Mohon tunggu...
Tovanno Valentino
Tovanno Valentino Mohon Tunggu... Konsultan - Hanya Seorang Pemimpi

Hanya Seorang Pemimpi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Krisis Pangan: Apa Lacur sebagai Mentan Harusnya Legowo Menerima Berbagai Kritikan dan Masukan Termasuk dari Ekonom Ini

14 Oktober 2022   00:16 Diperbarui: 14 Oktober 2022   02:05 8875
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina. (ist) Sinarharapan.net

Judul ini bersumber dari Statement, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo dalam acara Kegiatan Pembekalan Penyuluhan Pertanian Nasional dengan tagline "Penyuluh Hebat, Pertanian Kuat," di Jakara, Kamis (6/10/2022).

Seperti yang diberitakan kompas.com (6/10/2020). Menurut sang Menteri, tidak akan segan-segan mensubsitusi produk pangan seperti beras menjadi sagu bilamana harga komoditas tersebut tidak bersahabat alias mahal.

"Beras, kalau memang harganya tidak bersahabat potong semua pohon sagu yang ada. Kita masih punya 5 juta hektar sagu. Potong 1 juta sudah bisa bertahan 1-2 tahun, makan sagu aja," ujarnya

Pernyataan ini, disambut dengan kritik “Pedas” dari seorang ekononom dan peneliti, Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina ketika dihubungi wartawan di Jakarta, Sabtu (8/10/2022).

Seperti yang diberitakan, tribun-maluku.com (9/10/2022) dengan judul berita yang cuku menohok sang menteri, “Menteri Pertanian Jangan Omong Kosong Soal Sagu”. 

Menurut Engelina, “Kalau saya ditanyai, ya aneh saja, mereka koar-koar soal food estate, yang tentu didukung anggaran Negara. Tetapi, sagu dijadikan andalan kalau terjadi krisis, sementara harga sagu jauh lebih mahal dari beras. Apa ini bukan omong kosong? Persoalan pangan serius tetapi kok solusinya omong kosong,” kata Direktur Archipelago Solidarity Foundation ini.

Pasalnya Engelina juga tidak sembarang mengeluarkan pendapat, karena memang harga tepung sagu, hasil olahan  pabrik pengolahan sagu dari bermacam merk, masih berkisar antara Rp. 25.000 hingga Rp. 40.000 per kg, dibandingkan  tepung sagu dari petani sagu olahan mandiri, harga sagu masih berkisar antara Rp. 40.000 - Rp. 50.000 /kg (salah satunya untuk bahan baku utama membuat papeda).  

Sedangkan harga beras  memang  mengalami kenaikan,  untuk  Rata-Rata Harga Beras Bulanan di Tingkat Penggilingan Menurut Kualitas pada september 2022 menurut data BPS, Beras Premium mennyentuh angka Rp. 10 252,31, kualitas atau jenis medium Rp. 9 785,04, sedangkan jenis Luar Kualitas Rp. 9 465,63. Perubahan harga beras ini cenderung naik terus (atau tidak stabil) untuk setiap bulan di tahun 2022.

Bahkan Berdasarkan situs Kemendag, pada bulan Oktober 2022 ini, harga beras secara nasional jenis premiun naik 0,8 persen dari Rp 12.700 per kg menjadi 12.800 per kg, sementara beras medium mengalami kenaikan lebih tinggi yakni 1,8 persen dari Rp 10.700 per kg menjadi Rp 10.900 per kg. 

Sementara itu Di DKI Jakarta, harga beras naik lebih tinggi, dimana jenis premium naik 3,2 persen dari Rp 12.200 per kg menjadi Rp 12.600 per kg. Sementara itu, beras medium naik 10,8 persen dari Rp 10.100 per kg menjadi Rp 11.200 per kg. (money.kompas.com 12/10/2022). Kita soroti saja harga beras non Premium yang ditangani pemerintah.

Dari informasi harga beras dan harga sagu, tentu memiliki harga dengan selisih yang cukup jauh per kg. Apalagi operasi pasar dan subsidi yang digelontorkan pemeritah lebih ditujukan untuk menjaga kestabilan harga beras di masyarakat.

Sehingga program ketahan pangan lokal yang seharusnya sudah menjadi program pemerintah kurang diperhatikan, padahal merupakan kekuatan pangan nasional untuk menanggulangi permasalahan seperti krisis pangan

Lebi lanjut menurut Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina, sebenarnya Mentan harusnya menawarkan solusi yang benar-benar menjawab masalah. Untuk membeli beras saja sudah susah, apalagi membeli sagu yang harganya hampir dua atau tiga kali dari harga beras.

Sebagai contoh katanya, “Misalnya, di Ambon, harga sagu itu bisa mencapai Rp 400 ribu per 20 kg. Dengan uang yang sama sudah bisa memperoleh 50 kg beras. Solusinya akan benar kalau produksi sagu tinggi, sehingga orang bisa membeli dengan harga yang lebih terjangkau. Itu kan jadi asal omong tanpa tahu harga sagu di lapangan. Berarti dia kira sagu lebih murah ya,”

Penjelasan Kementan

Sebenarnya jelang dua hari sejak pernyataan Mentan SYL mengeluarkan statement yang mendapat kriik pedas dari Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina, melalui kompas.com (08/10/2022). Dibawah judul berita Penjelasan Kementan Soal Menteri SYL Sebut Bakal Potong Pohon Sagu Jika Beras Mahal.

Sudah dapat terbaca bahwa Kementan perlu segera meluruskan pernyataan sang Menteri. Seperti yang disampaikan Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementan Kuntoro Boga Andri mengatakan, pernyataan Mentan SYL tersebut merupakan analogi ekstrem bila terjadi masalah stok pangan. Sebab, dijelaskan dia, Indonesia sangat kaya dengan keanekaragaman pangan lokal.

Jika ditelisik hal ini sebenarnya menjadi esensi yang menjadi sorotan Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina. Dimana ia menyebutkan, bahwa “Kalau begini, jujur saja, saya ragu program food estate itu berjalan baik di lapangan. Waktu akan menjawab itu. 

Sebab, kalau berjalan baik tidak perlu Menteri khawatir krisis beras dan melirik sagu yang telah lama dilupakan,” Lebih lanjut ia menambahkan sebenarnya kalau pemerintah di berbagai level serius untuk mengutamakan pangan lokal, maka tidak mungkin terjadi krisis pangan, karena keberagaman pangan lokal yang dimiliki Indonesia.

Jadi tiba pada kesimpulan, apa Lacur (bagaiman lagi), sekalipun menurut urutan tanggal pemberitaan, sejak pernyataan, sekalipun telah diluruskan Kementan. Kritik yang datang sehari setelah pelurusan pernyataan harus dapat diterima sebagai kritikan yang membangun dari masyarakat. 

Sehingga ke depan bahkan saat ini juga kementan harus banyak berdialog dengan para ekonom, pengamat, pelaku pasar, asosiasi, civil society, hingga sekelas pakar/akademisi perlu di ajak duduk bersama dengan kementrian, lembaga dan institusi terkait di dalam menghadapi “ancaman krisis pangan global” yang tidak bisa dihindari akan dialami Indonesia juga.

Sampai di sini, kita baru berbicara soal menghadapi krisis pangan yang lebih mengemuka soal persoalan harga beras. Padahal 9 bahan pokok juga perlu menjadi perhatian, dimana Sembilan bahan pokok (sembako) adalah sembilan jenis kebutuhan pokok masyarakat menurut keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 115/MPP/Kep/2/1998 tanggal 27 Februari 1998. 

Kementerian Perdagangan menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 27/M-DAG/PER/5/2017 tentang Penetapan Harga Acuan Pembelian di Petani dan Harga Acuan Penjualan di Konsumen yang mulai berlaku pada 16 Mei 2017.

Adapun daftar sembilan bahan pokok tersebut, yaitu beras, gula pasir, minyak goreng dan mentega, daging sapi dan daging ayam, telur ayam, susu, bawang merah dan bawang putih, gas elpiji dan minyak tanah, serta garam.

Semoga hal ini tak luput dari perhatian pemerintah dalam alokasi anggaran penanganan krisis pangan yang sudah terjadi dan akan dialami di waktu depan.

Terkait Food estage dalam kaitan pernyataan Mentan soal persoalan Sagu tapi juga ketahanan panganlokal daerah lain, menurut Engelina, “Kebanyakan bicara soal food estate, yang kita tidak tahu, apakah biaya yang dikeluarkan seimbang dengan hasil yang diperoleh.

Saya kira, food estate itu kan pasti ada pengadaan bibit, pengadaan traktor dan sebagainya, yang tentu harganya tidak kecil. Tetapi, untuk apa juga kalau akhirnya hanya mengandalkan hutan sagu. Atau untuk apa juga ada menteri pertanian, kalau hanya bisa ambil dari alam,”

Informasi Tambahan

Luas panen padi pada 2021 mencapai sekitar 10,41 juta hektar, mengalami penurunan sebanyak 245,47 ribu hektar atau 2,30 persen dibandingkan luas panen padi di 2020 yang sebesar 10,66 juta hektar.

Produksi padi pada 2021 yaitu sebesar 54,42 juta ton GKG, mengalami penurunan sebanyak 233,91 ribu ton atau 0,43 persen dibandingkan produksi padi di 2020 yang sebesar 54,65 juta ton GKG.

Produksi beras pada 2021 untuk konsumsi pangan penduduk mencapai 31,3juta ton, mengalami penurunan sebanyak 140,73 ribu ton atau 0,45 persen dibandingkan produksi berasdi 2020 yang sebesar 31,50 juta ton.

(BPS 2022-03-01)

Sagu merupakan salah satu makanan pokok bagi masyarakat di Indonesia bagian timur. Dalam tujuh tahun terakhir, produksi sagu nasional menununjukkan tren yang fluktuatif. Menurut Kementerian Pertanian (Kementan), produksi sagu Tanah Air pada 2021 diperkirakan mencapai 381.065 ton. Jumlah ini naik tipis sebesar 4,2% dari tahun lalu yang sebesar 365.665 ton.

Dilihat dari luas areal, Kementan memperkirakan pada 2021 areal sagu nasional seluas 206.150 ha, luasnya sedikit bertambah dari tahun lalu yang sebesar 200.518 ha. Luas areal perkebunan sagu nasional didominasi oleh perkebunan rakyat, yakni 205.462 ha pada 2021.

Bersambung...

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun