Apa yang muncul di benak kamu ketika mendengar kata 'Tabula Rasa'?
Kamu mungkin langsung teringat dengan seorang tokoh bernama John Locke. Yups, tabula rasa merupakan sebuah gagasan dari John Locke, di mana manusia dianggap sebagai kertas yang kosong ketika dilahirkan.
Tapi jangan beranjak dulu, artikel ini tidak akan berfokus pada pembahasan konsep tabula rasa dari John Locke. Artikel ini akan membahas sebuah film Indonesia yang berjudul Tabula Rasa (2014). Jadi, tenang saja, kamu tidak sedang membaca artikel psikologi yang berat.
Pada artikel ini, kamu akan direkomendasikan untuk menonton sebuah film Indonesia. Bagi kamu yang sampai bulan September 2020 ini masih takut untuk membeli makanan di luar, film ini nampaknya akan mengobati kerinduanmu. Kapan lagi kamu dapat menonton film Indonesia sambil sedikit belajar membuat masakan Padang?
Film ini sangat cocok ditonton selama masa pandemi, sekaligus menambah referensimu tentang makanan khas Padang. Penasaran bukan? Silakan simak artikel ini sampai selesai.
Tabula Rasa, Film Kuliner Pertama di Indonesia
Tabula Rasa (2014) merupakan film Indonesia garapan Adriyanto Dewo yang mengangkat masakan khas Padang. Latar tempat dari film ini sebagian besar berada di Rumah Makan Padang milik Mak Uwo (Dewi Irawan) yang bernama Takana Juo.
Film Tabula Rasa (2014) diklaim sebagai film kuliner pertama di Indonesia. Meskipun film ini dapat digolongkan sebagai film kuliner, namun cerita dari film ini tidak hanya tentang masak-memasak. Film ini juga tidak bercerita tentang sebuah acara kompetisi memasak.
Lebih dari sekadar masak-memasak, Tabula Rasa (2014) berhasil menghadirkan pesan dan kritik tentang keadaan masyarakat Indonesia. Film ini berkisah tentang perjalanan Hans (Jimmy Kobogau), seorang anak laki-laki asal Papua yang harus bertahan hidup di Jakarta.
Dalam perjalanan mempertahankan kehidupannya, Hans kemudian bertemu dengan Mak Uwo. Kehidupan Hans di Jakarta dapat berlanjut berkat bantuan Mak Uwo dan dua orang pekerja di Takana Juo, yaitu Natsir (Ozzol Ramdan) dan Parmanto (Yayu Unru).
Tidak hanya kisah yang menarik, Tabula Rasa (2014) juga berpotensi untuk menggoda perut kamu selama menonton. Pengambilan gambar masakan Padang di film ini dilakukan secara sempurna dan berhasil menghadirkan kelezatan walau hanya secara visual.
Pesan dan Kritik yang Disajikan Bersama dengan Kelezatan Masakan Padang
Dalam buku yang berjudul "Globalization and Latin American Cinema: Toward a New Critical Paradigm", Sophia A. McClennen menuliskan bahwa paradigma kritis bertujuan untuk memahami persimpangan budaya dan globalisasi. Paradigma kritis digunakan untuk melihat adanya dominasi budaya, dekonstruksi budaya dominan, dan relasi kekuasaan yang terjadi.
Secara sederhana, paradigma kritis digunakan untuk membongkar kritik sosial yang disampaikan oleh sebuah film.
Perjalanan Hans dan lezatnya masakan Padang dalam film ini juga menyelipkan pesan dan kritik.Â
Salah satu adegan pada film Tabula Rasa (2014) mengisahkan bahwa Parmanto tidak menyukai kehadiran Hans. Hal ini dikarenakan Parmanto menganggap Hans telah membuat penghasilannya berkurang dan menggeser posisinya. Padahal, Parmanto merasa bahwa dirinya sudah menganggap Mak Uwo seperti saudaranya sendiri.
Konflik yang terjadi membuat Hans akhirnya menggantikan Parmanto sebagai juru masak di Takana Juo. Tidak ada yang terlalu menarik memang dari kisah pergantian juru masak. Namun, kalau kamu ingat dari mana asal Hans, tentu ini akan jadi sebuah pesan yang menarik.
Seorang anak Papua menjadi juru masak di Rumah Makan Padang. Film ini tidak hanya bercerita tentang keberagaman cita rasa pada masakan Padang. Lebih dari itu, keberagaman masyarakat Indonesia juga dapat menciptakan harmonisasi yang indah.
Tabula Rasa (2014) menyampaikan bahwa keberagaman justru adalah kunci dari keindahan. Sekalipun masakan Padang dimasak oleh orang Papua, namun makanan tersebut tetap khas Indonesia. Film ini menyegarkan kembali ingatan kita bahwa perbedaan bukanlah sebuah masalah.
Stereotip Negatif pada Orang Timur Indonesia
Natsir dan Parmanto pada awalnya tidak setuju dengan Mak Uwo. Mereka tidak setuju jika Hans bekerja dan membantu di Takana Juo. Ada beberapa dialog yang kemudian menggambarkan ketakutan Natsir dan Parmanto terhadap Hans.
Mak Uwo memang menemukan Hans di sebuah jembatan penyeberangan. Saat itu, Hans ditemukan tergeletak di jalan. Natsir dan Parmanto kemudian beranggapan bahwa Hans adalah seorang preman. Mereka menilai hal tersebut dari wajah dan penampilan Hans. Bahkan, Hans sempat dikira seorang pencuri.
Orang Timur Indonesia yang merantau di Pulau Jawa seringkali dilabeli dengan berbagai hal negatif. Contohnya di Yogyakarta, kamu dapat menemukan berbagai tempat kos khusus Muslim. Beberapa pemilik kos khusus Muslim ternyata punya alasan lain selain masalah perbedaan agama, yaitu mereka tidak ingin menerima orang dari timur Indonesia.
Alasannya hampir sama seperti Natsir dan Parmanto, yaitu mereka punya berbagai pandangan yang negatif.
Kehadiran Hans dalam film ini yang sempat ngotot untuk membayar makanannya dengan mencuci piring, setidaknya berhasil meruntuhkan stereotip yang negatif. Hal tersebut menunjukkan bahwa Hans dalam kesusahannya sekalipun, tidak memiliki niat jahat. Justru, dia berjuang keras untuk tetap hidup dengan cara yang benar.
Tanpa disadari, berbagai stereotip negatif tentang berbagai suku di Indonesia telah membuat kita lupa akan keberadaan kita, yaitu sebagai manusia. Seringkali, kita melupakan bahwa orang lain punya perasaan seperti diri kita. Hal ini tentunya jadi pesan yang begitu menarik dalam film ini.
Bawang Impor VS Bawang Lokal
Ada satu lagi adegan menarik dalam Tabula Rasa (2014), yaitu ketika Mak Uwo dan Hans pergi berbelanja bahan masakan di pasar. Pada adegan tersebut, Mak Uwo menunjukkan perbedaan bawang merah impor dan lokal kepada Hans.
Mak Uwo pun mengeluhkan harga bawang lokal yang justru lebih mahal daripada bawang impor. Padahal, menurut Mak Uwo, bawang merah lokal lebih memiliki rasa yang tajam.
Adegan tersebut nampak sangat sederhana. Namun, jika kamu sadar, Mak Uwo sedang menyampaikan kritik terhadap produk lokal Indonesia. Mak Uwo merasa bahwa bawang merah lokal justru punya kualitas yang baik.
Pesan tersebut seharusnya mengingatkan kita akan kekayaan alam Indonesia. Namun, pengelolaannya yang masih kurang baik, justru membuat produk lokal kalah dalam persaingan pasar.
Tontonan Wajib Selama Pandemi
Kisah dari film yang telah rilis 6 tahun yang lalu ini masih sangat segar untuk dinikmati di tahun 2020. Film ini akan sedikit mengobati kerinduanmu untuk makan masakan Padang di Rumah Makan Padang langganan kamu.
Kisah persahabatan antara Hans, Mak Uwo, Natsir, dan Parmanto tentunya juga akan membawa suasana yang hangat.
Jadi, tunggu apalagi? Siapkan makanan dan langsung tonton Tabula Rasa (2014) di layanan streaming yang legal.
Selamat menonton!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H