Mona belum tidur ketika Kimaya diantar Adian pulang, lewat tengah malam. Dia tidak menunggu sahabatnya itu, hanya lembur saja, tapi sempat terlintas kepikiran Kimaya yang sedang kalut.
"Hey, what's going on?" pekik Mona ketika dia melihat keduanya masuk ke pintu rumah dengan Adian merangkulnya. "Are you okay?"
Mona memang kurang sensitif dengan perubahan mimik muka Kimaya. Sahabatnya itu masuk dengan senyum merekah. Pikiran Mona masih di kondisi Kimaya yang kalut sebelum pergi. Rasa bersalah tingkat dewa.
Pertanyaan Mona membuat pipi Kimaya memerah. Dia menyadari, pintu yang dibuka oleh Adian ini bermakna besar. Pintu ke arah masa depan yang berbeda. Masuk ke dunia yang lain dari sebelumnya. Dunia tanpa Yuda. Dunia dengan Adian.
"Di?" sapa Kimaya lembut. Adian juga terlihat tercenung dengan pertanyaan Mona. Dia juga merasakan perubahan aura Kimaya semenjak berjalan tadi. Apalagi ini masuk ke rumah tempat tinggal Kimaya selama ini tapi dengan suasana yang berbeda. Adian terbatuk lalu melepaskan rangkulannya.
"Aku pulang dulu," pamit Adian kepada Kimaya yang terlihat energinya sangat positif. Cowok itu ikhlas meninggalkan Kimaya yang kondisinya semakin membaik.Â
"Loh, kok buru-buru?" Mona langsung merasakan hatinya berlobang, kehilangan Adian, walau dia tahu harapan pun tak pernah ada. Pertanyaannya hanya dijawab senyuman oleh Adian. Hati Mona terisi penuh kembali. Terlalu mudah ini, batin Mona.
"Thanks, Di," Kimaya melambaikan tangannya dan langsung masuk ke kamar. Dia mau mandi air hangat dan tidur. Hari ini terlalu melelahkan. Mona kembali ke laptopnya, sendirian.
---
Pagi-pagi Adian sudah muncul di depan teras sambil membawa banyak bubur ayam. Kimaya menyambutnya dengan tertawa ngakak.
"Kan kamu pasti makan lebih dari satu porsi?" kata Adian polos. Mona yang sudah berdandan sebelum menemui Adian pun meraih bungkusan bubur ayam itu dengan bahagia. Dia senang mood Kimaya baik, walau dengan pasti dia akan kehilangan Adian.
"Antar aku ke tempat favorit kamu dong, sebelum aku balik ke Jogja," kata Adian kepada Kimaya. Tapi Mona yang menyahut siap. Kimaya tertawa lagi untuk kesekian kalinya. Adian senang, pagi ini sudah lebih dari sepuluh kali dia mendengar Kimaya tertawa meledak. Sungguh sudah berbeda.
"Bertiga ...," tambah Adian yang merasa tidak enak pada Mona. Dia sebenarnya hanya ingin mengobrol dengan Kimaya yang baru. Sebelum dia balik ke Jogja dan entah kapan ketemu sahabatnya lagi.
"Legian atau Seminyak," kata Kimaya sambil lalu. Seminyak! Pekik kemerdekaan Mona. Dia suka sekali jalan-jalan di Seminyak karena banyak toko butik dan asesoris. Tapi hanya sightseeing saja. Duit dia terikat erat di dompet.
Kimaya juga ingin menghabiskan waktu hari ini dengan Adian, maka Seminyak adalah lokasi paling tepat untuk memberi kesibukan pada Mona. Sahabatnya itu rela ditinggal sendirian di tengah pertokoan.Â
---
Adian menyewa mobil lain, tidak Jeep CJ-7 lagi. Dia ingin mendukung lembar hidup baru Kimaya yang sudah lepas dari bayang-bayang Yuda, lepas dari kenangan mobil jeep itu. Kimaya pun tidak berkomentar ketika memasuki mobil itu, hanya saja dia duduk di belakang, membiarkan Mona di kursi penumpang di sebelah Adian.
"Masak Adian dijadikan sopir, kamu gimana sih, Kim?" kata Mona dengan hati senang. Dia paham Kimaya memberinya kesempatan bersama Adian sebelum cowok itu pergi.
"Aku masih mengantuk ...," ujar Kimaya. Kaki dia selonjorkan dan bersiap tidur. Sebelum memejamkan matanya, dia bertatapan dengan Adian di kaca spion sopir. Kimaya tersenyum. Adian juga. Beres.
Ternyata makan dua porsi bubur ayam membuat Kimaya tertidur nyenyak, didongengin suara meriah Mona bersama Adian. Suara yang membuatnya nyaman dan damai.
Seminyak hanya sejam dari rumah Kimaya. Namun cukup untuk membuatnya segar kembali setelah tidur berkualitas tinggi di jok belakang.
"Mona mana?" Kimaya terbangun karena mesin mobil mati.
"Belanja," sahut Adian dari kursi sopir. "Ayo keluar, mobil sudah panas nih."
Kimaya tahu Adian paling tidak tahan dengan panasnya Bali. AC mobil yang dimatikan adalah momok terburuknya.
Berdua berjalan di sepanjang toko yang satu demi satu buka. Cowok itu memberanikan diri menggandeng tangan Kimaya. Dia ingin memuaskan kebersamaannya dengan cewek ini semaksimal mungkin. Tak dinyana Kimaya berhenti berjalan dan menatapnya. Lalu tersenyum.
"Nggak papa, kan, begini?" Adian dengan polos bertanya pada Kimaya sambil menunjukkan genggamannya. Sahabatnya ini hanya membalas dengan jempol tangan satunya. Adian senang.
"Kapan kita ketemu lagi, Kim?" kata Adian sambil menatap ke depan. Dia tidak berani menoleh ke Kimaya. Tidak tahu apa yang akan dikatakan Kimaya Baru ini.
"Aku ikut kamu ke Jogja, bagaimana?" jawab Kimaya ringan. Di benaknya sudah ada agenda berkelebat mau ke sana kemari. Dengan Adian.
Cowok itu terbatuk kaget tapi senang. Diajaknya Kimaya duduk di bawah pohon rindang di samping trotoar, untuk pesan tiket esok hari dengan penerbangan yang sama.
"Aku masih ada libur seminggu sebelum kegiatan kampus dimulai," Kimaya mulai menjelaskan semua rencananya. "Kamu kasih agendamu dong, nanti aku sesuaikan."
Adian hanya tersenyum-senyum. Seperti mendapat durian runtuh, bangun tadi pagi dia sudah merasakan aura perpisahan tapi menjelang siang malah mendapatkan tiket bersama Kimaya. Semua agenda seminggu ke depan dia sapu bersih.
"Ini tidak perlu beli tiket untuk Mona, kan?" tanya Adian pelan, disambut ledakan tawa Kimaya.
"Kamu tahu enggak sih kalau Mona suka sama kamu?" mata Kimaya menggoda Adian. Cowok itu terbatuk lagi.
"Wuaaah ... kamu terlalu sering jadi idola ya, sampai tidak sesensitif itu?" tegur Kimaya sambil geleng-geleng kepala.Â
"Tiket tinggal satu slot, untuk satu orang," jawab Adian, masih dengan suara pelan. Kimaya tertawa lagi lalu menepuk-nepuk pundak Adian, seakan ingin menenangkan. Adian tersenyum.
---
Di atas pesawat, Adian masih saja heran, "Kamu hanya bawa tas sekecil itu? Ini Jogja loh, Kim."
"Balik nanti aku bawa koper besar isi oleh-oleh. Kamu tuh nggak pernah mikirin teman, Jogja kan banyak suvenir yang nggak ada di Bali. Mau buat model teman yang bisnis cinderamata. Mona juga nitip banyak batik," cerocos Kimaya yang sangat dinikmati oleh Adian.
Tak lama Kimaya tertidur karena penerbangan terlalu pagi buat dia. Adian menyediakan bahunya untuk sandaran Kimaya yang disambut dengan ringan.
Mendarat di Jogja malah membutuhkan waktu sekitar dua jam sampai ke rumah Kimaya, dua kali lebih lama dari penerbangan Bali ke Jogja.Â
"Di, nanti aku dikenalin ke cewek kamu, ya? Jangan sampai dia cemburu kalau aku main sama kamu," tiba-tiba saja Kimaya membuka percakapan serius. Adian terbatuk.
"Kamu baru sakit batuk, ya, Di? Dari kemarin aku dengar kamu batuk terus?" Kimaya masih belum paham kata-katanya berpengaruh besar pada mental Adian.
"Karena aku masih jomblo! Bukan karena aku sakit batuk!" jawab Adian kesal. Kimaya terbahak. Adian ikhlas.
"Ya udah, kalau kita berduaan jadi aman, kan? Nggak ada yang marah?" tegas Kimaya.
Adian mengangguk senang.
+++
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H