Cerita sebelumnya: Jamming di Ubud
Adian sangat kecewa pada Kimaya. Dia akhirnya memutuskan bahwa semua yang dia lakukan selama ini untuk memisahkan pikiran Kimaya tentang Yuda, gagal. Dan tidak ada gunanya. Dia menyerah.
"Mau ke mana, Di?" Mona yang tidak tahu apa-apa mencoba mencegat Adian yang terlihat buru-buru keluar dari cafe.
"Aku pulang dulu, ada urusan," jawab Adian sembarangan, asal Mona melepaskan dirinya supaya bisa segera pergi dari situ. Mona sepertinya sangat paham. Dia biarkan Adian lewat meninggalkan acara yang belum selesai.
Bergegas Adian mencari taksi di dekat situ, untung jalan itu cukup ramai dan strategis, jadi mudah dia menemukan taksi dalam sekian detik.Â
Dia hempaskan badan ke jok kursi taksi, melepaskan segala kekecewaan dan kemarahan, kehilangan dan segala keputusasaan.
"Kimaya tidak mau berubah!" desisnya pada dirinya sendiri.
Adian memutuskan untuk pulang ke Jogja. Dia akan meninggalkan semua usahanya menyelamatkan Kimaya, mulai detik ini. Pulang ke Jogja artinya dia akan melupakan semuanya, lupa Mona, lupa Kimaya.Â
"Untuk apa juga Kimaya mengingat-ingat Yuda? Orang yang sudah mati tidak bisa lagi mendengar alunan musik. Move on, Kim," batinnya. "Kalau tidak, aku yang akan move on."
Sampai di rumah kontrakan Kimaya, Adian packing semua barangnya dan menaruh kunci rumah di tempat seperti kesepakatan mereka bertiga. Dia tinggalkan pesan ke Mona bahwa dia pulang ke Jogja malam itu. Entah dapat tiket atau tidak, dia tidak peduli, asal segera pergi dari Bali.
Rasanya alam semesta mendukungnya. Taksi mudah didapat. Tiket pesawat terdekat juga tersedia. HP dia matikan sampai dia di Jogja.
Bagaimana dia mau memutuskan hubungan dengan Kimaya dan Mona? Semua chat mereka tidak akan dia balas. Itu sudah keputusan bulat. Mulai beda cerita.
---
Sebulan kemudian ...
Adian menyibukkan diri dengan proyek magang yang dia ambil untuk kedua kalinya. Skripsinya sudah selesai, tinggal menunggu tanggal sidang. Kantor magangnya sudah mempekerjakan dia secara profesional, bahkan mobil kantor sudah boleh dia pakai.
Sore itu dia pulang lebih awal karena meetingnya dengan klien sangat mudah. Balik ke rumah sebentar untuk mengambil folder yang sengaja tidak dia bawa tapi akhirnya dia butuhkan di kantor. Mobil dia parkir di dekat teras rumah. Ketika itu dia melihat sosok asing di teras.
"Kimaya?" panggilnya sambil berjalan mengitari mobil, menuju ke teras. Cewek itu memakai rok panjang, menunjukkan tubuhnya yang tinggi semampai, menuruni anak tangga teras menyambutnya ke dekat mobil.
"Hai, Adian," sapa Kimaya dengan senyumnya yang cerah. Rambutnya yang sedikit keriting melambai-lambai terkena angin sore. Cantik benar, batin Adian. Lalu dia menggelengkan kepalanya. Di hati Kimaya hanya ada Yuda, putusnya. Beda cerita mulai sekarang.
Mereka berpelukan sebentar. Adian sangat berusaha mengingat-ingat perilaku normal bila bertemu Kimaya. Dia tidak ingin Kimaya berprasangka apapun.
"Kamu tidak pernah membalas chatku? Menelpon balik pun tidak?" Kimaya langsung merengek, nada yang biasanya membuat Adian menyerah. Saat ini cowok itu berusaha bertahan walau jantungnya sempat berhenti berdetak ketika memeluk cewek itu.
"Aku sibuk," jawab Adian singkat tapi dengan tersenyum. Mereka lalu duduk di kursi teras. Tak berapa lama, ibu Adian keluar membawa minuman untuk Kimaya.
"Loh, sudah bertemu Ibu?" tanya Adian heran.
"Aku sudah setengah jam di sini," jawab Kimaya sambil tersenyum. Ibu Adian mengingatkan kalau Kimaya telpon harusnya diangkat.
"Apa kabarmu, Kim?" setelah beberapa menit mereka berdiam. Sebenarnya Adian tidak ingin memulai percakapan, tapi Kimaya terlihat senyum-senyum tapi tidak bicara apapun.
"Senang ketemu kamu lagi, Di."
"Kapan dari Bali?"
"Barusan, lalu langsung ke sini."
"Sama Mona?"
"Tidak, sendiri."
Mereka bicara pendek-pendek. Adian sudah gelisah dan khawatir Kimaya mengetahui isi hatinya dan semua rencananya.
"Ada acara apa di Jogja? Kamu masih ada kuliah, kan?" akhirnya Adian mengalah untuk bertanya lebih jauh.
"Aku kangen kamu, Di. Waktu itu kamu pulang tiba-tiba. Padahal ada banyak yang ingin aku bicarakan sama kamu. Lagian kamu juga tidak pernah membalas chatku. Sesibuk apa sih, kamu?" Kimaya merasa mendapatkan kesempatan untuk mengeluarkan isi hatinya.
Tiba-tiba HP Adian berbunyi. Cowok itu merasa lega bukan main.
"Hey, Bro," temannya si Kevin menelponnya. "Ada apa?"
"Kamu jadi ambil folder yang mau kita pakai untuk meeting?" tanya Kevin. Adian merasa ini kesempatan untuk menunjukkan betapa sibuknya dia kepada Kimaya.
"Iya, aku antar," jawab Adian, walaupun Kevin tidak meminta karena meetingnya baru besok. Lalu dia melihat ke jam tangannya,"Aku ke sana sejam lagi."
Terdengar dengusan Kimaya. "Kamu mau pergi lagi, Di?"
"Sebenarnya aku pulang karena ada yg ketinggalan, eh kamu sudah di sini. Tapi aku ada waktu sejam kira-kira. Yuk, masuk dulu, sudah makan?" kata Adian dengan meriah. Digandengnya tangan Kimaya supaya mau masuk ke rumah.
Di meja makan, Adian segera menyiapkan makanan kesukaan Kimaya.Â
"Ini ada pizza kesukaanmu, aku panasin, ya?" Adian menyibukkan diri dengan microwave dan susu coklat, kesukaan Kimaya juga.
"Di, kamu marah sama aku ya?" tiba-tiba Kimaya memecah keheningan di antara suara mesin pemanas dan adukan cangkir susu coklat.
"Enggak, kenapa marah?"
"Kamu pergi tiba-tiba setelah kejadian itu, kamu ninggalin aku. Nggak hanya itu, kamu balik ke Jogja tanpa bisa dihubungi," suara Kimaya mulai terdengar serak.
Adian tidak berani menatap ke mata Kimaya, dia menunduk dan menyibukkan diri dengan potongan pizza yang ditaruhnya ke piring di depan Kimaya. Cangkir susu juga dia geser di samping piring itu.
"Aku tidak marah, Kim. Untuk apa?" katanya sambil menahan diri untuk tidak memandang ke Kimaya.
"Karena kamu tidak suka aku masih mikirin Yuda ...," jawab Kimaya pelan. Saat inilah Adian pengin banget memeluk Kimaya. Tapi kenapa nama itu muncul, terdengar di rumah ini? Adian menjadi geram.
"Kalau itu kan aku sudah bilang berkali-kali ke kamu. Jadi kamu sudah tahu tanggapanku, tidak perlu ditanyakan lagi," Adian menyeruput susu coklatnya sendiri. Dia berusaha terlihat tenang.
"Lalu kamu marah! Kamu beda sekarang."
"Enggak, Kim. Aku buru-buru pulang karena ada urusan, kan aku sudah jelasin ke Mona," paparnya dengan sabar.Â
Adian berdiri untuk mencuci cangkirnya yang sudah bersih dari susu coklat. Dia harus segera pergi. Pembicaraan ini tidak ada gunanya dan tidak akan mengarah ke mana-mana. Dia hanya mendengarkan apa yang akan dikatakan Kimaya.
Tiba-tiba dirasakannya pelukan tangan Kimaya ke pinggangnya, dari belakang.
"Aku kangen kamu, Di," Kimaya terdengar terisak. Dada Adian mulai terasa bergemuruh. Dia masih sayang sama Kimaya.
"Kim, aku harus pergi," cowok itu merasa dia harus lebih tegas. "Besok aku telpon, ya."
Kimaya masih belum mau melepaskan pelukannya. Tangan Adian tetap menghindar untuk menanggapinya.Â
"Aku antar kamu pulang, jalanku searah ke rumah kamu," kata Adian dengan lembut. Perlahan dia berbalik dan memeluk Kimaya seperti biasa. Dan hanya sebentar. Air mata Kimaya masih berderai, membasahi kemejanya.
Merangkul bahu cewek itu, Adian mengarah keluar, ke mobilnya. Kimaya menurut diajak masuk ke mobil. Di dalam, tangan Kimaya memegang tangan kiri Adian yang sibuk mengganti gigi. Tapi pandangan cewek itu ke arah luar jendela. Mereka menikmati perjalanan dalam diam.Â
Adian memang tidak mau bereaksi apapun sampai Kimaya menyadari apa yang dia inginkan, mengusir Yuda jauh-jauh.
Menelepon Kimaya besok? Itu hanya janji palsu Adian.
+++
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H