Mohon tunggu...
Jejak Opini
Jejak Opini Mohon Tunggu... Jurnalis - Hidup Adalah Tentang Perjalanan

Damai Penuh Makna

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Rekonstruksi Pendidikan Paradigma Hukum Positivistik Menuju Humanistik

6 Januari 2020   16:18 Diperbarui: 7 Januari 2020   00:43 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mahasiswa Pascasarjana IAIN Ambon--dokpri

Konsep paradima pertama kali diperkenalkan pada tahun 1940-an oleh Thomas S. Khun melalui karyanya yang berjudul The Sturuture of Scientific Revolution. Istlah paradigma bersal dari bahasa latin yaitu paradeigma yang berarti pola. Sementara Dalam konteks pengembangan paradigma hukum di Indonesia sudah sepatutnya prinsip-prinsip dasar dalam pancasila dijadikan sebagai acuan dan basis berpijak.

Dalam Pengusahaan Ilmu Hukum dewasa ini terdapat berbagai aliran pemikiran (sholat of though) yang secara tradisional-konvensional disebut dengan istilah-istilah mazhab-mazhab hukum (school of jurisprudensi).

Di dalam pengetahuan hukum, kajian terhadap hukum dapat dibedakan dalam beberapa pandangan yaitu paradigma historis, Paradigma Normatif dan para digma Empiris.

Dalam perkembangan kajian-kajian tentang ilmu hukum tersebut diatas, Masing-masing menempati dominasinya sendiri-sendri, Baik dalam menentukan batas ilmu pengetahuan hukum maupun dalam metodologi. Tak mengherankan jika muncul pendapat sebagian orang bahwa seolah-olah dalam ilmu hukum di Indonesia terdapat berbagai paradigma yang paralel dan sama-sama berfungsi. Masing-masing paradigma ini telah mempunyai implikasi tersendiri terhadap praktek penegakan atau penyelenggaraan hukum-hukum di Indonesia.

Olehnya itu, menurut hemat penulis mengutip pikiran Galileo Galilei bahwa "dunia ini adalah  kitab yang selalu terbuka untuk di baca".

Maka kepada mahasiswa hukum di seluruh penjuru indonesia harus memahami betul bahwa, Dunia kampus adalah dunia membaca sekaligus dunia dialektika ide, gagasan, dan pemikiran. Disana pula diajarkan berbagai konsep paradigma, teori, dalil, ilmu dan hikmah. Sebab dengan ilmu dan hikmah orang akan menemukan cahaya kebenaran yang diharapkan dapat memancarkan jiwa-jiwa kearifan dan karakter positif dalam dirinya.

Kehidupan kampus saat ini sifatnya sangat terbuka atas keragaman pemikiran. Terkadang perbedaan pandangan, paradigma, teori dan mazhab pun bertentangan dimimbar kampus.  Tetapi dalam dunia kampus perbedaan pandangan bahkan teori sekalipun merupakan hal yang lumrah sebab semua itu dianggap sebagai suatu kakayan intelektual dan karena keberagaman serta perbedaan itulah kampus dijadikan sebagai mimbar bebas akademik.

Tetapi kemudian di sisi yang lain ada penyebab kegagalan penegakan hukum di Indonesia. Jika dianalisis salah satu penyebabnya adalah konstruksi pendidikan hukum di perbagai perguruan tinggi yang terlalu monolitik. Padahal pendidikan hukum merupakan rahim untuk melahirkan lulusan yang akan mengoprasikan dan menjalankan sistem hukum (legal order) dalam jagat ketertiban.

Pendidikan tinggi hukum kita lebih didominasi dan ditekakan oleh suatu pembelajaran yang bersifat yuridis dan teknologis kemudian menyampingkan aspek kemanusian (humane) dan Sosial (Social). Pembelajaran teknoligis seperti ini merupakan pembelajaran yang lebih menekankan pada pembinaan keterampilan profesi. Akibatnya aspek-aspek manusia dan kemanusian yang ada pada hukum menjadi kurang diperhatikan kemudian terbaikan.

Model pembelajaran hukum dalam institusi  pendidikan hukum seperti ini hanya membatasi pada pemahaman peraturan perundang-undangan  atau positivistik semata. Pandangan seperti ini melihat hukum sebagai deterministik. Hukum dikonspesikan sebagai lawyers dalam arti hukum diidentikan hanya sebagai undang-_undang semata yang harus dilaksanakan dengan prinsip aturan dan logika (rule the logic).

Kondisi tersebut berimplikasi pada pembelajaran hukum yang menajdi pabrik memproduksi ahli-ahli hukum, tidak secara bebas menuntukan apa yang dia inginkan diajarkan kepada para mahasiswa. Pembelajaran hukum harus menyiapkan tenaga-tenaga yang menjadi operator yang menjalankan mesin hukum.

Lembang pendidikan harus mengacu pada peta besar hukum modern dengan ciri-ciri seperti disebutkan diatas sebab apabila hukum modern sudah bergeser menjadi teknologi maka, kurikulum lembaga pendidikannya pun akan menjadi demikian. Dengan perubahan hukum menjadi teknologi demikian maka sudah kurang dapat dipercaya menjaga kemanusian atau menjadi bastion kemanusian.

Sementara itu masuknya Kapitalisme dalam pembelajaran hukum, juga menyebabkan hukum menjadi komuditas. seperti diungkapkan oleh Pizza dan Spance bahwa pengadilan bukan lagi berperan nama "kantor pengadilan", melainkan "Perusahaan Hukum" (law firm). Orang dalam menjalani inisasi pendidikan untuk menjadi ahli hukum dengan cita-cita dan harapan untuk mendapatkan keuntungan dan kemewahan materiil. Orang belajar kemudian dituntut lebih untuk memenangakan suatu perkara dan tidak terlalu penting untuk memikirkan dimensi kemanusiaan hukum.

Perguruan Tinggi di Indonesia harusnya berperan sebagai "menara air" bagi masyarakat. Kampus harus mengaliri setiap ilmu hukum dan hikmah kepada masyarakatnya, yang pada akhirnya akan menjadi center of exellance (pusat keunggulan) bagi pembangunan. karena Perguruan tinggi sebagai salah satu aktor utama perubahan sosial dalam pembangunan. Di negara-negara maju hampir tidak ada kebijakan krusial bagi negaranya yang tidak melibatkan perguruan tinggi.

Konkritnya, pertama-tama para mahasiswa baru sudah dihadapkan kepada persoalan kemanusiaan yang akan menjadi landasan dan modal penting bagi keahlian hukum mereka nanti ketika di tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian ketika mereka melangkah kedunia hukum mereka disongsong oleh diskusi-diskusi seputar manusia seperti keadilan, ketidakadilan, diskriminasi, penderitaan, kebenaran, kepedulian serta masalah-masalah sosial lain ditengah-tengah masyarakat.

Oleh karena itu, para pengelola program pendidikan hukum harus mendekonstruksi dan merekonstruksi kembali hal-hal dan cara-cara yang selama ini dijalankan dan dipraktekan.

Kemudian perlu ditekankan bahwa perguruan tinggi harus menjadi ladang penyemain ilmu yang berbasis karakter positif dan kearifan lokal bagi masyarakat.

Petinggi perguruan tinggi bukanlah "pabrik gelar" yang hanya menghasilkan para lulusan yang bertitel, melainkan yang terpenting adalah bagaimana kampus "mencetak" para alumni yang berkarakter, berintegritas serta peduli terhadap terhadap masyarakat. Dengan kata lain lulusan perguruan tinggi harus menjadi bagian yang dapat memberikan solusi pagi personalan kebangsaan. Lemaba pendidikan harus mampu melahirkan generasi baru yang memiliki karakter warga negara yang smart and good citizen.

Selanjutnya upaya pembangunan paragidma institusi hukum diperlukan dan lebih menekankan pada aspek pendidikan hukum yang berbasis manusia dan kemanusiaan.

Dengan kata lain diperlukan perubahan paradigma yaitu, pendidikan hukum berbasis positivistik-legalistik menuju hukum Pendidikan berbasis humane and social. Perubahan paradigma ini diharapkan akan menjadikan pendidikan hukum sebagai avan garde dari perubahan kultur berhukum khususnya di Indonesia.

Untuk mewujudkan gagasan tersebut, filsafat yang mendasari pendidkan hukum juga harus bergeser yakni dari "profissional menjadi pro-hemane and sosial". kandungan filsafat tersebut adalah setiap berhadapan dengan masalah hukum "perkara hukum" melainkan berhadapan dengan "masalah manusia/kemanusian dan masyarakat".

Pergeseran tersebut menjadikan pendidikan hukum bukan pertama-tama dan utama sebagai pendidikan teknologi dan profisonal. melainkan menjadi tempat untuk memantangkan kemanusiaan. Mendidik mahasiswa untuk menjadi matang dalam soal kemanusiaan berbeda dengan mendidik mereka menjadi profesional hukum atau operator mesin hukum.

Bukan pengusaan materi hukum pidana, perdata dan lain-lain yang didahulukan  menlainkan mendahulukan "untuk menjadi manusia". Semangat yang mendsari pendidikan hukum bukan bagaimana terampil dan kompoten secara profisonal melainkan bagaimana "menolong manusia yang susah dan menderita".

Kemudian untuk mengakomodasi hal-hal tersebut diatas barangkali dapat diberikan porsi yang lebih substansial terhadap diskusi dari pada kuliah-kuliah konvensional (lecturing) belaka. Melalui diskusi-diskusi tersebut muda-mudahan perkara-perkara hukum dapat ditarik lebih menjadi perkara-perkara moral dan kemanusiaan.

Satu keuntungan pendidikan hukum di Indonesia yaitu dinamakan "Fakultas Hukum" dan bukan "Fakultas Undang-undang" seperti yang ada di malaysia. Perbedaan tersebut hendaknya benar-benar dimanfaatkan karena arti hukum jauh lebih luas dari undang-undang. Dalam konteks ini hukum harus dibaca sebagai institusi manusia/kemanusiaan dan moral sehingga pendidikan hukum juga menjadi bastion dari manusia dan kemanusiaan.

Sedangkan pada tataran praktis, pendidikan tinggi hukum perlu Murenungkan kata-kata mutiara dari Galanter, yaitu "Alleviating human sufferings" dan Spance " need to be evolved persons". Dan kemudian menjabarkannya kedalam fokus serta arah pendidikan hukum. Pendidikan hukum harus mengutamakan "pengembangan kemanusiaan" diatas keinginan menghasilkan "manusia hukum"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun