Mohon tunggu...
Valencia Yuniarti S.
Valencia Yuniarti S. Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Ilmu Komunikasi

Interested in media and communication studies

Selanjutnya

Tutup

Film

Film Kuliner Pertama Indonesia, "Tabula Rasa" Jadi Tontonan Wajib Selama Pandemi

24 September 2020   17:59 Diperbarui: 24 September 2020   18:20 361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam buku yang berjudul "Globalization and Latin American Cinema: Toward a New Critical Paradigm", Sophia A. McClennen menuliskan bahwa paradigma kritis bertujuan untuk memahami persimpangan budaya dan globalisasi. Paradigma kritis digunakan untuk melihat adanya dominasi budaya, dekonstruksi budaya dominan, dan relasi kekuasaan yang terjadi.

Secara sederhana, paradigma kritis digunakan untuk membongkar kritik sosial yang disampaikan oleh sebuah film.

Perjalanan Hans dan lezatnya masakan Padang dalam film ini juga menyelipkan pesan dan kritik. 

Salah satu adegan pada film Tabula Rasa (2014) mengisahkan bahwa Parmanto tidak menyukai kehadiran Hans. Hal ini dikarenakan Parmanto menganggap Hans telah membuat penghasilannya berkurang dan menggeser posisinya. Padahal, Parmanto merasa bahwa dirinya sudah menganggap Mak Uwo seperti saudaranya sendiri.

Konflik yang terjadi membuat Hans akhirnya menggantikan Parmanto sebagai juru masak di Takana Juo. Tidak ada yang terlalu menarik memang dari kisah pergantian juru masak. Namun, kalau kamu ingat dari mana asal Hans, tentu ini akan jadi sebuah pesan yang menarik.

Seorang anak Papua menjadi juru masak di Rumah Makan Padang. Film ini tidak hanya bercerita tentang keberagaman cita rasa pada masakan Padang. Lebih dari itu, keberagaman masyarakat Indonesia juga dapat menciptakan harmonisasi yang indah.

Tabula Rasa (2014) menyampaikan bahwa keberagaman justru adalah kunci dari keindahan. Sekalipun masakan Padang dimasak oleh orang Papua, namun makanan tersebut tetap khas Indonesia. Film ini menyegarkan kembali ingatan kita bahwa perbedaan bukanlah sebuah masalah.

Source: liputan6.com
Source: liputan6.com

Stereotip Negatif pada Orang Timur Indonesia

Natsir dan Parmanto pada awalnya tidak setuju dengan Mak Uwo. Mereka tidak setuju jika Hans bekerja dan membantu di Takana Juo. Ada beberapa dialog yang kemudian menggambarkan ketakutan Natsir dan Parmanto terhadap Hans.

Mak Uwo memang menemukan Hans di sebuah jembatan penyeberangan. Saat itu, Hans ditemukan tergeletak di jalan. Natsir dan Parmanto kemudian beranggapan bahwa Hans adalah seorang preman. Mereka menilai hal tersebut dari wajah dan penampilan Hans. Bahkan, Hans sempat dikira seorang pencuri.

Orang Timur Indonesia yang merantau di Pulau Jawa seringkali dilabeli dengan berbagai hal negatif. Contohnya di Yogyakarta, kamu dapat menemukan berbagai tempat kos khusus Muslim. Beberapa pemilik kos khusus Muslim ternyata punya alasan lain selain masalah perbedaan agama, yaitu mereka tidak ingin menerima orang dari timur Indonesia.

Alasannya hampir sama seperti Natsir dan Parmanto, yaitu mereka punya berbagai pandangan yang negatif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun