[caption id="attachment_188414" align="aligncenter" width="360" caption="SJJ-100 (sumber: globalpost.com)"][/caption]
Pertanyaan ini dianalisa lebih jauh oleh Wayne Madsen, seorang wartawan investigasi senior yang juga kolumnis dan penulis. Melalui pertanyaan "Was Industrial Sabotage at Play with Super Jet crash in Indonesia" yang dirilis oleh jurnal Strategic Culture Foundation, 12 Mei yang lalu.
Sebagai mantan perwira angkatan laut AS dan nara sumber untuk masalah politik dan keamanan nasional di beberapa stasiun TV seperti Fox News, NBC, CBS, PBS, CNN, BBC, Al Jazeera, dan MS-NBC. Menurut Madsen, berdasarkan pengalaman masa lalu dimana taktik aggressive competitive commercial dilakukan oleh aliansi perusahaan Amerika, the U.S. Intelligence Community, dan Pentagon, maka tidak heran ketika saat ini banyak pakar penerbangan di Asia bertanya-tanya, apakah kecelakaan Sukhoi super Jet 100 di Indonesia adalah hasil permainan sabotase industri tingkat tinggi yang direkayasa untuk melindungi pasar penerbangan komersial yang menguntungkan Boeing dan militer di Asia dengan cara mengorbankan industri penerbangan Rusia.
Wartawan investigasi yang sempat menjadi saksi di DPR AS, Pengadilan Kejahatan PBB bagi Rwanda, dan investigasi terorisme untuk pemerintah Perancis serta berpengalaman kurang lebih 20 tahun dalam masalah "security issues " ini, melakukan analisa dengan melihat beberapa hal, yang diawali dengan  keberadaan Bandar Udara Internasional Halim Perdanakusuma.
Menurutnya, Halim adalah tempat dimana Pasukan Khusus AS melatih pasukan Indonesia dalam taktik angkatan udara untuk berbagai kemungkinan termasuk meaconing, intrusion, jamming, dan taktik interference (MIJI) perang elektronik yang dirancang untuk mengganggu sistem navigasi pesawat. Beberapa pelatihan dilaksanakan setiap tahun sebagai bagian dari EXERCISE COPE WEST, yang disponsori Panglima Komando Pasifik AS di Hawaii. Latihan tahun lalu (menurutnya), COPE WEST 10, berkonsentrasi pada simulasi operasi militer melawan Angkatan Udara Tentara Pembebasan Rakyat Cina, yang menggunakan jet tempur yang dirancang dan dilisensikan oleh Sukhoi, termasuk Sukhoi 27 dan Sukhoi 30.
Kemudian untuk menujukan keseriusan pemerintahan Obama didalam menigkatkan industri penerbangannya khususnya mendukung ekspansi Boeing di Indonesia, Madsen merujuk pada kunjungan terakhir Obama ke Indonesia. Ketika itu Presiden Obama menandatangani kesepakatan dengan Lion Air untuk menjual 230 pesawat Boeing dengan jaminan pinjaman $ 22 milyar dari Bank Ekspor US (EX-IM Bank). Obama mengatakan bahwa kesepakatan memasok pesawat Boeing untuk Lion Air akan menciptakan 110.000 pekerjaan AS. Dengan masuknya Sukhoi ke pasar penerbangan komersial di perkirakan dapat menguntungkan Indonesia dan tentu pertanda dapat mengancaman bagi bisnis Boeing di negeri ini, apalagi kesepakatan Boeing dilakukan oleh Obama sendiri.
Cerita dibalik kontrak pembelian Lion Air ini pun diulas lebih jauh oleh Madsen, menurutnya ketika Lion Air menerima larangan terbang dari  Uni Eropa dan beberapa catatan buruk tentang kurangnya pemeliharaan pesawat serta masalah keterlibatan pilotnya dalam penyelundupan narkoba. Pada tanggal 15 Februari 2012, Reuters melaporan mengenai Air Show dua tahunan di Singapura, yang dihadiri oleh pemilik Lion Air, Rusdi.
Pada Singapore Air Show tersebut, Rusdi diduga bertemu dengan  Presiden Boeing untuk Asia Tenggara Ralph "Skip" Boyce, yang juga merupakan mantan duta besar AS untuk Indonesia dan Thailand serta Wakil Kepala Misi di Singapura. Pada saat itu ia menawarkan beberapa pesawat komersial, termasuk Boeing 787 Dreamliner, Boeing 737-MAX, dan Boeing 747-8 Intercontinental, serta pesawat militer, seperti  KC-135R Stratotanker dan F-15 tempur .
Latar belakang Boyce sebagai politikus ini disoroti oleh Madsen, ketika dikritik oleh kaum oposisi di Thailand karena menentang gerakan anti-pemerintah "Kaos Merah" selama pemerintahan militer. Namun karena memiliki kontak di dalam pemerintahan Thailand memungkinkan dia untuk mengamankan 77 pesawat Boeing yang telah dipesan oleh Thai Airways International. Boyce juga dikritik oleh sebagian pers Indonesia karena diduga menutupi rincian dari bom teroris di Bali 2002 yang menewaskan sejumlah warga negara Indonesia dan turis asing.
Mengenai keberadaan Sukhoi di pasar Asia, Madsen menilaii bahwa dengan biaya lebih rendah SUPERJET (SSJ-100) jelas dilihat oleh Boeing sebagai ancaman bagi bisnisnya di wilayah tersebut, walaupun pembelian Lion Air dari EX-IM bank  telah dijamin oleh Obama.
Selain itu, kegagalan Lion Air untuk Initial Public Offerring (IPO) sebesar $ 1 miliar saham, karena krisis keuangan global telah menempatkan maskapai ini dalam bahaya keuangan. Pesaing utamanya, Garuda, juga bermasalah dengan sahamnya. Kodisi ini menyebabkan riak besar di pasar penerbangan Indonesia. Ada kemungkinan bahwa tanpa jaminan pinjaman Obama pada kesepakatan Boeing, Lion Air bisa saja bangkrut.