Kabupaten Sumenep (bahasa Madura: Songènèb) adalah sebuah kabupaten di provinsi Jawa Timur, Indonesia. Kabupaten ini memiliki populasi 1.041.915 jiwa. Ibu kotanya ialah Kota Sumenep. Luas Wilayah Kabupaten Sumenep adalah 2.093,457573 km², terdiri dari pemukiman seluas 179,324696 km², areal hutan seluas 423,958 km², rumput tanah kosong seluas 14,680877 km², perkebunan / tegalan / semak belukar / ladang seluas 1.130,190914 km², kolam / pertambakan / air payau / danau / waduk / rawa seluas 59,07 km², dan lain-lainnya seluas 63,413086 km².
Kabupaten Sumenep yang berada diujung timur Pulau Madura merupakan wilayah yang unik karena terdiri wilayah daratan dengan pulau yang tersebar berjumlah 126 pulau ( berdasarkan hasil sinkronisasi Luas Wilayah Kabupaten Sumenep ) yang terletak di antara 113°32'54"-116°16'48" Bujur Timur dan di antara 4°55'-7°24' Lintang Selatan.
Permasalahan yang sedang hangat di Sumenep saat ini adalah masalah perceraian. Perceraian adalah berakhirnya suatu pernikahan. Saat kedua pasangan tak ingin melanjutkan kehidupan pernikahannya, mereka bisa meminta pemerintah untuk dipisahkan. Selama perceraian, pasangan tersebut harus memutuskan bagaimana membagi harta mereka yang diperoleh selama pernikahan seperti rumah, mobil, perabotan atau kontrak), dan bagaimana mereka menerima biaya dan kewajiban merawat anak-anak mereka.
Berdasarkan data BPS pada tahun 2012 tercatat ada 1409 perkara tentang perceraian terdiri dari 862 cerai gugat dan 547 cerai talak yang diterima Pengadilan Agama Kabupaten Sumenep dan kemudian perkara yang diputuskan alias resmi bercerai sebanyak 1270 terdiri dari 785 cerai gugat dan 485 cerai talak. Pada tahun 2013 tercatat ada 1402 perkara tentang perceraian terdiri dari 842 cerai gugat dan 560 cerai talak yang diterima Pengadilan Agama Kabupaten Sumenep dan kemudian perkara yang diputuskan sebanyak 1257 tediri dari 768 cerai gugat dan 489 cerai talak. Pada Pada tahun 2014 tercatat ada 1477 perkara tentang perceraian terdiri dari 896 cerai gugat dan 581 cerai talak yang diterima Pengadilan Agama Kabupaten Sumenep dan kemudian perkara yang diputuskan sebanyak 1343 tediri dari 828 cerai gugat dan 515 cerai talak.
Dari data yang disebutkan diatas dapat diambil kesimpulan pada tahun 2013 terjadi penurunan angka perceraian namun tidak signifikan, tetapi pada tahun 2014 kembali terjadi peningkatan angka perceraian yang cukup tinggi. Angka perceraian di Kabupaten Sumenep ini sendiri masih terbilang masih sangat tinggi. Dapat diasumsikan dalam sehari sekitar 3 sampai 4 perkara yang berakhir putusan cerai setiap harinya, dan hanya sebagian kecil yang gagal bercerai atau berhasil dimediasi. Perceraian di Sumenep masih didominasi cerai gugat.
Beberapa faktor yang menyebabkan tingginya perceraian di Sumenep. Antara lain:
1. Ketidakstabilan ekonomi
Hampir pada semua kasus cerai gugat, faktor ekonomi paling mendominasi di Kabupaten Sumenep. Pemenuhan kebutuhan memaksa kedua pasangan harus bekerja, sehingga seringkali perbedaan pendapatan membuat mereka berselisih, terlebih lagi apabila suami tidak memiliki pekerjaan tetap yang menyebabkan pasangan dianggap tidak mampu memenuhi kebutuhan keluarga. Umunya pasangan yang bercerai karena faktor ketidakstabilan ekonomi ini merupakan golongan menengah ke bawah.
2. Tidak ada tanggung jawab
Suami sebagai kepala keluarga tidak dapat memberi nafkah. Di beberapa desa tulang punggung keluarga dalam mencari nafkah adalah istri. Hal ini dikarenakan kebudayaan orang madura dimana orang tua selalu ikut campur masalah ekonomi pada anaknya, sehingga membuat suami malas dan tidak mandiri.
3. Pernikahan dini
Di beberapa daerah di Sumenep masih banyak pasangan yang menikah pada usia muda. Hal ini menyebabikan pasangan rentan dalam hal perceraian dikarenakan pasangan muda belum siap menghadapi kesulitan dalam pernikahan dan ego masing-masing yang tinggi.
4. Pernikahan tanpa cinta
Untuk kasus ini umumnya dikarenakan tuntutan orang tua yang mengharuskan anaknya menikah dengan calon yang sudah ditentukan biasanya masih ada hubungan kerabat. Sehingga, setelah menjalani kehidupan rumah tangga seringkali tidak mengalami kecocokan karena tidak ada faktor cinta didalamnya.
5. Adanya pihak ketiga
Faktor ini merupakan faktor umum yang bisanya menjadi penyebab terjadinya sebuah perceraian. Banyaknya kaum laki laki yang bekerja di luar kota, menjadi TKI dan nelayan yang pergi melaut dalam waktu yang lama menyebabkan timbulnya orang ketiga pada keluarga akibat ketidakpuasan istri.
Dampak yang ditimbulkan dari perceraian ini juga tidak bisa dianggap remeh. Dampak terbesar adalah anak. Anak korban perceraian biasanya menjadi lebih agresif, dan kurangnya kasih sayang orang tua membuat anak mencari perhaian dengan cara negatif contohnya merokok, minum minuman keras, menggunakan narkoba dan lain lain. Selain itu menyebabkan maraknya budaya carok di Sumenep karena kaum suami merasa harga diri mereka diinjak-injak.
Beberapa usaha yang dapat dilakukan untuk mengurangi tingginya angka perceraian di Sumenep. Pertama, memberikan penyuluhan tentang hakikat pernikahan dan dampak dampak yang ditimbulkan dari perceraian dengan kerja sama dari tokoh agama. Memberikan penyuluhan kepada santri Pondok Pesantren dan MAN di daerah daerah tentang dampak perkawinan dini. Pemerintah juga harus mendorong masyarakat untuk bisa membuka lapangan kerja baru agar ekonomi masyarakat menjadi lebih stabil. Yang terakhir pemberian reward pada pasangan yang berhasil dimediasi atau gagal bercerai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H