Mohon tunggu...
Tovanno Valentino
Tovanno Valentino Mohon Tunggu... Konsultan - Hanya Seorang Pemimpi

Hanya Seorang Pemimpi

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Survei LSI Denny JA, Dapat "Memprovokasi" Parpol dan Adanya Indikasi Melanggar UU Pemilu

16 Februari 2023   20:02 Diperbarui: 17 Februari 2023   01:30 13379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA merilis hasil survei terkait tingkat elektabilitas partai politik, Selasa (7/2/2023) Sumber : tribunnews.com

The real problem is in the hearts and minds of men. It is not a problem of physics but of ethics. It is easier to denature plutonium than to denature the evil spirit of man. (Masalah sebenarnya ada di hati dan pikiran manusia. Ini bukan masalah fisika tapi etika. Lebih mudah mengubah sifat plutonium daripada mengubah sifat roh jahat manusia.)
- Albert Einstein -

Saya sempat membaca pemberitaan terkait rilis hasil Survey LSI yang sudah diberitakan luas oleh media terkait hanya 7 Parpol yang Lolos Ambang Batas Parlemn, 2 Partai Lama "terlempar" dari senayan dan terdapat 3 partai yang bertarung untuk memperbutkan suara Nasional terbanyak untuk mengklaim   sebagai parpol pemenang pemilu. Kalo ndak salah saya baca sekitar seminggu yang lalu. 

Namun saat itu belum terpikirkan untuk menulis prediksi (tepatnya opini). Sekalipun sempat mendalami aspek motede ilmiah yang digunakan dalam survei, yang biasanya dapat diterima. Apalagi Lembaga Survey sekelas LSI Denny JA. Selain itu saya masih terjebak pada istilah "Elektabilitas" Parpol, bukan pada angka prediksi hasil Pemilu yang sebenarnya secara tegas di atur oleh Undang-Undang Pemilu, sebagai metode yang mirip dengan Quick Count dan merupakan bagian dari metodologi yang digunkan melalui survei yang  terkait pada umumnya. 

Saat itu juga, tidak terlintas sama sekali aspek lain, baik itu etika maupun adanya indikasi pelanggaran terhadap  peraturan perundangan, minimal undang-undang Pemilu. 

Mungkin sudah ada tanggapan langsung terkait hasil Survei Tersebut, namun saya belum membacanya. Saat menulis judul ini, sebenarnya dipicu oleh spanduk/back drop pada foto di atas. 

Saya akhirnya mencoba untuk menganalisa dan menulis sesuai prespektif saya, khusnya masalah etika yang seharusnya menjadi pedoman kita bersama dan keterkaitannya dengan Undang-Undang Pemilu. 

Oleh karena itu, setelah sempat tertunda karena mengalami sedikit masalah kesehatan. Baru hari ini saya menuangkan prediksi/opini saya ini.  

To the point saja, saya memang  sengaja memilih kata "dapat memprovokasi" dan "terindikasi", untuk menuangkan unek-unek menurut analisa saya pribadi tentunya, entah menurut anda, Penyelenggara Pemilu, Bang Denny dan Tim, Dewan Etik, dan masyarakat  luas jika beranggapan lain. 

Jika ada benarnya, ataupun terjadi kekeliruan analisis, singkatnya benar dan salahnya argumentasi dan analisa melalui opini saya, Sepenuhnya menjadi resiko saya pribadi.

Saya sengaja menggunakan kutipan Memprovokasi, tetapi jangan berburuk sangka dulu dengan petikan kata "dapat Memprovokasi" yang berasal dari kata dasar provokasi.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan, provokasi/pro*vo*ka*si/ adalah perbuatan untuk membangkitkan kemarahan; tindakan menghasut; penghasutan; pancingan. Jadi bukan hanya menimbulkan kemarahan tapi dapat diartikan juga sebagai "pancingan", yang dalam KBBI diartikan sebagai "teknik penyajian awal cerita rekaan untuk memancing minat pembaca", dalam hal ini parpol dan tentu menimbulkan reaksi nantinya.

Provokasi oleh sebagian besar orang diartikan secara negatif. Tapi sadar ataupun tidak dalam keadaan tertentu, komentator, debater, pemberitaan mediapun jika didalami dengan benar ada juga yang mengandung unsur provokasi, minimal sebuah pancingan bahkan memanas-manasi. Sehingga dalam prespektif positif dapat diartikan Parpol didorong untuk perlomba-lomba untuk lolos Abang Batas. Nah upaya yang dilakukan oleh parpol ini bila dilakukan dengan cara-cara yang salah atau melanggar hukum (minimal UU Pemilu) bagi saya adalah buah dari Provokasi. Dapat juga sehari-hari banyak yang mengartikannya secara harafiah sebagai tindakan memans-manasi. (Lihat lagi  Judul dibalik Foto di atas)

Saya mengajak anda melihat kembali spanduk dibalik foto di atas, jelas frasa yang digunakan dapat menyinggung Parpol yang ada. Apakah tulisan tersebut dapat diterima secara etika, dan menurut hemat saya bukankah suatu tindakan Provokasi?

Anda boleh tidak sepakat atau sepakat untuk untuk tidak bersepakat. Terserah anda. Silahkan bang Denny CS, boleh juga berpendapat yang sama atau bisa saja menuduh justru saya sebaliknya yang memanas-manasi alias sama saja melakukan tulisan provokasi. Dalam pemahaman saya, hasil survei LSI tersebut sebuah pancingan dan pasti menimbulkan reaksi langsung atau tidak, untuk bertindak dalam koridor positif namun juga dapat melewati batasan aturan dalam undang-undang pemilu.

Menjelang Pemilu 2024, sudah dipastikan semua PARPOL dapat dan bahkan akan menggunakan segala cara, bahkan bisa terpleset dalam skenario yang melanggar peraturan perundang-undangan denga tujuan agar Parpolnya lolos Abang Batas Parlemen, tau terwakili di DPRD I dan II. 

Parliamentary threshold yaitu syarat minimal perolehan suara agar sebuah partai politik bisa diikutkan dalam penentuan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPRD).

Saya tidak tahu tujuannya, hanya Bang Denny dan Tim yang tahu latar belakang dari tujuan survei tersebut, namun saya cukup yakin sudah dipertimbangkan secara benar sesuai kaedah ilmiah dan unsur lainnya. Sehingga tidak melanggar Pasal 449 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu atau UU Pemilu seperti yang sempat diutarakan Bawaslu bahwa bahwa ayat tersebut menyatakan proses survei yang dilakukan di luar metode ilmiah tidak diperkenankan.  Saya sudah baca Pasal 449 ayat 2 undang-undang tersebut, malah menyebutkan bahwa Pengumuman hasil survei atau jajak pendapat tentang Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang dilakukan pada Masa Tenang. Begitupun dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum

Jika memang ada, mohon maaf, jika saya luput karena kelewat. Tetapi silahkan download dan membaca sendiri UU Pemilu tersebut. Namun bila memang ada, maka frasa batasan lain tidak disebutkan, sehingga kriteria memenuhi unsur kaedah ilmiah sudah aman bagi tujuan survey LSI tersebut. Akan tetapi saya tidak tahu frasa "Kaedah Lainnya" yang jelas.

Pada Bab XVII tentang Partisipasi Masyarakat, disebutkan pada pasal 448 disebutkan pada ayat 1 bahwa Pemilu diselenggarakan dengan partisipasi masyarakat. Sedangkan pada ayat 2 terdapat 4 "butir" yang dimaksud sebagai partisipasi masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam bentuk:

  • Sosialisasi Pemilu;
  • Pendidikan politik bagi Pemilih;
  • Survei atau jajak pendapat tentang Pemilu; dan
  • Penghitungan cepat hasil Pemilu.

Ketentuan terkait ke 4 butir pada pasal 2, tertuang dalam ayat 3 pasal yang sama, dimana disebutkan bahwa Bentuk partisipasi masyarakat sebegaimana dimaksud pada ayat (2) dengan ketentuan:

  • tidak melakukan keberpihakan yang menguntungkan atau merugikan Peserta Pemilu;
  • tidak mengganggu proses penyelenggaraan tahapan Pemilu;
  • bertujuan meningkatkan partisipasi politik masyarakat secara luas; dan
  • mendorong terwujudnya suasana yang kondusif bagi Penyelenggaraan Pemilu yang afiran, damai, tertib, dan lancar.

Kemudian, pada pasal 449 ayat 5 disebutkan, Pengumuman prakiraan hasil penghitungan cepat Pemilu hanya boleh dilakukan paling cepat 2 (dua) jam setelah selesai pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian barat.

Pertanyaannya, (kita bisa berbeda pendapat). Hasil survei LSI ini bukannya melanggar frasa pada pasal tersebut? Sekalipun merupakan survei, bukannya hasil perhitungan cepat bagian dari produk metode ilmiah survey juga? Sehingga dapat diartikan mendahului selesainya pemungutan suara dan hal ini sekaligus melanggar ketentuan agar tidak mengganggu proses penyelenggaraan tahapan Pemilu, dimana di dalamnya terdapat pentahapan pemungutan suara.

Selanjutnya bila argumentasinya adalah merupakan survei Elektabilitas Partai, saya rasa kurang tepat. Sekalipun dapat diperdebatkan, karena hasilnya rilisnya adalah survei perolehan suara bukan elektabilitas PARPOL. Coba bedakan kedua hal tersebut.

Semua ketentuan dan larangan penyelenggara lembaga survei bisa multitafsir, namun jelas-jelas pada frasa yang dijelaskan di atas dapat dipahami dengan menurut saya jelas dan clear. Sesungguhnya saya lebih menggaris bawahi butir ke 4 ayat 3 agar tetap dijaga agar Pemilu Berlansung secara baik,  yaitu mendorong terwujudnya suasana yang kondusif bagi Penyelenggaraan Pemilu yang afiran, damai, tertib, dan lancar.

Untuk menindaklanjuti ketentuan pasal ketentuan Pasal 450 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang menetapkan bahwa Ketentuan lebih lanjut mengenai masyarakat dalam Penyelenggaraan peraturan KPU. Dimana telah telah mengeleuarkan/menetapkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 10 Tahun 2018 tentang Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, dan Partisipasi Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum.

Dimana dalam PKPU tersebut, pada pasal Bab I dan pasal 1 tentang Kentuan umum. Pada ayat 27 disebutkan, Survei atau Jajak Pendapat Pemilu adalah pengumpulan informasi/pendapat masyarakat tentang proses Penyelenggaraan Pemilu, Peserta Pemilu, perilaku Pemilih atau hal lain terkait Pemilu dengan menggunakan metodologi tertentu. Isi pasal ini bisa multitafsir terkait frasa "hal lain terkait Pemilu" serta " menggunakan metodologi tertentu.

Kemudian dalam PKPU yang sama yaitu dalam Pasal 27, khususnya ayat 2 disebutkan bahwa Survei atau Jajak Pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

  • Survei tentang perilaku Pemilih;
  • Survei tentang hasil Pemilu;
  • Survei tentang kelembagaan Pemilu seperti
  • Penyelenggara Pemilu, Partai Politik, parlemen/legislatif, pemerintah; dan/atau
  • Survei tentang Pasangan Calon

Nah, frasa "hal lain terkait Pemilu" dan 5 (lima) butir pada pasal 27 bisa jadi digunakan LSI sebagai pedoman maka keluarlah rilis hasil survey hanya 7 Parpol yang bakal lolos ambang batas parlemen dan 3 parpol yang akan bertarung memenangkan pemilu.

Namun bagi saya, bila ditegaskan lagi, jika parpol melakukan tindakan atau cara-cara yang melanggar peraturan perundang-undangan (minimal semua undangang-undangan pertauran KPU terkait pemilu) maka ini adalah buah provokasi, kepada 17 Parpol yang memenuhi syarat sebagai peserta pemilu, anggota dewan perwakilan rakyat, dan anggota dewan perwakilan rakyat daerah tahun 2024. Sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan KPU Nomor 518 Tahun 2022 tentang Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu Anggota DPR, DPRD, dan Parpol Lokal Aceh Peserta Pemilihan Umum Anggota DPR Aceh dan Kabupaten/Kota Tahun 2024.

Sehingga, jika memenuhi kaidah yang sesuai dengan metode penelitian ilmiah serta patuh pada ketentuan yang ada, maka hasil survei yang dirilis LSI dapat dianggap sah-sah saja tapi silahkan ditafsir dengan benar, tentang beberapa catatan indikasi pelanggaran survei pada beberapa ketentuan di atas. Kemudian bila dalam perjalanan waktu menuju Pemilu Serentak 2024. Terdapat dampak seperti yang saya sebutkan diatas, terjadinya praktek dan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan, sekali lagi, ini hasil dari provokasi sekalipun pada pemilu-pemilu sebelumnya, praktek kecurangan, penggelumbungan suara (Pemilih hantu) dan Money Politics masih belum terselesaikan dengan tuntas.

Semoga saja memenuhi ketentuan, atau persyaratan UU Pemilu dan PKPU yaitu mendorong terwujudnya suasana yang kondusif bagi Penyelenggaraan Pemilu yang afiran, damai, tertib, dan lancar. Termasuk penyelenggara Pemilu harus ikut bertanggung jawab dalam mencegah terjadinya berbagai pelanggaran pemilu dan dampaknya.

Kuat dugaan saya, setelah pemilu 2024 diselenggarakan. Permasalahan akan menumpuk di meja MK, dan harus dapat diputuskan sesuai ketentuan undang-undang baik dalam persoalan waktu dan penegakan kepatutan terhadap konstitusi yang adil dan menghormati kesamaan hak di di depan hukum.

Ok, untuk melengkapi ulasan di atas, saya kutip kembali rilis LSI terkait, yang kemungkinan besar anda telah membacanya, sebelum dikaji lebih lanjut.

Seperti yang diberitakan, kompas.tv (8/02/2022), Berikut hasil survei LSI Denny JA pada Januari 2023, yaitu PDI Perjuangan (22,7 persen), Partai Golkar 13,8 persen, Partai Gerindra 11,2 persen, PKB (8 persen), Partai Demokrat (5 persen), PKS (4,9 persen), Partai NasDem (4,4 persen). Partai Perindo (2,8 persen), PPP (2,1 persen), PAN (1,9 persen). PSI (0,5 persen), PBB, Partai Garuda, Partai Ummat dengan dukungan sebesar 0,3 persen, Partai Hanura, Partai Buruh, Partai Gelora, dan PKN dengan dukungan sebesar 0,1 persen.

Data dan analisis yang dilakukan tim peneliti LSI Denny JA didasarkan pada survei nasional pada 4-15 Januari 2023 dan riset kualitatif. Survei tersebut melibatkan 1.200 responden di 34 provinsi di Indonesia.

Survei menggunakan metode wawancara yang dilaksanakan secara tatap muka, dengan margin of error survei tersebut kurang lebih 2.9 persen. Riset kualitatif dilakukan dengan analisis media, diskusi kelompok terfokus (FGD), dan wawancara mendalam.

Dari hasil survey tersebut, bila dikaji tentang Aturan parliamentary threshold yang diberlakukan pada pemilu 2019, dan tercantum dalam Pasal 414 dan 415 Undang-Undang Nomor 7 Tahun Tahun 2017.

Dalam UU tersebut ditetapkan sebuah parpol harus memperoleh suara sekurang-kurangnya 4 persen dari jumlah suara nasional untuk bisa memperoleh kursi di DPR. Aturan itu berlaku secara nasional sehingga partai yang lolos ambang batas parlemen nasional secara otomatis lolos masuk parlemen daerah. Sedangkan partai yang tidak lolos ambang batas parlemen nasional, tidak lolos untuk DPRD kabupaten/kota.

Coba perhatikan baik-baik frasa "Sedangkan partai yang tidak lolos ambang batas parlemen nasional, tidak lolos untuk DPRD kabupaten/kota". Dalam kenyataan, ada partai yang kadernya duduk sebagai anggota DPRD Tingkat I dan II. Hal ini perlu dijelaskan bahwa, dari rumusan pasal tersebut jelas mengatakan bahwa tidak ada ketentuan yang menyatakan perhitungan bagi partai politik yang tidak memenuhi 4 persen tidak diikutkan dalam perhitungan di DPRD kabupaten/kota. Yang ada adalah bahwa bagi partai politik yang tidak memenuhi 4 persen tidak diikutkan dalam perhitungan kursi DPR bukan perhitungan kursi di DPRD kabupaten/kota.

Ok, kita lanjut ke Ambang Batas Parlemen DPR RI, jika merujuk hasil survei LSI, maka partai lama, yang lolos ambang batas parlemen hasil pemilu 2019, terancam tidak lolos ambang batas parlemen pada pemilu 2014 adalah  PPP (2,1 persen) dan PAN (1,9 persen). Sedangkan perolehan suara nasional pemilu 2019 masing-masing, PPP (4,52%), dan PAN (6,84%).

Bagimana dengan partai baru? Tidak satupun yang lolos ambang batas parlemen DPR RI menurut survei LSI tersebut.

Sedangkan 3 partai yang memperebutkan "jawara" atau pemenang pada pemilu 2024, sesuai rilis Survei LSI adalah PARPOL yang memperoleh suara nasional atau ambang batas parlemen diatas 10% yaitu, PDI Perjuangan (22,7 persen), Partai Golkar 13,8 persen, Partai Gerindra 11,2 persen. Ketiga partai inilah yang akan bertarung sebagai sang "jawara".

Jenis Pelanggaran Pemilu

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, terdapat 3 (tiga) jenis pelanggaran pemilu, yaitu pelanggaran kode etik, pelanggaran administratif dan tindak pidana pemilu. Pelanggaran kode etik adalah pelanggaran etika penyelenggara pemilu terhadap sumpah dan janji sebelum menjalankan tugas sebagai penyelenggara pemilu. Pelanggaran kode etik ditangani oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dan putusannya berupa sanksi teguran tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian tetap atau rehabilitasi.

Pelanggaran administratif adalah pelanggaran terhadap tata cara, prosedur atau mekanisme yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan tahapan pemilu. Pelanggaran administratif pemilu ditangani oleh Bawaslu dan putusannya berupa perbaikan administrasi terhadap tata cara, prosedur atau mekanisme sesuai peraturan perundang-undangan, teguran tertulis, tidak diikutkan pada tahapan tertentu dalam penyelenggaraan pemilu atau sanksi administratif lainnya sesuai undang-undang pemilu.

Pelanggaran tindak pidana pemilu adalah tindak pidana pelanggaran dan/atau kejahatan terhadap ketentuan tindak pidana pemilu sebagaimana diatur dalam undang-undang pemilu serta undang-undang pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Tindak pidana pemilu ditangani oleh Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan yang tergabung dalam forum/lembaga Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu). Perkara tindak pidana pemilu diputus oleh pengadilan negeri, dan putusan ini dapat diajukan banding kepada pengadilan tinggi. Putusan pengadilan tinggi adalah putusan terakhir dan mengikat serta tidak dapat dilakukan upaya hukum lain.

Terkait ke 3 jenis pelanggaran yang disebutkan di atas dan hubungannya dengan terprovokasinya peserta pemilu. Peserta Pemilu dalam pemahaman saya dapat melakukan beberapa pelanggaran pidana seperti;

  • Konspirasi antara peserta pemilu dan penyelenggara pemilu di berbagai jenjang, baik itu pada pentahapan pencalonan (verifikasi), melanggar ketentuan kampanye, memanfaatkan masa tenang dengan kampanye terselubung yang melanggar hukum dan perundangan, membuat cacatnya surat suara, rusak atau hilangnya kotak suara dengan sengaja hingga rekap perhitungan suara secara berjenjang yang manipulatif.
  • Intimidasi, Ancaman atau Pemaksaan dengan cara apapun yang melanggar hak warga negara
  • Menghasut dan mengadu-domba perseorangan maupun kelompok masyarakat
  • Melakukan praktik politik identitas (terkait SARA) yang mempengaruhi perseorangan atau kelompok masyarakat tertentu
  • "Politik Uang"
  • Menyebarkan Berita Bohong dan Memprovokasi kepada rakyat yang berpengaruh pada partisipasi pemilih di dalam pemilu 2024
  • Pelanggaran hukum lainnya yang menganggu terwujudnya suasana yang kondusif bagi Penyelenggaraan Pemilu yang afiran, damai, tertib, dan lancar

Sampai di sini, prediksi atau lebih tepat opini saya tentang Hasil survey LSI Denny JA tersebut. Selanjutnya silahkan anda menganalisa, mengkaji dan menyimpulkan sendiri.

We the people are the rightful masters of both Congress and the courts, not to overthrow the Constitution but to overthrow the men who pervert the Constitution. (Kami adalah rakyat penguasa yang sah dari Kongres dan pengadilan, bukan untuk menggulingkan Konstitusi tetapi untuk menggulingkan orang-orang yang memutarbalikkan Konstitusi)

Abraham Lincoln

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun