Mohon tunggu...
Valentina Ike
Valentina Ike Mohon Tunggu... -

dilahirkan dari sepasang suami istri yang berdarah banyumas-kediri, lahir di Karanganyar,1989. sedang menyelesaikan study @ michael college, mechatronic engineering.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Jembatan Diantara Dua Tebing

24 Februari 2010   06:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:46 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Diantara
dua tebing ini kita bangun sebuah jembatan,

satu sisi
tebing adalah hamparan tanah yang subur,

sisi
tebing yang lainnya hanyalah sebuah tanah tandus
.

Ada sebuah kisah lama dimana dua orang menempati
daerah berbeda yang dipisahkan oleh suatu sungai, salah satu orang tersebut
menempati daerah yang subur dengan berbagai jenis tanaman dan satunya lagi
menempati daerah tandus, hanya tanaman tertentu saja yang dapat tumbuh. Kedua
orang tersebut tidak saling mengenal dan bertegur sapa. Suatu saat mereka
bertemu di sungai tersebut dan tertarik untuk saling mengenal dan mengetahui
masing-masing daerah yang asing bagi mereka. Setelah membuat kesepakatan
bersama, mereka membangun sebuah jembatan yang dapat menghubungkan kedua daerah
tersebut sehingga memudahkan bagi mereka untuk saling mengunjungi. Mereka sadar
bahwa kedua daerah tersebut memang seharusnya saling terhubung satu sama lain.

Seiring berjalannya waktu, mereka dapat saling
mengenal satu sama lain bahkan mereka membuat kesepakatan baru untuk saling
berbagi tempat di kedua daerah tersebut. Daerah yang subur dijadikan tempat
bercocok tanam bagi keperluan hidup mereka berdua dan daerah yang tandus,
dibangun rumah yang kokoh dan aman terhadap gangguan alam dan binatang. Bahkan
kedua orang tersebut memutuskan untuk hidup bersama dalam satu rumah.

Relasi adalah sebuah proses saling melengkapi
diantara pribadi beda, dengan segala kelemahan dan kekurangan yang melekat di
dalamnya sehingga dibutuhkan sikap saling memahami, mengerti dan menerima satu
diantara yang lainnya. Sebuah relasi berperan dalam menjembatani perbedaan
diantara kedua pasangan dan menjadi wadah bagi penyatuan dua dunia yang berbeda
dalam persepsi. Kadang pasangan kita bukanlah pribadi yang kita angankan, tapi
bukankah kita hidup menetap dan berinteraksi di dunia yang nyata? Segala
kelemahan dan kerapuhan satu pribadi akan ditopang dan dikuatkan oleh pasangan
relasinya, demikian pula sebaliknya.

Setiap pribadi memiliki tingkat kematangan
psikologis dan kedewasaan berpikir yang berbeda satu sama lain dalam menyikapi
segala aspek kehidupan, kita seringkali terjebak untuk bersikap dan berpikir
berdasarkan persepsi kita sendiri. Sebuah dunia kecil. Namun dengan penyatuan
ini, dunia kita menjadi luas sehingga kita tidak lagi terkungkung dan hanya
mengenal dunia yang kita tempati. Pemahaman persepsi yang berbeda itu akan melebur,
lahir menjadi dunia baru yang luas dimana dunia kecil dari dua pribadi itu
dapat saling bertemu dan selaras. Kini kita dapat saling berkunjung ke dunia
kecil pasangan kita untuk mencoba mengenal dan memahaminya tanpa adanya sikap
menguasai terhadap salah satu pasangan.

Proses tersebut merupakan sebuah awal bagi kita
untuk berkreasi menciptakan sesuatu hal baru secara bersama. Bahkan segala
potensi yang terpendam akan lebih tergali dan muncul, sebab kini kita telah
mendiami tempat yang luas dimana dunia baru ini mampu menampung perbedaan untuk
melengkapi satu sama lain sehingga tercipta sesuatu yang baru dan baik bagi
kita.

Tubuh-tubuh
itu berusaha melewati gang sempit ini,

dari mulut
manisnya tawarkan setumpuk harapan palsu untukku.

Kini gang
sempit ini telah kututup rapat,

biar
mereka tak bisa lagi masuk dan mengusikku.

Sebuah relasi antara dua pribadi terdapat celah
bagi pribadi lain untuk hadir dan menggoyahkan komitmen yang telah disepakati
bersama. Hubungan yang telah terbangun menjadi rentan terhadap godaan dari
seseorang yang hadir di saat kita kesepian, merasa seolah seorang diri dengan
kesulitan dan permasalahan yang kita hadapi. Kita tidak sadar bahwa rasa sepi
adalah sebuah kondisi yang kita ciptakan sendiri atas ketidakmampuan kita menerima
kegagalan pasangan kita menjadi pribadi yang kita harapkan untuk bisa hadir dan
memenuhi kebutuhan kita.
Semua itu akan menjadi sebuah kesia-siaan belaka, tatkala kita memaksakan
pasangan kita supaya mampu memenuhi segala bentuk kebutuhan kita, akhirnya ego
menguasai diri kita dengan sikap kita yang berusaha mencari pemenuhan kebutuhan
dari pribadi lain dan mendevaluasi pasangan kita. Kitapun akan
kehilangan makna sebuah relasi.

Kebutuhan dalam sebuah relasi hanyalah sekedar
rasa dan kadang bersifat temporal semata. Ibarat ketika hari ini kita
menginginkan minuman dengan rasa strawberry tetapi yang tersedia
hanyalah rasa orange, apakah kita harus mencampakkannya? Pasangan kita
dapat diandaikan sebagai minuman bercita rasa orange dan kebutuhan kita
adalah minuman dengan cita rasa strawberry. Apakah karena pasangan kita
tidak mampu menghadirkan dan memberikan rasa tertentu pada diri kita, maka kita
akan meninggalkannya dan mencari pribadi lain? Tak seorangpun manusia yang bisa
sempurna dan mampu secara pribadi untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan kita.

Apakah dalam sebuah relasi yang telah dilandasi
dengan komitmen, kita berani untuk mau dan mampu menerima pasangan kita sebagai
pribadi dengan rasa dan kekhasannya? Atau kita mencoba mencari dan mencari
terus, dan memberikan kesempatan hadirnya pribadi lain hanya sekedar untuk
memenuhi segala rasa yang kita inginkan? Sampai kapan?

Lapuk
perahuku terkayuh kulai tertahan badai,

sejenak
layar asaku kehilangan arah mencari dermaga bersimpuh letih.

Kemana
lagi harus kulempar sauh dan kuturunkan segala beban,

hingga
waktunya tiba untuk mengangkat sauh dan kembali laju perahuku

Perjalanan sebuah relasi bagaikan sebuah perahu
yang berlayar dari dermaga
satu ke
dermaga lain menuju suatu tempat perhentian terakhir.
Kejenuhan dan hambarnya sebuah relasi seringkali menghampiri dan menjadi momok
yang sulit diatasi. Tak ayal lagi komitmen dengan segala kesepakatan dan tujuan
hidup bersama menjadi terkoyak dan kehilangan arah akan dibawa kemana sebuah
relasi. Segala kompromi dan toleransi yang terjalin diantara dua pribadi selama
ini seolah tercabut, dan dihempaskan ke dasar laut.

Tak dapat disangkal, kadang kita sibuk dan larut
dengan dunia kita sendiri tanpa menghiraukan pasangan relasi kita, apalagi
ditambah dengan keletihan beban hidup masing-masing pribadi dan kebosanan akan
rutinitas selama berelasi membawa pengaruh yang tak dapat pungkiri menjadi
alasan kegagalan sebuah relasi. Kita terjebak pada seputar permasalahan tanpa
mencari solusi yang bersifat kolektif, akhirnya permasalahan terdistorsi
menjadi sebuah konflik.

Badai dan gelombang dalam perjalanan sebuah
relasi seringkali membuat hidup kita seolah-olah terhenti bahkan surut untuk
menghadapi realitas hidup ini. Namun kita harus bijak dengan memaknainya
sebagai sebuah jeda. Dimana sejenak kita meletakan segala beban dan mencari
energi baru untuk melanjutkan perjalanan hidup. Menjadi pertanyaan bagi kita,
apakah kita begitu saja menyerah dengan kenyataan ini.

Jalanku
dan jalanmu adalah jalan kita,

dan kita
warnai jalan kita dengan warna kita pula.

Tekanan ataupun kesulitan hidup tak bisa lepas
dari kehidupan sebuah relasi, namun itu semua hanyalah warna hidup. Kita harus
meyakini bahwa warna hidup tidaklah absolut, warna dapat berubah sesuai
kehendak kita. Bukankah jika kita menginginkan warna putih kita bisa
mendapatkannya dengan mencampurkan warna merah, hijau dan biru ataupun dengan
mengabungkan warna kuning dan biru? Sesuatu tak ada yang mustahil untuk merubah
warna hidup kita. Dibutuhkan adanya daya cipta kreasi dalam kehidupan kita yang
secara dahsyat mampu merubah apapun warna hidup kita.

Kerjasama dalam relasi menjadi salah satu kunci
bagi kreativitas daya cipta kreasi. Relasi menjadi semu apabila setiap pasangan
relasi berjalan sendiri-sendiri tanpa melibatkan pasangan relasinya. Mungkin
jika hanya sebagai satu pribadi kita akan sulit berkreasi menghasilkan warna
hidup baru, namun dengan penggabungan dua pribadi dalam kerjasama segala
sesuatu akan mudah sebab kita telah mengabungkan warna hidup masing-masing
pribadi. (c+v, Desember 2007)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun