Mohon tunggu...
Tovanno Valentino
Tovanno Valentino Mohon Tunggu... Konsultan - Hanya Seorang Pemimpi

Hanya Seorang Pemimpi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Masalah Pelecehan Seksual Anak Cukup "Rumit", Rumuskan Pendidikan Seks yang Tepat!

15 Desember 2021   17:38 Diperbarui: 16 Desember 2021   09:46 4753
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Disclaimer dulu ya seperti kebiasaan saya membahas topik yang gak saya kuasai benar, Pertama saya bukan Dokter, Psikolog atau Terapis atau setaranya  yang memiliki keahlian dalam bidang medis. 

Sehingga artikel yang saya sajikan berikut ini, saya rangkumkan dari berbagai sumber, khususnya dari WHO dan Badan Lainnya dibawah PBB. Oleh karenanya bila terdapat kekeliruan interpretasi, opini, kesimpulan dan copyright/HAKI menjadi tanggung jawab saya pribadi.

Sebelum masuk ke pembahasan topik pilihan Pendidikan Seksual Cegah Anak Jadi Korban Pelecehan, saya high light atau mengambil ringkasan atau rangkuman dari WHO (World Health Organization atau Organisasi Kesehatan Dunia)  tentang  7 Child sexual abuse (7 Pelecehan seksual pada anak). 

Dimana hal ini diurai secara khusus dari artikel WHO yang berjudul "Guidelines for medico-legal care for victims of sexual violence" yang diterbitkan dibawah komisi Gender And Women's Health, Family And Community Health Injuries And Violence Prevention, Noncommunicable Diseases And Mental Health World Health Organization -- Geneva tahun 2003

Saya memang sengaja menempatkannya di awal, karena menurut saya penting untuk menjadi panduan ketika kita mencoba menggali lebih jauh yang tertuang dalam berbagai opini.  

Lebih dikhususkan bagi pembaca yang memang senang dengan tulisan pendek, tanpa membaca lebih jauh apa yang dipaparkan dalam artikel.

Adapun ringkasan utama dari WHO adalah sebagai berikut

  • Dinamika kekerasan seksual pada anak berbeda dengan kekerasan seksual pada orang dewasa. Secara khusus, anak-anak jarang mengungkapkan pelecehan seksual segera setelah kejadian. Selain itu, pengungkapan cenderung menjadi proses daripada satu episode dan sering dimulai setelah keluhan fisik atau perubahan perilaku.
  • Evaluasi anak memerlukan keterampilan dan teknik khusus dalam anamnesis (mengingat hal-hal dari keberadaan sebelumnya yang seharusnya - sering digunakan dengan mengacu pada filsafat Platonis, wawancara forensik, dan pemeriksaan dimana  pemeriksa mungkin juga perlu menangani isu-isu spesifik yang berkaitan dengan persetujuan dan pelaporan pelecehan seksual anak.
  • Tanda-tanda definitif trauma genital jarang terlihat dalam kasus pelecehan seksual anak, karena kekuatan fisik jarang terlibat. Penafsiran yang akurat dari temuan alat kelamin pada anak-anak memerlukan pelatihan spesialis dan sedapat mungkin, para ahli di bidang ini harus dikonsultasikan.
  • Keputusan tentang tes IMS ( (infeksi menular seksual) pada anak-anak harus dibuat berdasarkan kasus per kasus. Jika pengujian diperlukan, tes diagnostik yang sesuai dengan usia harus digunakan. Pengobatan dugaan anak-anak untuk IMS umumnya tidak dianjurkan.
  • Konsultasi lanjutan sangat disarankan. Meskipun pemeriksaan fisik mungkin tidak diperlukan, konsultasi lanjutan memberikan kesempatan untuk menilai setiap masalah psikologis yang mungkin timbul sejak itu dan untuk memastikan bahwa anak dan pengasuhnya menerima dukungan sosial dan konseling yang memadai.

Sampai di sini lebih lanjut akan digali lebih jauh tentang dari 7 Pelecehan seksual pada anak yang bersumber dari artikel atau buku terbitan khusus WHO "Guidelines for medico-legal care for victims of sexual violence" yang dapat saya sajikan dan diolah dalam bentuk opini saya  sebelum sampai pada kesimpulan akhir terkait topik pilihan ini.

Mengapa saya mendahului hal ini?

Karena kita semua perlu tahu, begitu sulitnya mengungkapkan pelecehan seksual pada anak. Sekalipun anak itu sendiri secara dini telah diajarkan secara bertahap, tingkat usia pendidikan seksual.

Saya sengaja mengambil dari sumber terpecaya yaitu WHO, karena landasan pemikiran dan sebagian panduannya dapat mengambarkan, perlu usaha ekstra dari semua komponen masyarakat. 

Khususnya pemerintah melalui kementrian kesehatan juga organisasi perlindungan anak, Baik Komisi Perlindungan Anak (KPAI), Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, NGO atau Komunitas-komunitas yang berjuang untuk melawan terjadinya pelecehan seksual pada anak.

Memang saya pasti belum secara dalam membicarakan bagaimana pendidikan seks, metode, prosedur, prosedur dan persyaratannya.  

Namun apa yang diungkapkan oleh WHO ini, dapat menjadi acuan bagi semua komponen bangsa yang peduli akan keselamatan anak dari pelecehan seksual. Sehingga kita akan paham dalam merumuskan pendidikan seks yang tepat bagi anak, baik di rumah, sekolah dan mungkin kegiatan rihani.

Saya mulai ya,

Definisi Pelecehan Seksual Terhadap Anak

Pedoman ini mengadopsi definisi pelecehan seksual anak yang dirumuskan oleh Konsultasi WHO 1999 tentang Pencegahan Pelecehan Anak  yang menyatakan bahwa:

Pelecehan seksual terhadap anak adalah keterlibatan seorang anak dalam aktivitas seksual yang dia secara pribadi tidak sepenuhnya memahami, tidak dapat memberikan persetujuan, atau  dimana anak tidak siap secara perkembangannya dan tidak dapat memberikan pendapat atau memahami tentang hal yang melanggar hukum atau tabu bagi kehidupan sosial masyarakat. 

Pelecehan seksual anak ditandai oleh suatu kegiatan yang terjadi antara seorang anak dan orang dewasa atau anak lain yang menurut usia atau perkembanganya  berada dalam hubungan tanggung jawab, kepercayaan atau kekuasaan serta aktivitas, yang bertujuan untuk memuaskan kebutuhan orang lain, selain itu termasuk beberap hal yang sama dengan definisi ini yaitu :

  • Bujukan atau paksaan pada seorang anak untuk terlibat dalam aktivitas seksual yang melanggar hukum:
  • Pemanfaatan anak secara eksploitatif dalam prostitusi atau praktik seksual lain yang melanggar hukum;
  • Memanfaatkan anak-anak secara eksploitatif dalam pertunjukan atau terkait materi pornografi

Dinamika Pelecehan Seksual Anak 

Pelecehan seksual terhadap anak merupakan fenomena yang unik, dinamikanya sering sangat berbeda dengan pelecehan seksual orang dewasa dan oleh karena itu sifat penyalahgunaan ini tidak dapat ditangani dengan cara yang sama. Beberapa hal yang menjadi ciri pelecehan seksual pada anak antara lain:

  • Pemaksaan/kekerasan fisik sangat jarang digunakan; biasanya pelaku mencoba untuk memanipulasi kepercayaan anak dan menyembunyikan tindakan pelecehan.
  • Pelaku biasanya adalah pengasuh yang dikenal dan dipercaya.
  • Pelecehan seksual anak sering terjadi selama berminggu-minggu atau bahkan bertahun-tahun.
  • Pelecehan seksual terhadap anak-anak sering terjadi sebagai episode berulang yang menjadi lebih invasif seiring waktu. Pelaku biasanya melibatkan anak dalam proses yang secara bertahap dari hubungan seksualisasi dari waktu ke waktu (seperti tindakan membuat menjadi suatu kebiasaan yang membuat anak juga merasa tidak kuatir).
  • Pelecehan inses/intrafamilial menyumbang sekitar sepertiga dari semua kasus penyalahgunaan seksual pada anak

Dalam dinamika perkembangan teknologi informasi dan komunikasi atau dalam pemanfaatan internet, Pedofil adalah individu yang lebih memilih kontak seksual dengan anak-anak daripada orang dewasa. 

Mereka biasanya terampil dalam merencanakan dan melaksanakan strategi untuk dapat terlibat dan memikat diri dengan anak-anak. Ada bukti yang menunjukkan bahwa pedofil mungkin membagikan informasi mereka tentang anak-anak (misalnya pornografi anak). Ini bisa terjadi di tingkat internasional, terutama melalui penggunaan Internet.

Faktor Risiko Korban

Sejumlah faktor yang membuat individu anak rentan terhadap pelecehan seksual telah diidentifikasi; meskipun WHO pada buku terkait sebagian besar didasarkan pada pengalaman di Amerika Utara dimana dianggap sebagai negara utama sebagai contoh yang diyakini banyak terjadinya pelecehan seksual pada anak. Sekalipun di negara lain, bahkan di Indonesiapun rentan. Disebutkan di Amerika Utara

  • Korban adalah jenis kelamin perempuan (meskipun di beberapa negara berkembang anak laki-laki sebagian besar adalah besar korban anak laki-laki)
  • Anak-anak yang menjadi korban adalah anak tanpa pendamping
  • Kebanyakan anak-anak berstatus dalam asuhan, anak angkat atau anak tiri
  • Anak-anak yang mengalami disabilitas secara isik atau mental
  • Memiliki riwayat pelecehan di masa lalu
  • Faktor kemiskinan
  • Korban perang/konflik bersenjata
  • Kerentanan psikologis atau kognitif;
  • Status memiliki orang tua tunggal/broken home
  • Isolasi sosial (misalnya tidak memiliki jaringan dukungan emosional)
  • Orang tua dengan penyakit mental, atau ketergantungan alkohol atau obat-obatan

Dinamika Pengungkapan/Pengakuan

Dalam sebagian besar kasus, anak-anak tidak mengungkapkan pelecehan segera setelah hal tersebut terjadi. Keengganan untuk mengungkapkan pelecehan cenderung berasal dari ketakutan pelaku; pelaku mungkin telah membuat ancaman, seperti "Jika Anda memberi tahu siapa pun aku akan membunuhmu/membunuh ibumu"

"Akomodasi Sindrom Pelecehan Seksual pada Anak", diusulkan oleh konferensi dan menghadirkan sejumlah para peneliti, mereka dipanggil dan diminta keterangan untuk untuk menjelaskan mengapa anak-anak kerap sering menunda untuk mengungkapkan setelah terjadi pelecehan dan mengapa kadang-kadang pula pengungkapan tersebut bermasalah atau pengakuannya ditarik kembali oleh si anak.

Terdapat beberapa kesimpulan dari pola yang khas dari peristiwa pelecehan seksual pada anak, salah satunya adalah adanya unsur tekanan pada anak, korban dipaksa untuk merahasiakan pelecehan seksual dan menceritakan awalnya merasa terjebak dan tidak berdaya. 

Tentu perasaan tidak berdaya dan ketakutan pada korban anak ini bahwa tidak ada yang akan percaya ketika ia mengungkapkan permasalahan pelecehan.

Hal ini yang  menyebabkan akomodatif perilaku. Jika anak tidak mengungkapkan, kegagalan keluarga dan profesional untuk melindungi dan mendukung anak secara memadai, menambah penderitaan anak dan sulit untuk mengungkapkan banyak kasus pencabutan terungkap.

Pengungkapan pelecehan seksual pada anak-anak dapat disengaja atau tidak disengaja, misalnya  yang dimaksudkan di sini baik anak atau pelaku itu sendiri. Pengungkapan adalah sering dimulai setelah penyelidikan tentang keluhan fisik, misalnya, nyeri saat mencuci area genital atau noda darah di celana dalam.

Terjadinya pelecehan seksual pada anak ketika diungkapkan biasanya merupakan suatu proses daripada peristiwa tunggal. Ketika anak-anak mengungkapkan hal tersebut biasanya kepada ibu mereka. Namun, ibu mungkin juga menjadi korban perilaku kasar oleh pelaku yang sama. Atau, pengungkapan mungkin ke teman dekat, rekan atau guru.

Indikator Fisik Dan Perilaku Dari Pelecehan Seksual Anak

Indikator fisik dan perilaku pelecehan seksual anak dirangkum dalam tabel di bawah ini :

Sumber WHO
Sumber WHO

Penting untuk dicatat bahwa sementara diterimanya satu atau lebih dari temuan yang tercantum dalam Tabel dapat menimbulkan kekhawatiran, namun itu tidak selalu membuktikan bahwa seorang anak telah mengalami pelecehan seksual.

Banyak profesional perawatan kesehatan mengandalkan indikator jenis ini untuk membantu dalam deteksi kasus kekerasan seksual pada anak terutama pada anak yang bersifat nonverbal. Namun, indikator ini harus digunakan dengan hati-hati, terutama bila tidak adanya pengungkapan atau temuan fisik diagnostik.

Perilaku Seksual

Perilaku seksual menurut WHO termasuk kegiatan seperti berciuman dengan dorongan lidah ke dalam mulut orang lain, membelai payudara sendiri atau orang lain atau alat kelamin, masturbasi, bersetubuh dan sejenisnya.

Untuk membedakan mana yang pantas dan tidak dan biasanya di pergaulan milenial sesuai dengan perkembangan, namun untuk perilaku seksual yang normal  seringkali sangat sulit untuk ada kesepakatan bersama.

Ada semakin banyak penelitian tentang perilaku seksual pada anak-anak dan hubungannya dengan pelecehan seksual. Meskipun sebagian besar secara seksual anak-anak yang dilecehkan tidak terlibat dalam perilaku seksual, kehadiran perilaku seksual yang tidak pantas dapat menjadi indikator pelecehan seksual.

Umumnya berbicara, perilaku seksual pada anak-anak dapat didefinisikan sebagai bermasalah ketika:

  • Hal tersebut terjadi pada frekuensi yang lebih besar atau pada tahap yang jauh lebih awal daripada yang sesuai dengan perkembangan anak itu sendiri (misalnya anak laki-laki berusia 10 tahun versus anak laki-laki berusia 2 tahun bermain dengan penisnya di depan umum, atau anak perempuan berusia 6 tahun yang melakukan masturbasi berulang kali di sekolah)
  • Hal ini mengganggu perkembangan anak (misalnya seorang anak belajar menggunakan perilaku seksual sebagai cara untuk berhubungan dengan orang lain)
  • Disertai dengan penggunaan paksaan, intimidasi atau paksaan (misalnya seorang anak 4 tahun 4 tahun memaksa yang lain untuk saling membelai alat kelamin atau meniru hubungan intim);
  • Berhubungan dengan distres emosional (misalnya gangguan makan atau tidur, perilaku agresif atau menarik diri dari pergaulan)
  • Kejadian dapat terjadi kembali dalam secara diam-diam setelah intervensi oleh pengasuh (atau orang yang terdekat dan dipercaya olehnya.

Temuan Genito-Anal

Dalam ilmu anatomi, Genito Anal berkaitan dengan alat kelamin dan anus. Dalam praktiknya, temuan fisik yang jelas dari pelecehan seksual jarang terlihat pada anak-anak karena pelecehan seksual anak jarang melibatkan kerusakan secara fisik. Banyak penelitian telah menemukan bahwa temuan normal dan non-spesifik umum terjadi pada pelecehan seksual pada anak anak perempuan prapubertas.

Pemeriksaan genital dengan temuan normal kadang sulit ditemukan, oleh karena itu menghalangi pemeriksaan kemungkinan terjadinya pelecehan seksual. Apalagi biasanya sebagian besar kasus pemeriksaan medis tidak akan mengkonfirmasi atau membantah dari tuduhan penyerangan seksual.

Tindakan seksual tertentu tidak mungkin menghasilkan cedera fisik (misalnya kontak orogenital) sementara yang lain (misalnya penetrasi anus, atau penetrasi labia tetapi tidak pada selaput dara) belum tentu menyebabkan cedera. 

Jumlah kekuatan yang digunakan akan menjadi faktor penentu dalam keadaan seperti itu. Trauma berat ke area genital dan/atau anus lebih mudah didiagnosis, tetapi tanda-tandanya sembuh atau tidak kentara trauma lebih sulit untuk ditafsirkan.

Posisi di mana anak diperiksa sangat penting untuk interpretasi dari observasi medis. Jika kelainan himen diamati saat anak dalam posisi "punggung" (yaitu berbaring telentang), dia juga harus diperiksa dalam posisi lutut-dada untuk mengurangi efek gravitasi.

Temuan fisik genito-anal tercantum di bawah ini, dikelompokkan menurut kekuatan bukti untuk pelecehan seksual dan mulai dari normal hingga definitif yang dapat lebih lanjut dijelaskan oleh tim medis atau membaca buku keluaran WHO yang saya sebutkan di atas.

Saatnya saya beralih pada topik lain

Penelitian Dan Pemeriksaan Pada Anak   

Pertimbangan umum

Dalam kasus korban kekerasan seksual dewasa sering hadir sebagai keadaan darurat medis, anak-anak dibawa ke perhatian profesional perawatan kesehatan melalui berbagai prosedur sesuai dengan keadaan :

  • Adanya sebuah tuduhan pelecehan seksual anak telah dilaporkan dan ada permintaan untuk pemeriksaan oleh otoritas perlindungan anak dan/atau kepolisian.
  • Anak dibawa oleh anggota keluarga atau dirujuk oleh layanan kesehatan
  • Secara profesional karena tuduhan telah dibuat tetapi pelaku tidak dilaporkan ke pihak berwajib.
  • Indikator perilaku atau fisik telah diidentifikasi (misalnya oleh pengasuh, profesional perawatan kesehatan, guru) dan evaluasi lebih lanjut telah diminta.
  • Waktu dan luasnya pemeriksaan fisik tergantung pada sifat dari: penyampaian keluhan, ketersediaan sumber daya di masyarakat, kebutuhan akan bukti forensik, dan keahlian serta tingkat profesional kesehatan dalam merawat anak. Keputusan tentang waktu pemeriksaan fisik harus didasarkan pada lamanya waktu yang telah berlalu sejak anak terakhir kontak dengan tersangka atau pelaku.

Beberapa aturan panduan kontak dengan tersangka atau pelaku:

  • Jika kontak terakhir lebih dari 72 jam sebelumnya dan anak tidak memiliki perawatan medis terhadap gejala, pemeriksaan diperlukan sesegera mungkin tetapi tidak mendesak.
  • Jika kontak terakhir dalam waktu 72 jam dan anak mengeluhkan gejala (yaitu nyeri, pendarahan, keluarnya cairan), anak harus segera diperiksa.

Ada dua aspek berbeda dalam pengumpulan informasi dari anak (atau pengasuh) dalam kasus dugaan pelecehan seksual terhadap anak yaitu riwayat medis dan wawancara/observasi.

Fungsi dari riwayat medis atau kesehatan adalah untuk mencari tahu mengapa anak dibawa untuk perawatan kesehatan saat ini dan untuk memperoleh informasi tentang gejala fisik atau emosional anak. 

Dia juga memberikan dasar untuk mengembangkan kesan diagnostik medis sebelum dilakukan pemeriksaan fisik. Riwayat medis mungkin melibatkan informasi tentang dugaan penyalahgunaan, tetapi hanya sejauh yang berkaitan dengan masalah kesehatan atau gejala yang diakibatkannya, seperti pendarahan pada saat serangan, atau sembelit atau insomnia sejak saat itu. Riwayat medis harus diambil oleh tenaga kesehatan.

Tahap wawancara penilaian melampaui riwayat medis di bahwa agar berusaha mendapatkan informasi forensik yang terkait langsung dengan dugaan penyalahgunaan seksual, misalnya, rincian penyerangan, termasuk waktu dan tempat, frekuensi, deskripsi pakaian yang dikenakan dan sebagainya.

Wawancara forensik pada anak-anak adalah keterampilan khusus dan, jika mungkin, harus dilakukan oleh orang yang terlatih atau profesional (misalnya pekerja perlindungan anak, petugas polisi dengan teknik keterampilan wawancara).

Namun, di beberapa komunitas, petugas kesehatan yang merawat anak akan menjadi pewawancara paling berpengalaman yang tersedia.  Terdapat bagian  tersendiri yang menyediakan pedoman wawancara forensik untuk petugas kesehatan diminta untuk memberikan layanan ini.

Terlepas dari siapa yang bertanggung jawab atas riwayat medis dan wawancara forensik. Dua aspek evaluasi anak harus dilakukan dan terkoordinasi sehingga anak tidak trauma lebih lanjut dengan pengulangan pertanyaan yang tidak perlu dan informasi tidak hilang atauterdistorsi.

Masalah Persetujuan Dan Kerahasiaan

Di sebagian besar komunitas, persetujuan harus diperoleh dari anak dan/atau pengasuh yang melakukan pemeriksaan fisik dan pengambilan spesimen untuk keperluan bukti forensik. 

Namun, dalam beberapa kasus, persetujuan bisa menjadi masalah, terutama ketika kepentingan terbaik bagi anak justru bertentangan dengan anak itu sendiri dan/atau orang terdekatnya terkait kekhawatiran tentang memberikan persetujuan.

Dalam kasus di mana pengasuh menolak untuk memberikan persetujuan untuk evaluasi medis seorang anak, bahkan setelah kebutuhan untuk pemeriksaan telah dijelaskan, otoritas perlindungan anak mungkin perlu dipanggil untuk melepaskan hak asuh pengasuh atas anak untuk tujuan memfasilitasi evaluasi medis.

Dalam pengaturan di mana persetujuan diperoleh setelah kedatangan di fasilitas medis (misalnya Departemen Darurat rumah sakit), petugas kesehatan yang memeriksa harus memastikan bahwa proses persetujuan dan semua prosedur evaluasi medis telah sepenuhnya dijelaskan kepada anak dan pengasuh. 

Kode praktik mengharuskan semua profesional untuk mempertimbangkan dengan cermat hukum mereka dan kewajiban etis yang berlaku untuk kerahasiaan pasien.

Anak dan/orang tua/walinya perlu memahami bahwa profesional perawatan kesehatan dapat memiliki konsekwensi hukum untuk melaporkan kasus tersebut dan mengungkapkan informasi yang diterima selama konsultasi dengan pihak berwenang bahkan tanpa adanya persetujuan.

Mewawancarai Anak

Protokol komunitas biasanya menentukan bagaimana, dan oleh siapa, wawancara pada anak dilakukan. Beberapa yurisdiksi mengharuskan wawancara dilakukan oleh profesional yang terlatih, terutama jika ada implikasi hukum, untuk memastikan bahwa informasi yang relevan dengan kasus tersebut diperoleh sesuai dengan prosedur, dan untuk tujuan ini perlu adanya tim wawancara forensik yang dapat dipanggil untuk melakukan wawancara pada anak

Di pengaturan lain, petugas kesehatan yang merawat anak akan bertanggung jawab untuk melakukan wawancara serta mengambil riwayat kesehatan. 

Dalam keadaan seperti ini, selain itu untuk mendapatkan esensi dari tuduhan, tahap wawancara penilaian memberikan kesempatan bagi praktisi kesehatan untuk mengembangkan hubungan dan kepercayaandengan anak.

Mewawancarai seorang anak untuk tujuan forensik merupakan komponen penting dari penilaian dugaan kasus pelecehan seksual terhadap anak; informasi yang diperoleh akan menjadi bagian dari proses medico-legal.

Wawancara forensik anak-anak menuntut pengetahuan tentang berbagai topik seperti proses pengungkapan dan sensitif perkembangan yang berpusat pada anak metode wawancara, termasuk bahasa dan pembentukan konsep, memori dan sugestibilitas. 

Praktisi kesehatan yang terlibat dalam pengelolaan proses ini juga harus memiliki pengetahuan tentang dinamika dan konsekuensinya pelecehan seksual pada anak, dan kemampuan untuk menjalin hubungan baik dengan anak-anak dan remaja, dan kapasitas untuk mempertahankan objektivitas dalam proses penilaian.

Pendekatan dan strategi yang mungkin berguna untuk mewawancarai anak-anak di high light atau dirakum sebagai berikut.

Wawancara Pada Anak Korban Pelecehan Seksual

Petugas kesehatan yang bertanggung jawab untuk wawancara investigasi anak-anak dalam kasus dugaan pelecehan seksual mungkin berguna untuk mengingat hal-hal berikut:

  • Semua anak harus didekati dengan kepekaan ekstrim dan kerentanan mereka dikenali dan dipahami.
  • Cobalah untuk membangun suasana dan hubungan yang netral dengan anak sebelum memulai wawancara.
  • Cobalah untuk menetapkan tingkat perkembangan anak untuk memahami batasan apa pun serta interaksi yang sesuai. Penting untuk disadari bahwa anak kecil memiliki sedikit atau tidak ada konsep sama sekali angka atau waktu, dan bahwa mereka mungkin menggunakan istilah yang berbeda dengan orang dewasa yang membuat interpretasi tentang pertanyaan dari jawaban yang diharapkan tentang suatu hal yang sensitif.
  • Selalu mengidentifikasi diri anda sebagai orang yang membantu.
  • Tanyakan kepada anak apakah dia tahu mengapa mereka (pelaku) datang menemui dia.
  • Tetapkan aturan dasar untuk wawancara, termasuk izin bagi anak untuk mengatakan tidak tahu melakukannya, izin untuk mengoreksi pewawancara, dan perbedaan antara kebenaran dan kebohongan.
  • Meminta anak untuk menggambarkan apa yang terjadi, atau sedang terjadi, kepada mereka dengan kata-kata mereka sendiri.
  • Selalu mulai dengan pertanyaan terbuka. Hindari penggunaan pertanyaan utama dan gunakan langsung pertanyaan hanya ketika pertanyaan terbuka/narasi bebas telah habis. Tersusun protokol wawancara dapat mengurangi bias pewawancara dan menjaga objektivitas.
  • Saat merencanakan strategi investigasi, pertimbangkan anak-anak lain (laki-laki dan perempuan) yang mungkin memiliki melakukan kontak dengan tersangka/pelaku. Misalnya, mungkin ada indikasi untuk memeriksa saudara kandung si anak. Juga pertimbangkan untuk mewawancarai pengasuh anak, tanpa kehadiran anak.

Dari apa yang saya rangkumkan di atas, memang lebih banyak berbicara indikasi terjadinya pelecehan seksual pada anak. 

Namun yang ingin saya tekankan, perilaku seksual pada anak dan terjadinya pelecehan seksual atas pengaruh teman, siaran TV, majalah atau internet/sosial media oleh para para pedofil off-line.

Dengan menunjukan sedikit gambaran dan pedoman WHO di atas, diharapkan, masing-masing lembaga, keluarga, sekolah, pemerintah, medis, pihak berwenang/polisi, NGO, KPAI  dan tak lupa wakil rakyat yang terhormat serta berbagai pihak terkait termasuk masyarakat, dapat merumuskan yang tepat dalam pendidikan karakter anak agar terhindar dari penyimpangan perilaku termasuk terlibat atau menjadi korban dari pelecehan seksual.

Khususnya untuk keluarga, saya selalu berbicara "Mom's Rules" dalam setiap kesempatan melakukan sosialisasi perlindungan anak.  Satu hal yang saya pesankan, jangan pernah memberikan toleransi sedikitpun terhadap aktivitas penting yang telah diturunkan dari nenek moyang kita. Misalnya jam ibadah, kita gak boleh memberikan toleransi bila sang anak menjawab :entar aja mam".  Begitu juga jam makan, mandi, waktu tidur,  cara berkomunikasi dan aturan lain pentingnya selama di rumah.  Namun tetap memberikan waktu dan belaian yang khusus di waktu yang tepat.

Sehingga pada kesimpulannya, permasalahan pelecehan seksual pada anak ini cukup kompleks dan perlu penanganan berbagai pihak, terutama lemba pendidikan dan keluarga itu sendiri. 

Yang pasti Anak kita tepat diberikan pendidikan karakter agar tetap lestari norma dan budaya yang terpelihara ratusan bahkan ribuan tahun lamanya.

Demikian ulasan dari saya, semoga bermanfaat bagi pembaca

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun