Mohon tunggu...
Valerian Itu Faris
Valerian Itu Faris Mohon Tunggu... Advokat & Konsultan Hukum -

Jangan Tunda. Lakukan Sekarang !

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kasus Florence Sihombing dan Nasib Jemaat El Shadai Sleman Yogyakarta

1 September 2014   00:40 Diperbarui: 24 Juli 2015   18:34 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sumber foto: Dokumen kuasa hukum Pendeta Niko Lombuan

Membaca kabar Florence Sihombing yang ditahan Polda Yogyakarta otak saya langsung berdenyut dan nurani saya benar benar terusik. Florence bisa saja salah serta sudah memohon pemaafan. Namun sikap aparatus ini tampaknya berlebihan.

Jika memang serius menegakan hukum mestinya mereka menatap cermin besar biar bisa berlaku bijak. Mereka seolah lupa jika banyak kasus heboh sebelumnya yang gantung dan sisahkan lembaran pekerjaan rumah yang belum selesai.

Kalau memang sungguh mau menegakan hukum, jangan tebang pilih kasus lah! Berikan perlindungan hukum dan keamanan bagi semua warga negara tanpa terkecuali. Bukalah mata selebar lebarnya, periksa fakta lapangan termasuk dilema yang kini dialami jemaat Gereja El Shadai, Panggukan Sleman Yogyakarta.

Mau beribadah saja mereka mesti urunan setiap pekan agar bisa sewa ruangan. Padahal mereka sebetulnya sudah punya tempat ibadah sendiri yang dibangun secara swadaya. Soal ada tidaknya izin pun debatabel. Saya telah mempelajari kasus ini dan menjumpai banyak kejanggalan.

Perihal ini tim hukum (saya dkk) yang mengadvokasi kasus ini telah bertemu Pemda, Muspida, FKUB hingga Muspika Sleman. Tujuannya agar negara benar-benar hadir mengayomi warganya, Dalam sejumlah keterangan ditemukan data jika rumah ibadah yang saat ini masih disegel itu pernah digunakan Pemda Sleman untuk pembinaan mental spritual bagi PNS Sleman beragama Kristiani selama 3 tahun.

Aktivitas Gereja pun sudah berjalan jauh hari sebelum terbitnya SKB Menteri yang kontroversial itu. Saat ini Pendeta Niko Lombuan selaku pemimpin jemaat El Shadai diminta untuk mengikuti prosedural aturan berlaku berdasarkan pada SKB Menteri.

Kami (tim hukum) tak masalahkan prosedural administratif jika memang aturan hukum sudah menetapkannya demikian. Namun jika mau fair, mari sama sama mengecek perizinan rumah ibadah lainnya. Bagi kami kasus ini sudah sangat kental nuansa politisnya sehingga sangat mendesak bagi publik untuk mengatensinya.

Jika tidak, ini bom waktu dan segerombolan orang dengan kedok “agama” akan semakin mendapatkan ruang untuk seenaknya mengintervensi hukum demi syahwat kepentingannya. D.I Yogyakarta yang sejauh ini menjadi simbol kebhinekaan Indonesia kini tengah mengalami tantangan paling serius.

Boleh jadi mengoyak Yogyakarta sama dengan menggergaji pilar kebangsaan kita. Jika Yogyakarta saja bisa ditembus maka wilayah lain jauh lebih mudah. Ini yang menurut saya mungkin ada dalam pikiran kaum anti toleransi itu ! Ironi lain aparatus terkesan takut terhadap kelompok intoleran yang ketika kasus ini menyeruak justru sebagian besar datang dari kota lain.

Secara prinsipilpun IMB untuk rumah tinggal tak lagi menjadi persoalan (lengkap legalitasnya) dan lokasi inipun tidak melanggar tata ruang untuk dijadikan tempat ibadah (pernyataan Pemda Sleman pada kami). Pendeta Niko Lombuan pun telah berjumpa pimpinan FKUB, Camat dan Muspika terkait untuk mengklarifikasi masalahnya.

Beliau dengan rendah hati sudah menyampaikan permohonan maaf jika memang karena keteledorannya membuat pemda direpotkan. Namun anehnya muncul saran agar beliau membuat pernyataan tertulis perminta maaf kepada oknum penghasut itu. Ada apa ini? Dimana peran dan tanggung jawab Negara (Polri,red) untuk memberikan jaminan keamanan dan kenyamanan baginya sebagai warga negara?

Polisi mestinya tegas untuk menahan atau menangkap siapa saja dari organisasi mana saja yang terang terangan mengancam kebhinekaan ! Keberanian bukan hanya untuk seorang Florence Sihombing semata! Yogyakarta kini memang menyimpan masalah, terlampau banyak kasus yang tak juga selesai.

Kamipun terkejut jika di akhir Agustus 2014 ini muncul kasus baru untuk Gereja Pantekosta "Kadipiro" Bantul yang dituntut untuk ditutup, padahal sudah kantongi izin sejak tahun 1990. Bahkan prasasti peresmian ditanda tangani Bupati Bantul ketika itu. Belum lagi kasus terbunuhnya wartawan Udin dll.

Ingat! Cara penanganan kasus Florence Sihombing bagi kami justru mempertebal rasa yakin jika ada yang tidak beres. Boleh jadi ini memang upaya sistemik atau ulah oknum-oknum tertentu dengan tujuan politis. Kami tak akan pernah mundur, resiko apapun akan kami hadapi demi tegaknya Hukum, HAM dan keadilan di Republik ini (*)

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun