Mohon tunggu...
Tovanno Valentino
Tovanno Valentino Mohon Tunggu... Konsultan - Hanya Seorang Pemimpi

Hanya Seorang Pemimpi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kapitan Jonker vs Sultan Hamid II, dalam Kelayakan Menyandang Gelar Pahlawan

29 September 2021   08:39 Diperbarui: 30 September 2021   03:32 3543
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Gambar utama pahlawan indonesia sumber: flickriver.com

Dengan menyandingkan nama besar Sultan Hamid II dengan Kapiten Jonker, yang hidup dan "berjuang"  mungkin berbeda kondisi pada zamannya masing-masing.  Bisa dinilai gak apple to apple. Namun menurut saya masih ada benang merahnya untuk melihat kepantasan mereka untuk menyandang pahlawan nasional. Kalau bertanya kenapa gak yang lain? ya kebetulan yang menjadi pilihan saya adalah kedua tokoh tersebut.

Sultan Hamid II. Foto Instagram @historia_nusantara 
Sultan Hamid II. Foto Instagram @historia_nusantara 

Sultan Hamid II

Saya memulainya dengan Sultan Hamid II terlebih dulu. Untuk berpanjang lebar menulis kembali kisahnya saya ngak akan berpanjang lebar. Baik peranan, masalah dan perjuangannya, karena publik dapat membaca sendiri bahkan menonton tayangan klarifikasi perdebatan polemik penolakan Pahlawan Nasional yang bagi ahli waris dan beberapa kalangan sempantasnya Sultan Hamid II layak menyandang Pahlawan Nasional. Anda bisa googling atau mencari rekaman video tentang hal ini melalui situs youtube.com.

Yang pasti sosok pria ganteng ini, adalah pemenang sayembara merancang lambang Negara. Karyanya dipilih dan ditetapkan sebagai lambang negara RIS pada 11 Februari 1950. Gambarnya kemudian mengalami beberapa kali perbaikan dan jadilah Garuda Pancasila yang menjadi lambang negara Republik Indonesia sekarang ini. Dia diberi penghargaan dan diakui Presiden Soekarno, namun namanya seolah-olah dilupakan setelah divonis terlibat kudeta Westerling 1950 dan dituduh membunuh sejumlah menteri walau tak terbukti. Serta dituduh bersekongkol dengan Westerling dalam peristiwa APRA 1950 di Bandung serta isu kontovesial lainnya.

Konon penolakan sultan yang nama aslinya Sultan Syarif Hamid Alkadrie dari Kesultanan Pontianak sebagai pahlawan nasional,  salah satunya  ketika muncul perseteruan antara Kesultanan Pontianak dengan A.M. Hendropriyono, dalam sebuah video yang diunggah di saluran Youtube Agama Akal TV, dimana Hendropriyono menyebut bahwa Sultan Hamid II adalah seorang pengkhianat, jangankan sebagai seorang pahlawan. Kejam? boleh jadi. 

Sang Sultan juga disebut juga bukan perancang lambang negara Garuda Pancasila. Sehingga akumulasi persoalan, berbuntut tak sedap, dimana pihak Kesultanan Pontianak yang tentu saja geram,  kemudian melaporkan Hendropriyono ke Polda Kalimantan Barat terkait dugaan pencemaran nama baik.

Saya sempat mengikuti webinar diskusi yang berisi polemik Sultan Hamid II, bertajuk  "Sultan Hamid II, Pengkhianat atau Pahlawan?" pada 21 Juni 2020. Anshari Dimyati sebagai Direktur Eksekutif Yayasan Sultan Hamid II dalam webinar nasional tersebut mengemukakan fakta bahwa Sultan memiliki banyak peran dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia dan tuduhan kepadanya adalah tidak terbukti. 

Peran sang Sultan, beberapa diantarantya adalah perundingan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB). Namun, Answari menyayangkan, peran itu justru dinafikan karena Republik Indonesia Serikat (RIS) yang terbentuk sejak penyerahan kedaulatan pada KMB itu ngak dilihat secara utuh sebagai mata rantai sejarah terbentuknya  negara Kesatuan Repubik Indonesia.

Sekalipun berjibaku dan menghadirkan fakta-fakta sejarah, toh pada akhirnya, perjuangan untuk menjadikan sultan Hamid II, terganjal. Namun hingga kini masih menyisahkan banyak pertanyaan besar, apalagi melihat video youtube, dengan judul Jalan Panjang Berliku "sang Pahlawan" (Adu Data Prof Anhar Gonggong dengan Yayasan Sultan Hamid). 

Anda dapat menyimpulkan sendiri, ketika sang sejahrawan Anhar Gonggong sedikit sentimentil, gak obyektif, ketika menyinggung terbunuh keluarganya di Sulawesi, sementara menurut Anhar pada saat itu, sultan Hamid II  sedang menunaikan tugasnya  sebagai ajudan istimewa Ratu Belanda Wilhelmina pada 1946. Rasa-rasanya dengan membawa dendam pribadi untuk memverifikasi kelayakan sultan Hamid II dalam forum diskusi ilmiah, terlihat kurang elok. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun