Mohon tunggu...
Valerian Itu Faris
Valerian Itu Faris Mohon Tunggu... Advokat & Konsultan Hukum -

Jangan Tunda. Lakukan Sekarang !

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Bela Merah Putih dan Integritas Polisi

11 September 2016   01:11 Diperbarui: 11 September 2016   02:17 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perayaan suci Galungan tujuh September 2016 ternodai. Masyarakat Bali dikejutkan dengan penangkapan I Gusti Putu Dharmawijaya. Pada malam itu juga, Polda Bali menetapkan Gung Omet sapaannya, sebagai tersangka, melanggar Pasal 24 Jo Pasal 66 UU No 24/2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. 

Selintas peristiwa ini tampak biasa karena peran dan tanggung jawab Polisi untuk menjaga Kamtibmas, yang memang tidak mengenal batas ruang dan waktu. Namun yang menjadi persoalan saat ini, polisi terindikasi telah bertindak diluar kendali hukum dan mengabaikan etika sosial dari masyarakat yang tengah khusuk merayakan Galungan.   

Kronologi penangkapan bermula pada pukul 19.30 Wita ketika seseorang mengaku Buser Polda Bali bernama I Gusti Made Sudiana menelepon Gung Omlet bermaksud ingin bertemu. Tetapi karena Omlet masih bekerja, ia meminta pertemuan dilakukan sepulang kerja jam 23.00 Wita. Lalu mengingat istrinya sedang hamil, ia kembali meminta pertemuan ditunda tidak malam itu, tetapi dijadwal hari Sabtu, 10 September 2016. 

Alih-alih menjadwal ulang, Buser Polda Bali langsung datang ketempat kerja Omlet dan meringkusnya secara paksa, tanpa menunjukkan surat tugas atau surat penangkapan. Setiba di Polda, Omlet pun jadi tersangka.

Berdasarkan informasi dari pengacaranya, Omlet dilaporkan lewat laporan polisi nomor: LP-A/333/IX/2016/BALI/SPKT tanggal 5 September 2016. Yang melaporkan adalah polisi lewat Laporan Model A, dituduh menurunkan Bendera Merah Putih pada tanggal 25 Agustus di depan Gedung DPRD Bali. 

Padahal perbuatan itu tidak dilakukan oleh Omlet, ia hanya melepas bendera ForBALI setelah parade budaya untuk menolak reklamasi teluk benoa bersama Pasubayan Desa Pakraman Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa. 

Pasal 24 (a) UU No.24/2009 menyebutkan, Setiap orang dilarang: a. merusak, merobek, menginjak-injak, membakar, atau melakukan perbuatan lain dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Bendera Negara.

Perbuatan dalam uraian pasal ini bersifat alternatif dengan unsur-unsur sebagai berikut:

Unsur (1) Setiap Orang:

Unsur ini mengarah kepada subyek hukum bernama I Gusti Putu Dharma Wijaya alias Gung Omlet yang telah ditetapkan sebagai tersangka. Sejak awal perbuatan yang disangkakan ini tidak jelas, karena tidak ada surat penangkapan. Dalam pemeriksaan barulah diketahui bila Omlet dituduh telah menurunkan Bendera Merah Putih pada tanggal 25 Agustus di depan Gedung DPRD.

Saat kejadian itu ada puluhan ribu saksi yang melihat, mendengar atau mengetahui perbuatan yang dituduhkan tersebut. Gung Omlet adalah representasi dari puluhan ribu massa yang menolak Reklamasi Teluk Benoa. Penyidik Polda Bali mengklaim telah memiliki sejumlah alat bukti. 

Namun apapun alat bukti itu, tetap perlu diuji keabsahannya di depan hukum, sebagaimana perintah pasal 183 KUHAP: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”

Sementara pasal 184 KUHAP Ayat (1) menyebutkan Alat bukti yang sah ialah (a) keterangan saksi, (b) keterangan ahli, (c) surat, (d) petunjuk, (e) keterangan terdakwa. Sedangkan bunyi Pasal 184 Ayat (2): Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.

Untuk unsur ini, apabila polisi mau bertindak fair dan objektif, maka seharusnya berani men-tersangkakan juga tiga ratusan ribu massa yang hadir ketika perbuatan yang disangkakan itu terjadi dengan menerapkan juga Pasal 56 KUHP ayat (1) dan ayat (2):

Dihukum sebagai orang yang melakukan kejahatan: (1) Barangsiapa dengan sengaja membantu melakukan kejahatan itu; (2) Barangsiapa dengan sengaja memberikan kesempatan, daya upaya, atau keterangan untuk melakukan kejahatan itu;

Tampaklah disini, penyidik polisi bertindak subyektif dalam menerapkan pasal untuk mentersangkakan seseorang yang tak bersalah.

Unsur (2): Dilarang merusak, merobek, menginjak-injak, membakar, atau melakukan perbuatan lain: 

Unsur ini langsung mengarah kepada perbuatan pidana (actus-reus). Perbuatan pidana harus jelas kapan  (tempus-delicti) dan dimana perbuatan itu dilakukan (locus-delicti)? Untuk memastikan tempus-delicti, maka penegak hukum harus menjawab pertanyaan penting ini terlebih dahulu, “Apakah benar pada saat perbuatan itu terjadi, perbuatan tersebut dikualifikasi sebagai perbuatan pidana?” Ini erat kaitannya dengan penerapan asas legalitas dalam KUHP. 

Merujuk pada fakta dilapangan, maka tersangka Gung Omlet tidak sama sekali sedang melakukan perbuatan pidana, ia tidak merusak, merobek dan menginjak nginjak, membakar atau melakukan perbuatan lain”  Bila Polisi beralibi bahwa yang dilakukan Gung Omlet dikategorikan dalam frasa: atau melakukan perbuatan lainMaka penafsiran tersebut sangatlah gamang dan perlu penyelidikan yang lebih rigit untuk mentersangkakan seseorang. Anehnya, hanya dalam hitungan jam saja, Polisi sudah menetapkan Gung Omlet sebagai tersangka. Ironi.

Unsur (3): Dengan Maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Bendera Negara: 

Unsur ini artinya sebelum terjadinya perbuatan pidana, tersangka telah terlebih dahulu mengantongi maksud, niat atau kehendak jahat (mens-rea). Sementara faktanya kejadian tersebut bersifat insidentil, dimana ia tidak sama sekali berniat untuk menodai, menghina apalagi hendak merendahkan kehormatan Bendera Negara. 

Frasa dengan maksud juga erat kaitan dengan adanya tindakan kesengajaan yang mana penting bagi polisi untuk mendalami latar belakang dari tertuduh. Gung Omlet adalah pemuda baik-baik yang tidak memiliki satupun riwayat melakukan makar terhadap NKRI, bahkan belum pernah sekalipun dipidana karena melakukan kejahatan terhadap Negara. Sayangnya, jangankan penyidik mendalami motif dan melakukan penyelidikan yang akurat dan obyektif, tapi yang terjadi Gung Omlet sudah terlebih dahulu ditersangkakan.  

Sehingga Polda Bali patutlah diduga telah melakukan tindakan sewenang-wenang dan melanggar mekanisme "due proces of law and fair trial".

Pertama, pemanggilan yang tidak patut. Surat panggilan tersangka diatur dalam Pasal 112 ayat (1) KUHAP. Disebutkan, penyidik yang melakukan pemeriksaan, dengan menyebutkan alasan pemanggilan secara jelas, berwenang memanggil tersangka dan saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa dengan surat panggilan yang sah dengan memperhatikan tenggang waktu yang wajar antara diterimanya panggilan dan hari seorang itu diharuskan memenuhi panggilan tersebut. Dalam penjelasan Pasal 112 ayat (1) KUHAP bahwa surat panggilan yang sah adalah surat panggilan yang ditandatangani oleh pejabat penyidik yang berwenang.

Kedua, untuk menetapkan tersangka, pihak penyidik harus menerbitkan Surat Perintah Dimulai Penyidikan sebagai pemberitahuan kepada Jaksa, yang kemudian dilanjutkan proses penyidikan untuk memperoleh nama-nama yang dijadikan tersangka (lihat Keputusan Jaksa Agung RI No.518/A/J.A/11/2001 tanggal 1 November 2001 tentang Perubahan Keputusan Jaksa Agung RI No. 132/JA/11/1994 tentang Administrasi Perkara Tindak Pidana). Setelah itu, penyidik memanggil tersangka (serta saksi-saksi) untuk diperiksa. 

Sehingga atas dasar itulah, Kapolda Bali kemudian didesak segera membebaskan dan mengeluarkan SP3 terhadap tersangka. Harus bersikap imparsial dalam menangani kasus tersebut, serta tidak terpengaruh oleh desakan pihak-pihak yang ingin mengkriminalisasi para aktivis yang sedang berjuang menyelamatkan lingkungan hidup. 

Kapolda Bali juga diminta segera menginstruksikan kepada jajaran kepolisian di wilayah Bali untuk menghentikan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan sewenang-wenang yang dilakukan secara sistematis, serta harus memastikan dan menjamin rehabilitasi para korban yang terhadapnya telah dilakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan sewenang-wenang.

Selain itu, Kapolda Bali diminta menginstruksikan agar seluruh aparat kepolisian di wilayahnya mematuhi Perkap No. 8/2009 (Standard HAM Kepolisian) dan peraturan perundang-undangan lainnya yang menjamin perlindungan, pemenuhan, dan penghormatan HAM dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya;

Memastikan terjaganya keamanan, perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan hak asasi manusia (HAM) setiap warga masyarakat yang ada di wilayah Bali,serta memastikan berlangsungnya proses hukum yang sejalan dengan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan Hak Asasi Manusia;

Memastikan semua proses harus dilakukan sesuai tuntutan terhadap kinerja polisi yang profesional dalam melindungi dan melayani warga, bukan dalam rangka kepentingan pihak-pihak tertentu dan segera menghentikan segala bentuk kriminalisasi terhadap aktivis yang melakukan penolakan reklamasi teluk benoa. | VALERIAN LIBERT WANGGE, DARI BERBAGAI SUMBER.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun