"Tidak semua orang punya gaji, tapi setiap orang punya rezeki"
Pernahkah kalian membaca quote ini? Menurutku quote ini seakan membuat angin segar untuk sederetan orang yang memiliki pendapatan tidak menentu.
Kali ini bisa dibilang aku menimpali khasanah literasi keuangan dari sudut pandangku sendiri. Menyoroti pemaknaan quote di atas.
Kalau pakem pengaturan keuangan dari literasi yang ada meliputi versi pembagian pos kebutuhan menjadi 1:1:1, 40:30:30, atau 80:20. Menurutku ini cenderung pakem keuangan berlaku untuk orang-orang memiliki pendapatan tetap atau pasti dalam kurun waktu yang sudah pasti juga.Â
Oleh karenanya berpandangan demikian ada satu hal terpikirkan tiba-tiba. Gimana orang-orang mengatur keuangannya yang kasarannya pendapatannya ga bisa diprediksi? Mungkin aku perjelas dan maaf sebelumnya menyebutkan ini, mereka dengan profesi pedagang kelas bawah, buruh lepas, nelayan, petani, sopir angkutan umum dan masih banyak lagi.
Ga menutup kemungkinan profesi sepele seperti itu pendapatannya bisa lebih besar dari orang-orang yang memiliki pendapatan (gaji) tetap setiap bulannya istilahnya bisa menyentuh rata-rata UMR. Namun bisa juga sebaliknya.Â
Menariknya keberadaan orang-orang dengan jumlah pendapatan yang tidak dapat dipastikan, memiliki kisah inspiratif sekaligus hikmah. Salah satunya yang mendasari tulisan ini. Tiga kisah berikut cukup menjadi referensinya.Â
Pertama, masih ingatkah dengan kisah seorang mahasiswi UNNES wisuda diantar bapaknya menggunakan becak pernah terekspos tahun 2014? Â Raeni namanya mencuat ketika dirinya diantar bapaknya menggunakan becak saat wisuda. Profil singkatnya dilansir dari unnes.ac.id, ia adalah mahasiswa penerima beasiswa bidikmisi beberapa kali memperoleh indek prestasi 4.
Lalu kisah kedua tak kalah inspiratif dikutip dari chanel youtube Trans7 Official dalam acara Hitam Putih bertajuk Kesuksesan Anak Petani. Dilihat dari segi profesi cenderung dianggap sepele dan pendapatan yang bisa dibilang termasuk kategori berpendapatan tidak tetap. Sisi penghasilan amat sangat bertaruh pada keadaan cuaca, hama serta harga pasar.
Lalu hubungannya dengan literasi keuangan? Iya, yaitu jumlah pendapatan tidak dapat dipastikan. Bagaimana proses alokasi keuangannya untuk membiayai sekolah? Menjawab pertanyaan tersebut, jika dilihat dari kacamata keuangan akan terasa rumit menerapkan pakem pembagian uang 1:1:1, 40:30:30 atau 80:20 sebab lingkupnya bukan menerima gaji tetap setiap bulannya. Maka pakem keuangan yang diterapkan adalah menentukan skala prioritas, sederhananya tujuan hidup. Skala prioritas dari dua kisah di atas adalah pendidikan.Upaya nyata mengatur keuangannya tentu setiap cerita memiliki cara masing-masing.Â
Maka, untuk menjabarkan pengaturan keuangan tersebut bersumber dari salah satu potret kisah serupa dari lingkungan sekitar. Kisahnya hampir mirip tujuan sederhananya pendidikan. Orang tua memiliki 4 orang anak dan berkeinginan menyekolahkan ke empat anaknya yang alhamdulilah tercapai ke empatnya berhasil menempuh pendidikan hingga bangku perguruan tinggi.
Upaya nyata tersebut adalah, di awal membangun biduk rumah tangga mereka berupaya sudah memiliki aset sebidang tanah beserta bangunan rumah di atasnya. Upaya tersebut tercapai. Maka, benar adanya sebidang tanah tersebut dijual ketika anak pertama telah memasuki usia melanjut pendidikan perguruan tinggi. Alhamdulilahnya anak pertamanya suka dengan namanya bersekolah tanpa berfikir iming-iming bakal dapat ini dan itu, murni emang ingin tahu namanya sekolah.
Hasil penjualan tersebut prioritas pembiayaan keperluan pendidikan masuk perguruan tinggi hingga selesai pada akhirnya masih ada sisa. Sementara biaya hidup sehari-hari diupayakan setiap hari dengan kerja serabutan hingga memutuskan merantau meninggalkan anak pertama mereka menempuh kuliah. Segala macam profesi dilakukan bergantung dengan keadaan perekonomian, menjadi petani karet, menjahit, buka warung, dan kuli orang pun dilakukan.
Selama menyekolahkan putra pertamanya, dibarengi ketiga anaknya tengah menempuh 2 anak di SMP dan 1 SD. Keuangan harian mereka lakukan adalah pertama, hidup sederhana. Ketiga anaknya tumbuh dengan pola asuh merasa nyaman berlama-lama diam di rumah sehingga jarang jajan di luar rumah sebagaimana anak pada umumnya. Kedua, mengutamakan pengeluaran biaya pendidikan di atas keperluan yang lain seperti membeli pakaian lebaran untuk diri mereka sendiri dalam hal ini suami istri atau perkakas rumah tangga yang sederhana. Jadi, ketika keuangan tengah berlimpah, alokasi terarahkan langsung untuk membayar keperluan sekolah baru kemudian urusan lainnya. Cara terakhir adalah menabung dengan ikut arisan. Tak lain uang arisan tersebut untuk dana simpanan ketika tahun ajaran baru.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI