suara handphone ku berdering, disana muncul nama teman dekatku sekarang.

"ya lintang? kenapa?"

"aruuu, kamu mau bantu aku ga?" ucap lintang buru-buru

"bantu apa? kenapa? kamu kenapaa??" tanyaku panik

"gapapaa, aku gapapa tapi ini..." suaranya terhenti

"lintaaang kamu dimanaa? cepet kasih lokasi kamu ke aku" 

kp. sumber asih

"lin, tempat apa itu?" tanyaku

"perkampungan tua dekat flyover yang lama, dibawah ada semacam gorong-gorong tapi besar" suara lintang seperti sedang menahan sesuatu

"kamu ngapain kesana? kamu ga takut ada bahaya?" tanyaku khawatir pada lintang

"gapapa. kamu mau kesini ga? kasian mereka" suara lintang parau

"hmm oke, tapi aku kesana sama Bagas ya" 

"naik motor ya ru, kalau mobil ga akan muat. soalnya disini gang kecil" suara lintang masih parau, tetapi tidak menangis

Bagas teman kami di kantor, kami sama sama staff bagian design, kami berteman sangat baik. aku sengaja mengajak Bagas karena aku takut dengan ciri-ciri lokasi yang lintang deskripsikan, sebenarnya aku juga bingung kenapa lintang bisa tau lokasi itu, dan bisa disana sekarang.

"gas, kosong ga sekarang?" tanyaku di WhatsApp

"aku lagi nyci seoatu ru, kenaoa? " (aku lagi nyuci sepatu ru, kenapa?) jawabnya

"oh oke, selesein dulu aja, nanti aku telp" balasku

"oke oke ini ngebut" jawabnya

aku bersiap-siap, ganti baju, memakai riasan dan menyiapkan tas

"ru, ini udah" chat dari Bagas

ringing....

aku menjelaskan semuanya di telpon, dan aku harus menunggu Bagas bersiap-siap. Bagas menyanggupi ikut kesana, karena dia juga khawatir dengan lintang.

niit.... nit...

klakson bagas sudah di depan kost-an ku

"ayo gas, aku udah siap"

kami pergi ke lokasi yang dikirim lintang.

lokasinya ada di bawah fly over lama di Jakarta Pusat, disana kami harus menuruni jalan, disana masih lebar-lebar jalannya. aku rasa mobil masih bisa masuk, kami belok ke gang yang kecil, lingkungan nya sudah mulai kumuh, padat, bau dan bangunannya aku rasa tidak layak.

"dah, ini kemana ru?" tanya bagas masih di atas motor.

"kayanya disana deh, itu ada motornya" aku menunjuk ke sebuah bangunan yang dilihat lebih layak dari yang lain.

Bagas dan aku menghampiri kesana.

tok tok tok

"assalamualaikum" Bagas masuk duluan, disusul aku

"nah, ini ada temen aku pak, namanya Bagas dan Arunika. insyaallah bisa bantu bapak" jelas Lintang.

Arunika menarik tangan aku keluar, Bagas pun ikut. kami bertiga keluar rumah dan lintang membuka percakapan.

"Oke kalian tenang dulu, jangan dulu panik. biar aku jelasin "

lintangpun menjelaskan bahwa bangunan itu adalah kantor desa kp. Sumber Asih, bapak paruh baya yang tadi adalah warga kp. Sumber Asih yang sedang membutuhkan bantuan. 

"jadi?" tanya Bagas

"bapak tadi kenapa lin?" tanyaku

"Bapak itu sehari-hari jualan berjualan perabotan bekas di pasar loak, istrinya menjadi tukang sapu di SMK Negeri yang ada sebelum kalian turun ke bawah flyover, anaknya ada 3. yang sulung sekarang bekerja jadi kaya office boy di pelabuhan, anak yang kedua masih SMP dan yang bungsu kelas 3 SD" jelas Lintang.

"oww, lalu?" tanya Bagas yang masih bingung

"istri bapak itu sekarang tidak bisa jalan, kemarin kena tabrak lari sepulang dari sekolah. ada pendarahan di mata nya"

"aduuhhh, udah di bawa ke rumah sakit?" tanyaku

"belum, gapunya uang" jelas Lintang

"mm yaudah masuk dulu yu"

Di dalam masih ada bapak itu sedang menunduk. lalu bapak itu menyalami kami dan izin pamit duluan.

"Pak Sutijo tadi bilang, kalau kalian keberatan yasudah tidak apa-apa. disini tidak boleh ada yang dipaksakan, Pak Sutijo dan saya juga sedang mengurus KIS" jelas Pak Herman, bapak kepala desa.

"oh tidak kok pak" bantah lintang

"yasudah karena mau hujan, biasanya kalau hujan gang depan banjir, takutnya kalian gabisa pulang" jelas Pak Herman.

kami sebenernya tahu, kenapa Pak Herman meminta kami pulang. kami pun pulang ke apartemen Bagas untuk membahas mengenai Pak Sutijo tadi.

"kamu bisa ketemu bapak itu dimana sih lin?" tanyaku sambil menyeruput mie instan

"sebenarnya, aku sudah kenal itu dari SMP. aku suka pergi kesana sama papih aku" jelas Lintang

"ngapain?" tanyaku dan Bagas spontan

"untuk berbagi"

"Oooooohhhhh"

"aku udah ga ke sana sekitar 2 taunan" tiba tiba lintang bersuara

"kenapa?" tanya bagas sambil menyodorkan mie instan

"ada orang lain yang kesana" jelas Lintang sambil mengaduk mie

"emangnya ga boleh kalau ada dua?" tanyaku

"dia nya gamau" 

hujan reda, kami pulang ke tempat masing-masing. aku diantar Bagas sampai apartemen ku

matahari semakin jauh, langit semakin gelap. aku jadi penasaran siapa pak Sutijo? apa yang membuat dia merasa buntu. aku menghubungi lintang dan Bagas untuk mengajak mereka pergi ke kampung itu lagi. Tanpa berpikir panjang, kami pun sepakat.

.....

sepulang dari kantor, kami pergi kesana sambil membawa makanan. sampai di kantor desa itu, kami melihat Pak Sutijo sedang berbincang dengan 3 orang. Pak Kepala Desa mengatakan bahwa mereka adalah keluarga yang dulu sempat menggantikan posisi Lintang

"Maaf Mas Bagas, Mba Aru dan Mba Lintang. Atas permintaan keluarga itu, Pak Sutijo tidak boleh ditemui oleh Mba Mas nya" ucap Pak Kepala Desa.

"Kalau boleh tau kenapa ya pak?" tanya Bagas

"Oh itu saya tidak tahu"

Aku meninggalkan tempat itu duluan, setelah pamit dengan Pak Herman

"Astaghfirullah kenapa sih? kita kan niatnya baik. lagian kenapa coba mereka berhenti, terus dateng lagi??!!!" tanyaku kesal

"Maaf Aru, bukannya aku mau ngerepotin kalian, tapi kemarin-kemarin emang bener bener gada yang bisa bantu, aku kasian" jelas Lintang

"Udah? Mau dilanjutin? sekalian aja kita yang berantem kalau gitu" begitulah Bagas melerai kami

"Yu, balik aja" ajak Bagas

Kami pun pulang

"Entong, elu kagak ke masjid? noh udah mau ajan" ada anak laki-laki yang mengajak temannya ke masjid, dia membawa sarung dan kopeah.

"sabar dikit napa? baju nih belum di triska"

"lu begimane sih? ngadep ke Allah kagak rapih"

"Udeh, udeh, gelut mulu kerjaan lu pada. Diem bentar nape? dah mau margib ini" lerai emak dari salah satu anak laki-laki itu

"Hadeuh mau solat aja gelut dulu" Lintang geleng-geleng kepala

"Kita harus salut sih, jaman sekarang jarang anak kecil ke masjid" jelas Bagas. "Biasanya ya seumur aku atau bapak-bapak. Yaaa udah dewasa lah" sambung Bagas

"Eh kata siapa? di masjid rumah aku masih musim ah anak kecil ke masjid" bantah Lintang

"Kalian waktu kecil ke masjid ga?" tanya Bagas

"Ya iya lah" Jawabku

"Dulu waktu aku kecil paling suka ke masjid pas Maghrib. Apalagi Ramadhan, lumayan dapet takjil gratis" jelas Bagas

"Ni anak diem-diem licik juga ya" ucapku

kami tertawa di dalam mobil, menertawai semua hal yang ada dalam candaan kami

Terlintas di pikiranku, tentang aku dan Mentari yang tidak pernah absen dari masjid.

3 bulan kemudian...

Tok tok tok

"Maaf Mba Lintang, ada tamu" seorang office boy mengetuk ruangan kami.

"Oh iya, emm ke masuk aja sini" ucap Lintang. "Eh bang, tamu nya siapa ya?" tanya Lintang

"Pak Herman mba" jawab office boy itu

"Pak Herman?" aku melirik Bagas

"Bang, ke taman aja" pinta Lintang

"Aku ikut" ucapku

"Aku juga" sambung Bagas.

Terlihat Pak Herman memakai batik dengan sangat rapih, memegang map coklat ditangannya. Kami pun berbincang dengan Pak Herman 

"Yu kita kesana" ajak Bagas tanpa negosiasi.

Di dalam mobil, kami bertiga membisu, tidak ada percakapan apalagi canda tawa. Kami hanya terdiam dan sesekali mengusap air mata.

Sampai di Kp. Sumber Asih, kali ini kami tidak berkunjung ke kantor desa, melainkan ke sebuah gubuk yang disebut rumah dengan hiasan bendera kuning disana. Rumah Pak Sutijo sangat ramai sore ini, orang-orang berkumpul dan suara tangisan memenuhi atap rumah Pak Sutijo.

"Assalamualaikum" ucap Bagas

"Waalaikumsalam" jawab warga disana

Disana ada ibu dan 3 anak yang menangis dan saling berpelukan, tak jauh dari mereka, ada yang terbujur kaku. Di atas kain batik itu, tertera nama Pak Sutijo. Pak Sutijo menghadap Yang Kuasa.

Kami tidak bisa berkata apa-apa, kami hanya menangis.

"Pak, kenapa?" tanya Bagas ke Pak Herman

"Mas, alangkah lebih baik kita urus dulu jenazahnya. Nanti saya ceritakan" jawab Pak Herman

"Baik pak, untuk perlengkapan jenazah apakah sudah terpenuhi?" tanya Bagas

"Kami sedang berusaha meminta ke kampung sebelah Mas" jawab Pak Herman

"Dari Kami saja pak" ucapku spontan

Baru kali ini, aku membeli perlengkapan jenazah, tak apa. Aku dan Lintang segera membeli yang terbaik, dan membawanya ke rumah duka, disana Pak Sutijo sedang dimandikan.

Aku dan Lintang menenangkan keluarga yang ditinggalkan, tak terasa Kami pun ikut menangis. Jenazah sudah di kafani dan sekarang jenazah akan disemayamkan untuk dimakamkan besok. 

"Mba, Mas terima kasih banyak sudah membantu.."

"Tidak apa-apa pak, tidak usah berterima kasih" Bagas memotong perkataan Pak Herman

"Jadi begini Mba, Mas..."

.....

"Astaghfirullah" ucap kami serentak.

Pak Herman menjelaskan bahwa Pak Sutijo meninggal karena penganiayaan dari keluarga yang kemarin membantu. Keluarga itu adalah rentenir yang selama ini berlagak seperti bersedekah padahal dikenai bunga setelahnya. Dan kemarin adalah hari terakhir kesempatan Pak Sutijo membayar sedekah yang dianggap hutang+bunganya, dan karena Pak Sutijo tidak bisa membayar itu semua, Pak Sutijo dikeroyok oleh suruhan rentenir sampai Pak Sutijo menghembuskan nafas terakhirnya.

Pemakaman Pak Sutijo dilaksanakan keesokan harinya di TPU terdekat dari Kp. Sumber Asih, Pak Sutijo adalah orang yang sangat baik dan banyak sekali orang yang menangisi Pak Sutijo termasuk kami.

Namaku Arunika, aku hadir di pemakaman Pak Sutijo dengan banyak air mata, untuk Pak Sutijo yang meninggalkan kami, untuk keluarga yang ditinggalkan, dan untuk Mentari.

Mentari, teman kecilku yang menjadi sebab utama dari wafatnya Pak Sutijo. Ia yang aku kenal baik dan taat kepada ajaran agama, kemarin sudah menghabisi nyawa manusia yang tidak bersalah. 

"Tari..." Sapa ku

" Maaf?" jawab Mentari

Aku mengenalkan ulang diriku dengan nafas yang tersedu-sedu

"Oh, kita kan cuma berteman dulu" jawabnya sebelum pergi dikawal bodyguard.

Ya, Mentari yang tempo lalu aku renungi dan aku ingat lagi kenangannya, kini menjadi orang yang tidak ingin aku temui lagi.

Akhirnya, kami bertemu saat menjadi orang besar, tetapi sayangnya aku sangat menyesal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun