Mohon tunggu...
R.A. Vita Astuti
R.A. Vita Astuti Mohon Tunggu... Dosen - IG @v4vita | @ravita.nat | @svasti.lakshmi

Edukator dan penulis #uajy

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Jamming di Ubud

6 April 2024   23:05 Diperbarui: 6 April 2024   23:06 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertaruhan Kimaya

Adian menyesal banget ketika sampai di rumah Kimaya kantuknya tak tertahankan. Pikirnya ketika pergi ke Ubud, dengar ajakan Mona untuk check sound, kantuknya akan hilang. Eh, dia malah tepar dari sejak mobil bergerak pelan. Sebenarnya dia malu pada Kimaya.

"Penidur?" tanya Kimaya lagi setelah membentaknya dengan kata yang sama di luar mobil. Kali ini suara Kimaya lebih lembut, tak dinyana menggetarkan jantungnya. Kantuk pun hilang.

Baca juga: Kecewa

"Enggak, aku mau bantu-bantu ..." Adian tersenyum malu. Mona menepuk bahunya, dia bilang senyumnya jangan disebar sembarangan, nanti banyak cewek mendekat. Adian tergelak, kantuknya benar-benar lenyap. Dia tidak sadar bahwa Mona serius dengan peringatannya.

Dicarinya Kimaya. Seperti pesulap anak itu, cepat sekali menghilang. Setelah melihat berkeliling, ditemukannya Kimaya sedang duduk di atas kursi bar, tekun mendengar seorang musisi yang memetik gitar dengan nada lembut. Keduanya sendirian, tapi mereka berdua seperti tersambung satu benang merah yang tak tampak. 

Kimaya terlihat terbius dengan petikan gitar tersebut. Adian yang duduk di sebelahnya pun tidak digubrisnya. Mona memberi tanda ke cowok itu. Adian mendekat.

"Jangan ganggu Kimaya," bisiknya pelan. "Lagu itu magis. Salah satu lagu permintaan Kimaya. Dia ingin Ben memainkan lagu itu dengan sempurna."

Baca juga: Pertaruhan Kimaya

"Kenapa?"

Baca juga: Kenyataan Tiba

"Kamu nggak ingin tahu, Di," Mona penuh tanda.

Adian malah cemas. Apakah alunan petikan gitar itu tentang Yuda? Sahabat Kimaya yang sudah tiada dan sepertinya berarti sungguh di kehidupan cewek itu. Adian merasa usahanya setahun ini akan sia-sia bila Kimaya kembali ke kenangan bersama Yuda.

"Bukan Yuda, kan?" Adian ingin memastikan kepada Mona. Cewek itu hanya mengedikkan bahunya. Adian gemas.

Cowok itu kembali ke samping Kimaya. Lalu kaget karena dia melihat ada cahaya keperakan di pipi cewek itu. Air mata? Kimaya menangis tanpa sadar? Ini tidak bisa dibiarkan. Aku sudah membuat Kimaya bahagia, dia tidak boleh jatuh lagi, batinnya.

"Kim ...," Adian menyentuh tangan Kimaya dengan lembut. Petikan gitar itu sudah berakhir. Ben si pemain gitar masih di atas panggung, diam menunduk. Kimaya menoleh ke arah Adian perlahan.

"Hmm?" tanya Kimaya serak. Baru kemudian Kimaya sadar kalau pipinya basah dan suaranya berubah karena menahan tangis. Buru-buru diusapnya air mata dengan lengan bajunya.

"Kamu mau ngenalin aku ke Ben yang ada di atas itu?" kata Adian pelan. Dia tidak mau mengungkit tentang air mata Kimaya. 

"Boleh," kata Kimaya tidak serak lagi karena sudah minum air putih yang ada di meja. Dia segera beranjak berdiri dan menarik tangan Adian untuk naik ke panggung.

"Ben," Kimaya berkata pelan. "Ini Adian, temanku SMA. Dia akan bantu-bantu juga besok."

Adian terkejut ketika Ben perlahan mengangkat kepalanya yang menunduk. Matanya memerah, terkesan sedih, menangis. Ada apa?

"Hai, aku Adian," katanya sambil mengulurkan tangan ke arah Ben. Sepertinya Ben masih terbius dengan lamunannya. Dia hanya menatap ke tangan Adian yang terulur. Adian tetap sabar. Dia tahu, momen ini penting.

"Ben ini temanku sejak SD," Kimaya terkesan membiarkan tangan Adian terulur. Kayak sudah biasa menghadapi Ben yang suka melamun. "Dia satu band dengan Yuda."

Mendengar kata Yuda, dua cowok itu bersamaan menoleh ke arah Kimaya. Keduanya ternyata sama-sama mempunyai makna dan hubungan antara Yuda dan Kimaya. Lalu seperti tersadar, Ben segera menyambut uluran tangan Adian.

"Sorry," kata Ben serak. "Yuda yang menciptakan lagu ini. Buat Kimaya. Bikinnya bareng sama aku. Eh, dia menciptakan sendiri tapi ketika di studio, aku temani hingga jadi."

"Oh," lidah Adian kelu. Dia merasa kalah dan tak berdaya. Kemudian, dia beranjak menjauh dari sisi panggung, merasa tidak berhak dia antara mereka berdua. Dilihatnya Kimaya dan Ben mengobrol pelan, mendiskusikan tentang setting panggung. Kimaya tidak terlihat terusik lagi dengan lagu tadi.

Adian lega, sampai menjelang pulang, Kimaya ke sana kemari seakan tidak ada linangan air mata dari lagu tadi. Cewek itu hilir mudik bersama Mona dan beberapa kru sound system dan perlengkapan. Setting tempat duduk sudah siap. Alat-alat musik lengkap baru akan datang besok pagi. Sudah ada yang mengantar dan menerima.

"Mari pulang, kamu pasti capek," ajak Kimaya sambil menggandeng lengan Adian. Cowok itu sedari tadi hanya diam memperhatikan segala tingkah laku Kimaya.

"Kim, kamu baik-baik saja?" tak sabar Adian ingin tahu yang sebenarnya.

"Hm, akan baik-baik saja bila acara ini sudah usai besok malam," katanya sambil tersenyum. Adian menyerah.

Di mobil, Kimaya sibuk dengan HPnya. Adian penasaran, apalagi yang dikerjakan cewek itu.

"Ini, aku janjian sama Tommy buat kasih tiketnya besok. Dia mau datang katanya. Aku minta ambil di resepsionis cafe. Takutnya dia nggak jadi datang," Kimaya menjelaskan panjang lebar dan dengan tenang. Tommy?

"Tommy yang tadi pagi datang bawa bunga?" tanya Adian menyelidik.

"Tidak, dia tidak bawa bunga," Kimaya menjawab dengan heran.

"Oh, aku lihat di jok belakang, ada buket bunga, aku kira mau dikasihkan ke kamu," Adian masih ingin memancing.

"Aku tidak tahu," Kimaya menjawab tanpa melepaskan pandangannya ke HP. "Nih, Tommy memastikan akan datang."

"Kok kamu terdengar ragu?"

"Sejauh yang aku kenal, dia tidak suka menonton musik. Heran saja tiba-tiba dia muncul di cafe itu. Mau juga aku tawarin VVIP," jelas Kimaya. Adian mulai curiga.

"Kita lihat saja nanti," celetuk Adian yang sedikit cemas.

---

Setelah makan siang, bertiga, Kimaya, Mona dan Adian menuju cafe di Ubud. Acara akan dimulai pukul delapan malam. Mona segera membagi tugas dengan kru lain, dan Adian juga mendapat bagian untuk pengecekan tiket.

Di depan bersama kru yang lain, Adian menempatkan diri di dekat pintu masuk. Dilihatnya banyak orang sudah mengantri. Cafe ini dibagi dua, ada sisi depan yang dipakai untuk restoran dan pengunjung umum. Di bagian belakang berpintu dan ber-AC untuk pementasan dengan pengunjung yang terbatas. Pakai tiket tadi. Makan malam sudah termasuk dalam tiket.

Satu orang cukup menonjol di antrian. Tommy. Tinggi dengan pakaian yang modis seperti model. Adian menelan ludahnya, merasa ada pesaing yang cukup berat, eh tinggi.

Tommy sudah membawa tiket yang diambilnya dari resepsionis di depan. Dia mengenali Adian ketika mendekat di depannya.

"Hey," sapa Tommy kaku. 

"Silakan masuk," Adian menjawab formal.

Tommy merasa tidak nyaman ketika melihat Adian sebagai bagian dari panitia. Apalagi melihat Adian memakai kaos kru, yang juga dipakai beberapa orang di situ. Tapi dia segera mencari sosok Kimaya, itu lebih penting.

"Kim," Tommy agak berteriak. Dia tidak mau kehilangan cewek itu yang lalu lalang di depan dan belakang panggung. Kimaya hanya melambai dan mengacungkan jempolnya. Aku tidak boleh mengganggunya, pikir Tommy.

Para pemain musik satu demi satu naik ke panggung. Memainkan lagu yang cukup dikenal. Satu demi satu saling menyahut sesuai selera petikan gitar dan piano sendiri. Satu lagu pop mengawali, kemudian perlahan berubah menjadi pop jazz.

Tommy heran sendiri, dia bisa menikmati pertunjukan yang  sebelumnya menurutnya aneh.

Setelah jeda 10 menit. Panggung gelap lalu ada satu sorot lampu di tengah, menyinari Ben yang duduk di kursi tinggi dengan satu gitar yang mengkilat. Tommy melihat berkeliling mencari Kimaya.

Mata Tommy terhenti pada Kimaya yang menatap Ben dengan serius. Satu sosok mendekatinya. Hah, cowok tadi yang di depan, batinnya.

Ketika petikan lagu mulai mengalun, lagu asing buat Tommy tapi indah di kupingnya, satu sinar redup memperlihatkan Kimaya yang memeluk Adian. Sedetik kemudian, mereka bergerak menghilang di kegelapan.

Tommy merasa kehilangan. Dia menuju ke arah di mana Kimaya tadi berdiri, namun seseorang menghalanginya. Hanya untuk kru katanya. Tak ada pilihan lain, Tommy pergi keluar cafe untuk mencari Kimaya.

"Are you okay?" terdengar suara cowok di balik tembok dekat parkiran. Mengintip sedikit, Tommy akhirnya menemukan Kimaya yang sedang berhadapan dengan cowok tadi. Sebenarnya dia tidak ingin menguping, karena dia percaya kalau menguping endingnya sakit hati. Tapi rasa penasarannya mengalahkan prinsipnya.

"Yuda ...," terdengar Kimaya menyebut sebuah nama yang dilanjutkan dengan isakan.

"Kim, aku nggak ngerti kenapa kamu minta lagu itu di jamming ini? Bukannya jamming itu terserah musisinya? Kamu kayak nggak inget saja, Yuda sudah bikin kamu gimana?" kata-kata suara cowok tadi mengagetkan Tommy. Dia semakin ingin menguping dengan jelas.

"Ben sama teman-teman lain pengin bikin kenangan buat Yuda. Dia yang menginspirasi mereka buat main musik. Sekarang ini kan bulan Yuda ulang tahun juga ...," Kimaya terkesan ingin membela diri. Siapa Yuda ini? Batin Tommy. 

"Lalu sekarang mau kamu gimana?" cowok tadi terdengar menahan kesabaran. "Mau nerusin nangis? Kalau gitu, aku balik aja dulu. Sampai ketemu di rumah."

"Di, temenin aku ... kamu kan selalu nemenin aku ...," isak Kimaya semakin menjadi. Tommy jadi geram dengan cowok itu. Kalau dia di posisi cowok itu, pasti mau nemenin Kimaya sampai kapan pun.

"Nggak ada gunanya nemenin kamu nangis ...," cowok tadi berkata dengan tegas, diikuti langkah kaki menjauh. Kimaya beberapa kali memanggil nama cowok itu, sepertinya sia-sia. Tommy bingung mau bagaimana.

"Kim ...," akhirnya Tommy memberanikan diri muncul di depan Kimaya yang sedang menangis.

"Eh, Tom ...," Kimaya kaget lalu sibuk membersihkan mukanya dengan lengan kaosnya. Cewek itu berubah tegas dan kuat, tangisnya selesai. Tommy heran banget dengan perubahan drastis ini.

"Kamu kenapa?" tanya Tommy lembut dan mendekat ke arah Kimaya. Tak dinyana cewek itu malah melangkah ke belakang, menjauh. Tommy tersekat, kenapa dia membuat jarak?

"Nggak papa, urusan jamming. Udah kelar, kok. Eh, kamu dapat tempat duduk, kan? Yuk, masuk lagi, penutupnya ditunggu-tunggu audiens tuh, keren banget ...," suara Kimaya sangat berbeda dengan sebelumnya ketika bersama cowok tadi. 

Mengapa kamu tidak mau terlihat lemah di depanku, Kim? Tommy mengeluh dalam hati.

+++

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun