Setelah ditunda 2 pekan, sidang praperadilan terkait status tersangka pembunuhan Engeline (sebelumnya Angeline) kembali digelar. Sidang praperadilan atas permintaan kuasa hukum Margriet Megawe dari kantor hukum Hotma Sitompoel & Assosiates ini, digelar di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar, Senin, (27/07/2015) dipimpin hakim tunggal Achmad Peten Sili.
Sidang kedua ini akan mendengar jawaban termohon (polri), diperkirakan putusan praperadilan akan dibacakan pekan ini. Tim kuasa hukum Margriet dalam sidang perdana, Senin (13/7/2015) telah menyampaikan pokok-pokok permohonan. Mereka meminta agar, Sprindik (Surat Perintah Penyidikan) yang menyebutkan pasal pembunuhan dengan rencana di buka di pengadilan.
Mereka juga meminta, agar keterangan ahli berdasar hasil Inafis (Indonesia Automatic Fingerprint Identification System), dimana sidik jari ditemukan, yang menjadi dasar penetapan tersangka juga dibuka. Pengacara Dion Pongkor Dkk, juga menyatakan jika polisi dalam menetapkan status tersangka lebih karena besarnya tekanan publik. Untuk hal ini, mereka memohon, agar hakim membatalkan demi hukum dengan segala akibatnya, dasar-dasar dari penetapan tersangka beserta berita cara penyidikan pada kliennya.
MENGUJI UNFAIR PREJUDICE
Upaya hukum praperadilan yang tengah berjalan ini; secara tersirat (sebetulnya), tengah menegaskan, jika kuasa hukum Margriet sangat meyakini, telah terjadi unfair prejudice (persangkaan tidak wajar) terhadap kliennya oleh penyidik (polisi). Persangkaan tidak wajar (unfair prejudice) mungkin saja bisa terjadi, tidak saja untuk tersangka kasus ini, juga bagi tersangka dalam kasus lainnya.
Untuk hal ini, institusi yang diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk menguji ada tidaknya unfair prejudice ini adalah pengadilan melalui mekanisme praperadilan. Sebagaimana pendapat Andi Hamzah, praperadilan merupakan salah satu jelmaan dari habeas corpus sebagai prototype, yakni tempat untuk mengadukan pelanggaran HAM dalam suatu proses pemeriksaan perkara pidana.
Selain itu Adnan Buyung Nasution, juga mengatakan, jika ide lembaga praperadilan berasal dari adanya hak habeas corpus dalam sistem Anglo Saxon (common law system), yang memberikan jaminan dasar terhadap HAM khususnya hak kemerdekaan. Habeas Corpus memberikan hak pada seseorang untuk melalui surat perintah pengadilan, menuntut pejabat (polisi atau jaksa) yang melakukan penahanan, membuktikan bahwa penahanan itu tidak melanggar hukum.
Apakah penyidik (polisi) selaku termohon, telah melakukan unfair prejudice ? Pertanyaan ini akan terjawab dalam putusan praperadilan ini.
Praperadilan diatur dalam UU No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), tertuang dalam Pasal 1 angka 10, Pasal 77 hingga Pasal 83, Pasal 95 ayat (2) dan ayat (5), Pasal 97 ayat (3), serta Pasal 124.
Dimana pasal 77 KUHAP berbunyi “ Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang: (a) Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; (b) Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Objek praperadilan dalam Pasal 77 KUHAP ini, mengalami perubahan pasca lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No: 21/PUU-XII/2004. Putusan MK menyatakan “Pasal 77 huruf (a) UU No.8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana bertentangan dengan UUD RI 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) sepanjang tidak dimaknai mencakup sah atau tidaknya penetapan tersangka …”
BATAS UJI PENETAPAN TERSANGKA
Dapat dikatakan jika putusan MK diatas menjadi pintu masuk (entry-point) bagi tim Hotma Sitompoel untuk menguji absah atau tidak absahnya penetapan status tersangka atas diri ibu angkat Engeline itu. Namun demikian, keseluruhan permohonan tersebut, mesti dipilah satu persatu, terutama menyangkut batas uji atas absah atau tidaknya penetapan tersangka.
Hal ini agar proses dan prosedur praperadilan tidak menimbulkan kegamangan hukum, dimana harus dibatasi hanya untuk membuktikan absah atau tidak absahnya penetapan tersangka, bukan masuk lebih jauh ke dalam pokok perkara. Pokok perkara serta proses penetapan tersangka sama-sama menggunakan sistem pembuktian minimum.
Namun meskipun begitu, antara keduanya tetap memiliki perbedaan, bahwa pada penetapan status tersangka dengan bewijs minimum; dua alat bukti, yakni untuk menentukan akurat tidaknya praduga bersalah (presumption of guilty). Sedangkan pada pemeriksaan pokok perkara yang terikat dengan negatief wettelijk bewijstheorie; dua alat bukti plus keyakinan hakim, pembuktiannya sudah tertuju pada “penetapannya” seorang bersalah ataukah tidak (guilty or not guilty).
Merujuk pada beragam pandangan terkait pengujian status seseorang sebagai tersangka, maka paling tidak ada 3 syarat yang memiliki korelasi antar satu dengan lainnya. Saya menyederhanakannya melalui 3 pertanyaan kunci dibawah ini:
Pertama, Apakah penyidik (polisi) dalam penetapan tersangka, sudah memenuhi batas minimun “bukti permulaan”, yang diamanatkan Pasal 184 KUHAP, dimana juga telah diperkuat oleh putusan MK No: 21/PUU-XII/2004?
Menurut saya, penyidik (polisi) telah memenuhi persyaratan tersebut, bahkan melampaui batas minimun alat bukti, sebagaimana yang diamanatkan putusan MK diatas. Polisi telah mengantongi lebih dari 2 alat alat bukti yang merujuk pemberitaan media sebagai berikut: Keterangan Saksi Agustinus, serta saksi-saksi lain; Keterangan Ahli dari hasil kerja tim inafis, serta tim forensik; Petunjuk dari hasil olah TKP, proses penelusuran barang bukti yang mengarah pada dugaan kuat digunakan tersangka.
Praperadilan akan menguji kualitas alat bukti tersebut, sehingga untuk hal ini, pemohon (kuasa hukum Margiet) sebagai pihak yang paling berkepentingan, akan berjuang maksimal untuk membuktikannya di depan hakim yang mulia.
Kedua, Apakah calon tersangka telah terlebih dahulu diperiksa oleh penyidik (polisi), sebelum ditetapkan sebagai tersangka?
Seperti yang diberitakan media cetak, televisi, maupun media online, sebelum menjadi tersangka, Margriet telah berulang kali menjalani pemeriksaan instensif. Bahkan penyidik menghadirkan alat uji test kebohongan untuk mengecek kebenaran ucapannya, serta saksi mahkota Agustinus. Bahkan meminta meminta pendapat psikolog, serta pakar kriminologi.
Ketiga, Apakah penyidik (polri) dalam proses menemukan alat bukti dilakukan dengan cara yang benar?
Dalam amatan saya, penyidik telah melalui upaya penemuan alat bukti tersebut diatas secara patut. Saya berpandangan jika penyidik (polisi) sangat berhati-hati, terkesan lamban yang akhirnya memunculkan kritik dari publik (termasuk saya pribadi). Mereka juga tidak serta merta menetapkan status tersangka pembunuhan untuk Margriet.
Justru status tersangka pembunuhan dikenakan lebih awal pada tersangka Agustinus Tay Hambamay. Penyidik melalui Kapolda Bali, Irjen (Pol) Ronny F Sompie sendiri, berulang kali menegaskan, jika polisi berpedoman pada prinsip Due Process of Law, melalui pendekatan investigasi ilmiah (Scientific Crimes Investigation).
Merujuk pada tiga pertanyaan kunci diatas, maka saya memberikan 2 konklusi (simpulan) atas catatan ini yakni, Pertama, Besar kemungkinan permohonan praperadilan oleh kuasa hukum Margriet ini akan ditolak. Menurut keyakinan saya, penyidik sejak awal telah maksimal menjalankan prinsip “due procces” yang memiliki karakter menolak efisiensi; mengutamakan kualitas dan menjunjung tinggi azas praduga tak bersalah.
Kedua, Apabila hakim Peten Sili memutuskan untuk menolak permohonan praperadilan Margriet, sebagaimana keyakinan saya diatas, maka ini tidak sama artinya tersangka Margriet telah terbukti bersalah. Mekanisme praperadilan hanya dijalankan untuk menguji absah atau tidak absahnya alat bukti yang menjadikan Margriet sebagai tersangka, bukan masuk pada pokok materi bersalah atau tidak bersalahnya Margriet.
Sehingga kita tinggal menunggu hasil pemberkasan ulang dari Polisi, sebagaimana yang dimintakan tim Kejaksaan, selanjutnya sidang dengan pokok perkara pembunuhan dengan rencana ini segera digelar. Belajar dari beragam kasus, maka diharapkan atensi, kontrol dan sikap proaktif publik teramat penting agar para pelaku pembunuhan ini mendapatkan hukuman yang maksimal (***)
Referensi :
- http://www.negarahukum.com/hukum/wajah-praperadilan-pasca-putusan-mk.html
- http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt51fa663e47431/objek-praperadilan-menurut-kuhap
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H