Inilah yang dimaksud oleh Madsen, untuk menggambarkan cara Boeing dan Pemerintah A.S berusaha menguasai pasar di Indonesia melalui kontrak pembelian Lion Air.
Lebih jauh untuk menggambarkan bahwa Amerika tidak akan ragu melakukan sabotase industri terhadap pesaingnya, terutama ketika berhadapan dengan pasar Asia. Madsen merujuk pada masalah "perang mobil" dengan Jepang yang dilakukan oleh pemerintahan Obama
Pada saat itu pemerintahan Obama tidak ragu-ragu untuk terlibat dalam sabotase industri melawan Jepang melalui operasi yang direncanakan sebelumnya dan diarahkan terhadap produsen mobil Toyota Jepang. Pada tahun 2010, Menteri Transportasi, Ray LaHood, terlibat dalam kampanye melawan Toyota dengan mengangkat isu tentang akselerator pedal tertentu yang bahkan tidak diproduksi oleh Toyota tetapi oleh Indiana-based firm CTS (sebelumnya dikenal sebagai perusahaan pemasok telepon Chicago).
Dalam usahanya, LaHood, mengkapanyekan isu anti-Toyota di Amerika dengan menyatakan bahwa semua pemilik Toyota harus berhenti mengemudi kendaraan mereka dan mengembalikan ke dealer untuk diperbaiki. Sebenarnya hal ini ditujukan untuk menyenangkan General Motors dan Ford, karena kedua perusahaan itu sedang mengalami masalah keuangan. Hal yang sepeleh ini justru dibesar-besarkan oleh LaHood, sehingga mengakibatkan penarikan sukarelawan terhadap jutaan kendaraan Toyota, termasuk Camry dan Corolla populer, oleh the Japanese auto giant..
LaHood telah menerapkan operasi Gedung Putih untuk mengambil sebagian besar dari pangsa pasar Toyota dan menyerahkannya kepada General Motors dan Ford. Pemerintahan Obama, melalui bailout GM, menjadi perusahaan mobil virtual dan memutuskan untuk "bermain keras" dalam hal ekonomi terhadap Jepang. Hal ini menurut Madsen, sama seperti yang dilakukannya sekarang terhadap Rusia atas nama Boeing.
Untuk memperkuat analisanya, Madsen menunjuk pada pengalaman terdahulu, dimana pendahulu Obama di Gedung Putih pernah terlibat dalam spionase industri untuk meningkatkan pangsa pasar Amerika. Pada tahun 1995, Presiden Bill Clinton memberi wewenang kepada Badan Keamanan Nasional (NSA) untuk memata-matai perusahaan seperti Toyota dan Nissan selama negosiasi perdagangan AS dengan Tokyo atas impor mobil mewah Jepang ke Amerika Serikat. George HW Bush juga menggunakan NSA untuk memata-matai Indonesia selama negosiasi antara Presiden Suharto dan NEC Jepang mengenai kontrak telekomunikasi yang bernilai multi-juta dolar. Di bawah tekanan dari Washington, Jakarta memutuskan membagi  kontrak secara merata kepada  NEC dan AT & T.
Dalam kasus lain yang memperlihatkan permainan Boeing dalam tubuh pemerintah dan kongres Amerika Serikat. Madsen menjelaskan tentang seorang mantan anggota Kongres AS yang mengaku bahwa ia tidak pernah puas dengan penjelasan tentang kematian mendadak temannya, John Murtha, orang berpengaruh dan ketua dari the House Defense Appropriations Subcommittee, pada bulan Februari 2010. John Murtha divonis meninggal karena infeksi kandung empedu setelah operasi di Bethesda Naval Hospital di Washington, DC. Murtha adalah orang yang berpengaruh dalam kompetisi $ 35 milyar antara Boeing dan European Aeronautic Defense and Space (EADS) untuk memasok Angkatan Udara AS dengan pesawat versi militer baik Boeing atau Airbus yang berkemampuan khusus sebagi pemasok bahan bakar (flight refueling tankers). Murtha diganti dalam jabatan ketua oleh Norman Dicks dari negara bagian Washington, yang dikenal sebagai "Congressman from Boeing." Setahun setelah kematian Murtha, Boeing menerima kontrak dari Angkatan Udara Amerika Serikat.
Sebagai penutup analisanya, Madsen mengatakan, "When it comes to sabotage and espionage, the ability of the United States to go to great lengths, including murder, should never be underestimated. The sordid record speaks for itself."
---------
Wayne Madsen, Lahir di  Ridley Park, Pennsylvania pada tanggal 28 April 1954. Dia digambarkan oleh beberapa wartawan termasuk Andrew Sullivan di Atlantic Monthly, CBS, dan salon sebagai conspiracy theorist. Dia adalah anggota dari the Society of Professional Journalists (SPJ) and the National Press Club. Saat ini tinggal di Washington, D.C.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H