Salah satu anak Sungai Citarum, Sungai Cimeta, berubah warna menjadi merah darah akibat pembuangan limbah pabrik tekstil pada Senin, 31 Mei 2022.
Bantaran Sungai Cimeta yang berlokasi di Desa Tagog Apu Padalarang, Jawa Barat, menjadi tempat pembuangan karung berisi pewarna merah pekat oleh oknum yang sedang dicari oleh Satgas Citarum Harum Sektor 9 Sub 3 Padalarang.
Pembuangan limbah yang belum diolah mencemari aliran sungai sepanjang 2 kilometer, serta menganggu kelayakan lingkungan hidup warga Desa Tagog.Sebenarnya, Sungai Citarum sudah dicemari oleh oknum pabrik sejak awal abad ke-21.
Namun, pencemaran Sungai Citarum yang dinobatkan sebagai "sungai terkotor di dunia" hanya menjadi viral sekarang ketika bukti pencemaran berupa sungai merah tidak hanya menganggu mata warga desa yang menjadi korban utama melainkan juga netizen melalui sosial media.
Ketika kualitas air di Sungai Citarum sudah menjadi 1000x lebih berbahaya daripada standar kebersihan air minum di Amerika Serikat dan 60% jumlah spesies ikan di dalamnya sudah meninggal, baru stasiun TV pusat Jakarta menyiarkan berita tentang "pencemaran yang dashyat".
Padahal, sebanyak 20 ribu ton sampah dan 340 ribu ton air limbah tekstil dibuang tanpa diolah terlebih dahulu ke dalam Sungai Citarum setiap hari.
Sementara itu, sungai terbesar ke-3 di Indonesia tesebut menjadi sumber mata air untuk Waduk Jatiluhur yang menyediakan air minum bagi 80% warga Bandung dan Jakarta (27 juta orang) serta mengirigasi 400 ribu hektar ladang sawah padi.
Selain limbah tekstil, Sungai Citarum juga dicemari logam berat seperti Cu, Pb, Al, Mg, dan Fe. Selama 2 dekade terakhir, kualitas air Sungai Citarum tidak memenuhi standar Peraturan Pemerintah No. 82 Thn. 2001 tentang Pengolahan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
Sejak 2014, Pemerintah Provinsi Jawa Barat sudah membuat program Citarum Bestari untuk mengendalikan pencemaran air Sungai Citarum.
Pada 2018, Presiden Joko Widodo juga mengumumkan rencana 7 tahun yang didanai sebesar $500 juta USD oleh International Monetary Fund (IMF) dan Asian Development Bank (ADB) untuk membersihkan air Sungai Citarum agar memenuhi standar kualitas air minum nasional.
Sebanyak 7,100 petugas TNI dibagi menjadi 22 sektor untuk membersihkan sampah dari sungai dengan kepanjangan 300 km tersebut agar permukaan air dapat terlihat dan bau menyengat dapat dikurangi.
Akan tetapi, sampah yang bisa diambil oleh para petugas hanyalah sambah yang berbentuk padat. Lalu bagaimana dengan sampah berbentuk cair (air limbah)?
Rencana pembersihan Sungai Citarum seharusnya selesai pada 2025. Akan tetapi, seluruh dunia justru melihat regres, bukan progres sebagai akibat perilaku oknum yang tidak bertanggung jawab terhadap kesehatan lingkungan pada Mei 2022.
Perubahan warna anak Sungai Citarum hanya merupakan hasil perilaku seorang oknum, sementara lebih dari 2 ribu pabrik tekstil membuang limbah yang tidak diolah ke dalam sungai setiap hari. Apakah ada solusi lain yang dapat pemerintah dan rakyat sama-sama lakukan? Ya, ada.
bioremediasi isolat bakteri asal Sungai Cikapundung, salah satu anak Sungai Citarum.
Sejumlah peneliti biokimia di Indonesia sudah terlibat dalam penelitian bioremediasi logam berat sekaligus beragam jenis pewarna sejak tahun 2020. Pada 2019, Dr. Ir. Wahyu Irawati, M. Sci, dosen biologi Universitas Pelita Harapan, bersama dengan 3 rekan beliau meneliti kemampuanSungai Cikapundung dikelilingi oleh pabrik teknik sehingga tercemar oleh logam berat, terutama tembaga (Cu). Sebanyak 5 isolat bakteri diambil langsung dari wilayah terkontaminasi, kemudian diuji resistensinya terhadap tembaga.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelima isolat tersebut memiliki resistensi tinggi terhadap tembaga karena mampu mentolerir tembaga hingga konsentrasi 7 mM -- 8 mM.
Bukan hanya bertahan hidup dalam lingkungan terkontaminasi, ternyata kelima isolat tersebut mampu mengurangi konsentrasi tembaga di lingkungan sekitarnya melalui 2 mekanisme resistensi: biosorpsi dan bioakumulasi.
Acinetobacter sp. CN5 yang diisolasi dari Sungai Cikupundung mampu mengurangi konsentrasi 12 jenis pewarna, termasuk wantex merah dan kongo merah.
Pada 2020, Ibu Ira melanjutkan penelitian tersebut dan menemukan bahwaBakteri mampu menggunakan enzim-enzim hasil metabolisme untuk menjalani proses dekolorisasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa CN5 mampu mendekoloriasi hingga 57.64% pewarna metilen biru, 53.17% merah kongo, 67.50% merah wantex, dan 91.37% fuchsin dasar.
Mengingat bahwa CN5 merupakan bakteri yang juga resisten tembaga, maka isolat bakteri yang diambil langsung dari wilayah terkontamisasi seperti Sungai Citarum berpotensi besar untuk menjadi agen bioremediasi yang dapat mengurangi konsentrasi beragam jenis pencemar sekaligus.
Mungkin anda bertanya, "bagaimana hasil penelitian ini dapat diaplikasikan?" Jawabannya adalah pabrik tetap harus mengolah limbahnya terlebih dahulu. Lalu, apa gunanya penelitian di atas? Para peneliti dapat mengusulkan proses pengolahan yang murah.
Pada 2017, Ibu Ira menerapkan konsep bioremediasi (bioakumulasi) dalam proses pengolahan air limbah baterai menggunakan biofilter lekat diam. Acinetobacter sp. IrC2 yang diisolasi dari limbah industri di Rungkut, Surabaya dibuktikan resisten terhadap logam berat Cu, Cd, Pb, dan Zn sehingga dimanfaatkan dalam proses penyisihan timbal (Pb) dari air limbah baterai.
Ibu Ira dan rekan-rekan beliau merakit bioreaktor menggunakan baskom plastik, media penyangga berbahan plastik PVC tipe sarung tawon, dan pompa. Molase sebagai sumber nutrisi (kombinasi karbon, nitrogen, dan fosfor) yang murah juga disiapkan untuk mengkultivasi bakteri.
Bakteri beradaptasi terhadap Pb dalam air limbah bateri melalui metode bioakumulasi. Selama proses penyisihan yang berlangsung untuk 8 hari, Acinetobacter sp. IrC2 berhasil menyisihkan paling banyak timbal pada jam ke-28 (86,5%) dan ke-56 (95,5%) sehingga pada jam ke-176, kadar timbal dalam air limbah di dalam bioreaktor turun dari >46,7 mg/L menjadi <0,01 mg/L.
Hasil ini menunjukkan bahwa industri dapat menggunakan isolat bakteri dan bioreaktor lekat diam untuk mengolah air limbah sebelum dibuang ke lingkungan sekitar sebagai upaya mencegah pencemaran lingkungan di masa depan. Akan tetapi, penelitian tersebut masih perlu dilanjutkan sebelum usulan solusi dapat diterapkan oleh ribuan, bahkan jutaan pabrik di Indonesia.
Para peneliti Indonesia memiliki ide-ide cemerlang untuk mengatasi berbagai macam permasalahan yang muncul di dalam masyarakat seperti pencemaran logam berat dan pewarna di Sungai Citarum. Selain Ibu Ira, masih banyak peneliti lain yang tersebar di seluruh Nusantara yang ingin mengatasi masalah pencemaran air di Indonesia. Akan tetapi, pemerintah kurang mendukung peneliti karena belum memandang riset sebagai bentuk investasi bagi kesehatan lingkungan, masyarakat, dan negara. Alasan utama riset dan pengembangan di Indonesia masih kurang maju dibandingkan negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura adalah karena anggaran dan tata kelola pendanaan masih perlu diperbaiki. Saat ini, 83,8% anggaran riset masih bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sementara itu, industri swasta sebagai pelaku utama pencemaran air juga perlu berperan dalam memajukan riset agar dapat memperbaiki proses pengolahan limbahnya. Pemerintah juga mendapatkan dana khusus untuk melangsungkan program-program tertentu seperti $500 juta USD yang diinvestasikan IMF dan ADM untuk Sungai Citarum, sehingga memiliki dana tambahan untuk mendukung program penelitian yang berkaitan.
Tentu, selain pemerintah, rakyat juga perlu berperan dalam memajukan riset dan pengetahuan di Indonesia dengan cara terlibat dalam penelitian. Warga, terutama para pemuda dapat bersikap produktif dengan cara aktif mengikuti organsasi, menekuni minat masing-masing, membuka suara atau menyumbang ide melalui platform sosial media, serta menghasilkan inovasi yang dapat memajukan Indonesia. Selain mengatasi masalah di Indonesia, nama negara juga akan diharumkan di kancah internasional bila rakyat dapat berjuang bersama pemerintah dalam bidang perkembangan riset dan pengetahuan.
Mari, libatkan diri dalam mengatasi masalah pencemaran air di Indonesia, serta memajukan negara!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H