Mohon tunggu...
Valerie Albertina Louisa
Valerie Albertina Louisa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa UKWMS

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pelecehan Seksual Berkedok Romantis

23 November 2022   19:13 Diperbarui: 23 November 2022   19:24 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pelecehan seksual adalah kejahatan yang mengarah pada tindakan seksual yang  bisa disalurkan melalui tindakan fisik maupun non-fisik. Pelecehan seksual  memiliki dampak yang merugikan, dimana korban bisa mengalami masalah kesehatan, baik secara fisik maupun mental. 

Pelecehan seksual tidak hanya mengarah pada konteks seks, tapi juga membahas tentang penyalahgunaan  kekuasaan dan otoritas. Banyak pelaku pelecehan seksual mengakui bahwa tindakan mereka merupakan ketertarikan dan keinginan romantis semata. Pelecehan seksual lebih banyak dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan, tapi  tidak menutup kemungkinan bahwa perempuan juga bisa melakukan pelecehan terhadap laki-laki.

Masalah-masalah seperti kasus pelecehan ini telah menyimpang dari nilai-nilai asasi manusia dimana manusia akan semakin terperangkap dalam lubang yang  digali oleh dirinya sendiri. Tentunya masalah tersebut akan terus mendesak dan menuntut adanya jawaban. Untuk mendapatkan jawaban tersebut, diperlukan suatu pendekatan yang berpusat pada eksistensi manusia.

Soren Aabye Kierkegaard, seorang filsuf kelahiran Denmark yang mempercayai pemikiran eksistensialis, telah menunjukkan perbedaan tahapan religius yang  berbeda dengan para filsuf eksistensialisme lainnya. Dalam puncak pemikirannya, ia sangat berfokus pada Ilahiah atau Ketuhanan.

Berbicara tentang filsafat eksistensialisme, eksistensialisme diartikan sebagai keberadaan. Dimana ilmu itu akan memandang segala sesuai betitik tolak dengan eksistensinya.

Kata 'eksistensi' berasal dari kata 'eks' yang artinya keluar dan 'sistensi' berasal dari kata kerja 'sisto' yang artinya berdiri atau menempatkan. Sehingga kata 'eksistensi' dapat diartikan manusia yang berdiri sebagai diri sendiri dengan keluar dari dirinya.

Soren Kierkegaard mengatakan bahwa keadaan diri atau eksistensi sangatlah penting bagi kehidupan manusia. Dimana dalam keberadaan tersebut eksistensi manusia tidak statis, melainkan secara implisit terjadi perubahan dan perpindahan dari kemungkinan pada tingkat kenyataan

. Dengan hal ini, dapat dikatakan bahwa eksistensi tidak terlepas dari kebebasan karena manusia selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan dalam hidupnya.

 Manusia tidak akan bisa menghindari pilihan itu karena setiap manusia akan terus dituntut untuk mengambil keputusan. Dalam kehidupan ini, manusia harus berani dalam mengambil keputusan. 

Dengan keberanian itu, manusia mampu untuk menentukan jalan hidupnya, mendapatkan makna dari setiap keputusannya, dan mampu menjalani eksistensi yang berarti.  

Sehingga dengan hal itu manusia dapat bertanggung jawab atas setiap pilihannya. Soren Kierkegaard juga mengatakan bahwa manusia yang mampu mengambil keputusan sudah mewujudkan bentuk eksistensi yang sebenarnya. Sebaliknya, manusia yang tidak tegas dalam mengambil keputusan akan mewujudkan eksistensi yang semu.

Soren Kierkegaard membagi eksistensi manusia menjadi 3 tahapan, dimana tahapan-tahapan tersebut akan menentukan apa yang menjadi perhatian manusia dan apa mempengaruhi eksistensi manusia.

Yang pertama adalah tahap estetis. Pada tahap ini perhatian manusia terfokus pada segala hal yang berada di luar hidupnya dan mengarah pada hal duniawi, seperti keinginan untuk memenuhi kenikmatan jasmani dan rohani. Keinginan-keinginan tersebut hanya terpaku pada pengalaman emosi dan nafsu. 

Dengan dorongan emosi dan nafsu tersebut, kesenangan yang dicapai dianggap tidak terbatas. Tapi, pada akhirnya akan sampai pada kesadaran bahwa keadaan tersebut terbatas, sehingga manusia akan sampai kepada keputusasaan.

Manusia akan cenderung menghindar dari keputusan-keputusan yang mendatangi dirinya, sehingga dapat dikatakan batinnya kosong. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa manusia yang berada di tahapan ini membuat manusia tidak akan dapat menemukan sesuatu yang bisa meniadakan keputusasaan.

Meskipun begitu, manusia tetap harus memilih untuk keluar dari keputusasaan tersebut dengan cara pindah ke tahap eksistensi berikutnya yang lebih menuju pada sikap selektif. 

Manusia harus mampu menempatkan diri di antara pilihan-pilihan karena manusia selalu dihadapkan dengan pilihan yang berkaitan dengan hal baik dan buruk. Pada tahap estetis ini, tidak ditemukan nilai-nilai moral yang ditetapkan dan juga nilai-nilai keagamaan.

Yang kedua adalah tahap etis. Pada tahap ini, yang menjadi fokus manusia adalah batinnya. Manusia akan hidup berdasarkan hal-hal yang nyata atau kongkrit adanya. 

Perpindahan dari tahap estetis menuju ke tahap etis yang dikemukakan oleh Soren Kierkegaard telah menggambarkan manusia yang telah meninggalkan nafsu atau hal-hal duniawi dan mulai masuk ke bentuk kewajiban. 

Manusia akan terus dihadapkan pada berbagai macam pilihan, tapi dalam tahap ini manusia telah menyadari dan memahami tentang adanya acuan nilai yang bersifat umum. 

Dengan demikian manusia mampu memilah segala sesuatu yang baik atau buruk dan kemudian dalam waktu bersamaan manusia mampu menempatkan dirinya di antara pilihannya. 

Dalam mengambil keputusan, manusia harus memiliki pendirian yang kuat dan tegas agar manusia bisa menjalani eksistensi yang berarti atau bermakna. Meskipun manusia bebas menentukan apa yang menjadi pilihannya, manusia tidak terlepas dari tanggung jawab atas pilihannya. 

Apapun tindakan yang dilakukan manusia harus didukung dengan sikap etis yang tidak terlepas dari tanggung jawab agar setiap keputusan yang diambil memiliki makna.Pada tahap etis ini, manusia telah memahami dan menyadari adanya pertimbangan etis dan kesadaran moral.

Yang ketiga adalah tahap religius. Setelah memperhatikan segala sesuatu yang mempertimbangkan nilai etis dan kesadaran moral, manusia akan mulai menyadari kesalahan, kekurangan, dan dosa-dosanya. 

Pada tahap religius, manusia melakukan segala sesuatu dengan sadar berdasarkan iman mereka. Soren Kierkegaard memberikan contoh manusia yang telah mencapai tahap religius, yaitu Abraham.  Abraham rela mempersembahkan anaknya, Ishak untuk dijadikan persembahan bagi Tuhan. Sebagai manusia yang berada di tahap estetis atau etik, manusia akan berpikiran bahwa itu adalah hal yang tidak masuk akal. 

Tapi, Abraham adalah manusia yang berada di tahap religius dimana tahap ini memusatkan orientasinya pada Tuhan. Bentuk eksistensi religius akan memberikan sikap dan perilaku manusia yang hakiki. 

Segala keputusan berada di tangan Tuhan dan Tuhan akan menyatakan diri-Nya melalui kesadaran manusia. Untuk mencapai tahap religius, manusia tidak bisa melakukannya satu kali saja, tapi harus berkali-kali dan konsisten agar mampu menghasilkan sesuatu yang bersinambungan dan berkelanjutan. 

Pada tahap religius, manusia tidak mencaricari pengertian dan kesaksian dari sesama manusia, tapi kebenaran yang dihadapi manusia merupakan kebenaran yang mutlak. Jalan menuju Tuhan tidak mungkin dijalani dengan logika yang tidak beraturan, tapi harus melalui bentuk yang didasarkan pada penghayatan subjektif.

Menurut Soren Kierkegard, pada dasarnya manusia adalah subjektif. Dalam kasus pelecehan seksual, pelaku bertindak berdasarkan pemikiran yang ada dalam dirinya sendiri. Dimana setiap manusia pasti memiliki kendali atas dirinya sendiri dan hal ini berkaitan dengan kehendak bebas yang dikatakan oleh Soren Kierkegard. 

Pelaku pelecehan seksual juga memiliki kebebasan bebas di dalam dirinya dan didukung oleh tahapan eksistensi manusia. Pelaku pelecehan seksual dapat dikatakan berada di tahap eksistensi estetis karena dalam melakukan pelecehan seksual, mereka tidak memperhatikan moral, apakah tindakan yang ia lakukan itu salah/dosa asalkan keinginan mereka akan kepuasan nafsu terpenuhi. 

Meskipun setiap manusia memiliki kehendak bebas, apapun keputusan atas pilihan pasti memiliki konsekuensi yang harus diterima. Ketika pelaku memilih untuk memenuhi keinginan mereka akan hawa nafsu, mereka juga harus menghadapi konsekuensi, seperti hukuman penjara seumur hidup. 

Soren Kierkegaard juga menjelaskan bahwa kehendak bebas tidak hanya sekedar bebas, tapi selalu ada pertanggung jawaban atas keputusan yang manusia pilih. Manusia tidak akan bisa menghindar dari tanggung jawab, karena semua pilihan memiliki resiko.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun