Adian salah tingkah ketika akhirnya tahu bahwa dia salah pinjam mobil dan salah pilih lokasi nongkrong dengan Kimaya. Semua itu membawa kenangan buruk tentang Yuda yang sudah tiada. Kimaya masih saja terus merasa bersalah.
"Kim, kita balik saja ke rumah, yuk," kata Adian dengan lembut. Kimaya menurut dengan badan masih lemah, dibimbing Adian masuk ke mobil. Dahinya terasa agak hangat, Kimaya demam.
Ketika hampir sampai ke rumah, Kimaya meminta Adian berhenti di depan sebuah restoran kecil. Tempatnya sangat ciamik, agak gelap tapi artistik dengan permainan lampu vintage warna kalem kekuningan. Angin berhembus perlahan, membunyikan lonceng-lonceng kecil yang tergantung di pohon.
"Tempatnya asik," komentar Adian dengan mata berbinar. Dia selalu suka dengan lokasi baru yang agak misterius tapi membawa suasana hangat. Kimaya tidak berkomentar, dia langsung keluar dari mobil, meninggalkan Adian dan mencari salah satu sudut di dekat lampu-lampu kecil. Cewek itu terlihat mengesankan dengan rambut yang sedikit berantakan, batin Adian.
"Pesan apa?" tanya Adian dengan sabar karena Kimaya hanya bersandar di sofa dengan mata terpejam. Lalu cowok itu menyerah,"Oke, seperti biasanya, ya?"
Dua lemon tea hangat tanpa gula mendarat di meja dengan cepat. Disambung dengan camilan pisang goreng dan ubi rebus. French fries tidak ketinggalan ikutan. Resto ini sangat multikultur.
Adian menyibukkan diri dengan camilan yang menggunung itu. Dia heran sendiri, nasi padang dinner tadi sudah tidak bersisa di perutnya. Dia lapar dengan kejadian mental dan fisik dengan Kimaya di cafe sebelumnya. Yuda, katanya dalam hati, kamu tanggung jawab dong.
"Kim, pernahkah kamu menulis surat untuk Yuda?" Adian mencoba dengan lembut membuka percakapan. Dia tidak pernah tahu apa efek nama Yuda saat ini ke Kimaya. Dia harus mencobanya.
"Belum," jawab Kimaya dengan serak. Lemon teanya belum diminum rupanya.
"Coba tulis," Adian lenyap ke dalam resto untuk minta kertas dan pena ke waiternya. Semua tersedia dalam sekejap. Mata Kimaya masih terpejam erat.
"Ini," bunyi kertas dan pena yang diklik membuat mata Kimaya membuka perlahan. Adian malah takut cewek ini tertidur di sofa nyaman itu. "Minum dulu tapi, entar dingin."
"Kamu saja yang nulis," kata Kimaya, kembali bersandar dan memejamkan matanya setelah minum seteguk.
"Oke, Dear Yuda ...," Adian memulai dengan menggunakan papan menu sebagai dasar.
"Heh, kamu tulis yang aku bilang!" sergah Kimaya tiba-tiba sambil duduk dengan tegak. "Kamu tidak tahu Yuda!"
Adian hanya menjawab dengan melempar senyum, yang kualitasnya pasti membuat Mona lemas tapi tidak mau pingsan. Sayangnya Kimaya tidak melihat itu, dia menatap Adian tapi di benaknya hanya ada kata-kata yang ingin dia ungkap ke almarhum sahabatnya itu.
"Yuda ... sorry," dua kata itu saja sudah membuat Kimaya terisak lagi. Adian langsung panik. Ditaruhnya papan untuk menulis tadi.
"Hey, teruskan," kata Kimaya serak. "Aku nggak papa. Biar saja aku menangis. Kamu tetap nulis."
Adian hanya sanggup mengangguk dan meneruskan menulis. "Lalu?"
"Yud, sorry, aku mengecewakan kamu. Aku tahu aku selalu bikin kamu kecewa. Bahkan sampai detik terakhir sebelum kamu pergi ...," isak Kimaya semakin keras. Adian tetap menulis sambil sesekali melihat kondisi Kimaya.
"Bahkan ...," lanjutnya. "Tante Nuk pun kecewa sama aku. So sorry, Yuda. Sorry juga aku masih belum bisa melupakan kamu. Pasti bikin kamu berat sampai ke surga, kan? Atau ... aku sebenarnya tidak berarti untuk kamu? ... Wait! Katanya, orang meninggal itu sudah tidak merasakan apapun, termasuk kecewa dan marah."
Adian mendongak karena merasakan nada bicara Kimaya berubah. Dia lihat cewek itu duduk dengan tegak dan muka sedikit bingung. Tapi sudah tidak terisak lagi.
"Wait ...," tangan Kimaya melambai-lambai di depan Adian. "Itu jangan ditulis. Aku mau ngomong sama kamu, Di."
"Ya, okay," Adian meletakkan papan dan pena di meja. Dia punya kesempatan menyeruput lemon tea yang hampir dingin karena ditambah udara malam yang menyelimuti. Walau Bali masih panas suhunya buat dia.
"Di, aku belum pernah ngomong kayak di surat itu. Jadi ingat omongan orang-orang. Orang mati ya mati. Sudah. Selesai semua tanggung jawab di dunia. Dia beristirahat. Tidur. Nyaman. Yuda gitu juga, kan, Adian?" tanya Kimaya dengan harapan yang cukup besar.
Adian tidak tahu omongan orang yang dimaksud Kimaya. Tapi dia tahu, temannya ini membutuhkan afirmasi bahwa yang didengarnya itu benar. Dan omongan itu Adian tahu, akan menyelamatkan jiwa Kimaya yang sampai saat ini mungkin masih merasa bersalah.
"Iya, Kim. Almarhum tidak akan memikirkan apa-apa. Beristirahat," tegas Adian tapi dengan kelembutan yang tiada tara karena dia yakin kata-katanya memberikan makna yang mendalam saat ini.
Tidak dinyana dia melihat senyum Kimaya merekah. Sangat cantik dengan rambut berantakan dan ditimpa pendar lampu di kanan kirinya. Adian tertular ikutan tersenyum.
Kimaya mengambil kertas yang tadi ditulisi cowok itu. Di sebelah meja ada ornamen lampu minyak yang menyala. Kertas itu dibakarnya. Kemudian dia lambungkan ke atas dan tiba-tiba saja ada angin berhembus, membakar kertas itu dengan cepat. Menghitam dan habis terbakar. Kertas lembut hitam itu melayang ke arah bebatuan di samping meja mereka.
"Aku lega, Di," Kimaya menatap kertas hitam itu dengan senyuman yang sama. Adian mengakui dalam hati, dia lebih lega.
"Aku nggak akan mengganggu Yuda lagi," lalu Kimaya menoleh dan menatap ke arah Adian, membuat cowok itu terkesiap kaget.
Tangan Kimaya menepuk-nepuk tangan Yuda yang ada di meja, seakan mau mengucapkan terima kasih. Adian hanya bisa mengangguk.
"Thanks," lalu Kimaya minum lemon teanya sampai habis.
Adian perlahan berdiri di depan Kimaya. Cewek itu hanya menatap heran.
"Hug?" kata Adian sambil membuka kedua tangannya lebar-lebar. Dia sudah kepalang basah, terlalu ingin memeluk Kimaya di suasana yang menurutnya sangat mendukung ini.
Kimaya membuat senyum yang sama dan menyambut tangan Adian yang terbuka. Mereka berpelukan erat.
Adian lega karena Kimaya tidak menolaknya. Kimaya lega karena akhirnya dia bisa mengubah mindsetnya karena Adian. Mona tidak mungkin membuatnya begini.
Satu jam selanjutnya, mereka mengobrol hal-hal ringan, bukan tentang Yuda lagi. Camilan sedikit demi sedikit habis juga. Setelah tandas, Kimaya mengajak Adian balik ke rumah.
"Sebenarnya dekat, aku jalan aja bisa," Kimaya mengubah ajakannya. Kegiatan jalan di malam yang sepi menginspirasi pikirannya.
"Aku temani," Adian segera ke kasir dan menitipkan mobilnya.
Kimaya sudah mendahului jalan ke pintu keluar tapi berhenti di pinggir jalan. Dia menoleh ke belakang, memastikan Adian mengikutinya. Adian tersenyum melihat sikap Kimaya ini. Eh, Kimaya membalas senyumnya. Hati cowok itu menjadi ringan, bahkan ingin melompat-lompat menuju ke arah Kimaya berdiri.
"Dingin," kata Kimaya sambil memasukkan tangannya ke saku jaket.
"Ah, ini kode," sahut Adian sambil merangkul temannya yang bahunya terasa kurus ini. Kimaya hanya tertawa geli tapi menikmati rangkulan cowok itu karena langsung merasakan kehangatan yang diberikan.Â
Hati atau tubuh? Kimaya tidak tertarik untuk memikirkannya.
+++
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H