Upaya nyata tersebut adalah, di awal membangun biduk rumah tangga mereka berupaya sudah memiliki aset sebidang tanah beserta bangunan rumah di atasnya. Upaya tersebut tercapai. Maka, benar adanya sebidang tanah tersebut dijual ketika anak pertama telah memasuki usia melanjut pendidikan perguruan tinggi. Alhamdulilahnya anak pertamanya suka dengan namanya bersekolah tanpa berfikir iming-iming bakal dapat ini dan itu, murni emang ingin tahu namanya sekolah.
Hasil penjualan tersebut prioritas pembiayaan keperluan pendidikan masuk perguruan tinggi hingga selesai pada akhirnya masih ada sisa. Sementara biaya hidup sehari-hari diupayakan setiap hari dengan kerja serabutan hingga memutuskan merantau meninggalkan anak pertama mereka menempuh kuliah. Segala macam profesi dilakukan bergantung dengan keadaan perekonomian, menjadi petani karet, menjahit, buka warung, dan kuli orang pun dilakukan.
Selama menyekolahkan putra pertamanya, dibarengi ketiga anaknya tengah menempuh 2 anak di SMP dan 1 SD. Keuangan harian mereka lakukan adalah pertama, hidup sederhana. Ketiga anaknya tumbuh dengan pola asuh merasa nyaman berlama-lama diam di rumah sehingga jarang jajan di luar rumah sebagaimana anak pada umumnya. Kedua, mengutamakan pengeluaran biaya pendidikan di atas keperluan yang lain seperti membeli pakaian lebaran untuk diri mereka sendiri dalam hal ini suami istri atau perkakas rumah tangga yang sederhana. Jadi, ketika keuangan tengah berlimpah, alokasi terarahkan langsung untuk membayar keperluan sekolah baru kemudian urusan lainnya. Cara terakhir adalah menabung dengan ikut arisan. Tak lain uang arisan tersebut untuk dana simpanan ketika tahun ajaran baru.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI