Mohon tunggu...
Valerian Itu Faris
Valerian Itu Faris Mohon Tunggu... Advokat & Konsultan Hukum -

Jangan Tunda. Lakukan Sekarang !

Selanjutnya

Tutup

Politik

Membaca jejak GIDI, Menyemai Jalan Terbaik Pasca Insiden Karubaga di Tanah Papua

19 Juli 2015   22:32 Diperbarui: 19 Juli 2015   22:43 996
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah Insiden Karubaga (Papua) 17 Juli 2015; mendadak nama GIDI dikenal luas. Semula saya mengira, GIDI seperti umumnya organisasi yang lahir sebagai akibat derasnya arus kebebasan organisasi pasca tamatnya era Orba Soeharto tahun 1998.

Nyatanya, embrio GIDI telah ada pada tahun ke-6 pasca Proklamasi Kemerdekaan RI 1945. Ini bukan organisasi yang baru berdiri kemarin sore, namun telah memiliki jejak kesejarahan panjang, juga resmi terdaftar di Departemen Keagamaan RI.

Setelah membaca situs resmi mereka, akhirnya saya mengetahui jika GIDI mengusung misi ke agamaan, yang sudah menebarkan banyak kebaikan bagi Papua. Dan dari tanah Papua merambah ke delapan wilayah pelayanan seluruh Indonesia.

Gerakan karitatifnya (cinta kasih), ditandai hadirnya 2 buah rumah sakit swasta, klinik Kalvari dan rumah sakit Immanuel di Wamena. Selain itu, GIDI memiliki TK-PAUD, sekolah Tingkat Menengah, tingkat Atas hingga Perguruan Tinggi seperti STAKIN, SAID, STT GIDI di Sentani, serta 9 buah SMP dan SMU yang tersebar di seluruh wilayah GIDI.

SEJAK 1951

GIDI singkatan dari Gereja Injili di Indonesia, atau The Evangelical Church of Indonesia. Cikal bakal kehadiran GIDI di tanah Papua sudah mencapai 64 tahun, terhitung sejak tahun 1951. GIDI hadir 10 tahun sebelum operasi Trikora 1961 atau 8 tahun sebelum Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) Irian Barat.


Organisasi ini dirintis oleh 3 orang misionaris dari Badan Misi UFM dan APCM yakni Hans Veldhuis, Fred Dawson, Russel Bond, sekitar tahun 1951 hingga 1954. Saat Indonesia masih dibawah kepemimpinan Presiden Soekarno, organisasi ini resmi mendaftar pada Departemen Agama RI di Jakarta, bernomor: E/Ket/385-1745/76, tanggal 12 Februari 1962.

Seiring kian maju dan bertumbuh pesatnya organisasi ini, maka para pendiri bersepakat untuk mendirikan gereja dengan nama sendiri. Akhirnya, pada 12 Februari 1963, organisasi ini untuk pertama kali disebut Gereja Injili Irian Barat (GIIB) hingga tahun 1971 dengan pusat gereja di Irian Jaya.

Pada tahun 1971 nama gereja GIIB diganti dengan GIIJ (Gereja Injili Irian Jaya) hingga tahun 1988, sejalan dengan masa peralihan Irian Barat ke wilayah NKRI dimana nama Irian Barat diganti dengan Irian Jaya.

Pada tahun 1988 nama gereja ini berubah menjadi Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) sesuai dengan perkembangan dan pertumbuhan gereja dari tanah Papua yang merambah hingga ke pulau-pulau seluruh Indonesia. Organisasi ini mendaftar kembali di Departemen Agama RI dengan nama baru bernomor: F/Ket/43-642/89. tanggal 06 Januari 1989.

PENYELESAIAN KOMPREHENSIF

Sungguh keterlaluan pasca Insiden 17 Juli 2015, ada pihak-pihak yang menuding tanpa alas data yang akurat, jika ada hubungan serius antara GIDI dengan OPM (Organisasi Papua Merdeka), bahkan sebuah media Nasional, dengan “interest politiknya” menghubungkan GIDI dengan Israel.

Untuk menyelesaikan kasus ini diperlukan strategi yang tepat. Saat ini jalan yang tengah ditempuh yakni melalui pendekatan dialog (sosiologis) dan penegakan hukum (yuridis).

Pendekatan dialogis sudah melahirkan 5 butir pernyataan damai dari para tokoh dan pemimpin agama, juga melalui pelurusan pemberitaan, sebagaimana yang tengah dilakukan Komnas HAM, maupun institusi kredibel lainnya. Sementara pendekatan yuridis, menjadi domain Polri, yang sedang melakukan penyidikan-penyelidikan lapangan untuk menemukan aktor pelaku yang bertanggung jawab.

Merespon persoalan ini, menurut saya diperlukan juga upaya publik dan aparatus agar tidak memperkeruh suasana. [1] Hendaknya kita, jangan terlampau genit meletakan syahwat opini politik lewat pendekatan konspiratif, lalu memberi beban pada organisasi yang sudah memiliki jasa besar bagi Papua ini.Tidak semua kabar berita media massa, bisa dipertanggung jawabkan.

Mari ikut membantu meluruskan berita, jika yang terjadi disana bukan tindakan sengaja membakar Musholla (berita yang beredar: Masjid), namun akibat rambatan api dari kios-kios, serta rumah penduduk yang dibakar warga karena kemarahan setelah dentuman timah panas aparatus. Jika memang ada yang sengaja membakar untuk memperkeruh situasi, maka serahkan saja pada proses hukum yang berlaku.

[2] Ketika Insiden ini terjadi, sorot mata kita langsung tertuju pada “tempum (waktu), tepatnya saat perayaan Idul Fitri. Bukankah hak untuk beribadah itu Hak Azasi Manusia dan dilindungi UUD 1945?. Wajar semua kita yang mencintai perdamaian dan toleransi di negeri ini, mengecam segala tindakan yang meng eliminasi aktivitas keagamaan.

Untuk itu pentinglah segera dibangun dialog, memeriksa ulang konsensus hukum (jika ada), seperti Perda yang disinyalir menjadi legal standing GIDI. Merujuk pada Surat Edaran GIDI tertanggal 11 Juli 2015, maka yang terancam bukan saja umat Muslim, namun juga umat Kristen lainnya yang tidak tergabung dalam GIDI.

[3] Dalam riset yang dilakukan Bikhu Parekh, ditemukan 2 alasan utama yang menjadi sebab terjadinya konflik sosial bernuansa “agama”, yakni persoalan representasi dan redistribusi. Representasi lekat dengan pengakuan sosial. GIDI dengan sejarah panjang yang dimilikinya, boleh jadi terlampau percaya diri, sehingga terkesan meniadakan yang lain, termasuk sesama organisasi Kristen disana.

Sementara redistribusi bertautan dengan persoalan kesenjangan ekonomi. Pada titik ini (redistribusi), pasar lah menjadi pilihan warga untuk menumpahkan amarah mereka, setelah aparatus melakukan tindakan represif menembaki. Pasar adalah ruang paling telanjang, bagaimana jurang pemisah antar warga itu hadir.

Akhir kata, … pengalaman mengajarkan kita, untuk tidak menaruh Api pada hamparan ilalang kering. Mestinya, kita lebih arif membaca GIDI, Kurubaga dan Papua dengan kacamata yang jernih (termasuk) melalui data yang bisa dipertanggung jawabkan. (***)

Referensi:

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun