Walaupun jawaban Adian demikian, Mona sudah kehilangan harapan untuk mendapat perhatian dari cowok itu. Kimaya prioritasnya dan dia melihat Adian juga menempatkan Kimaya paling penting di hidupnya. Mana yang lebih penting, sahabat atau kekasih? Selama Mona hidup, jawaban sempurna adalah sahabat. Okelah kalau begitu, pikir Mona, kita bertiga bersahabat.
Kimaya keluar dari kamar mandi dengan penampilan yang lebih lumayan. Bajunya sedikit basah. Mungkin karena dia tadi mencuci mukanya karena make up yang belepotan.
"Makan yuk," kata Adian seakan tidak ada apa-apa. Mona mulai mengenali gaya hubungan kedua manusia aneh itu.
Kimaya menuju ke dapur kecil mereka, mengambil piring dan alat makan, sejumlah tiga. "Mona kamu belikan juga, kan?" tanyanya kepada Adian tanpa melihat ke arah cowok itu.
"Untungnya," kata Adian sambil mengedipkan mata ke Mona. Cewek itu kehilangan sedetak jantungnya. Sabar Mona, dia buat Kimaya.
Bertiga makan, kembali dengan suasana 'tidak ada apa-apa sebelumnya'. Mona akhirnya terbiasa dengan pembiacaraan Adian dan Kimaya yang kesana kemari.
"Kim, antar aku ke cafe tempat temanku dong, aku tidak paham denahnya," sahut Adian setelah mereka bertiga berebut mencuci piring yang akhirnya Mona menang - mendapatkan kesempatan mencuci piring semuanya - yang akhirnya disesali oleh Mona karena dengan demikian ada kesempatan Kimaya pergi dengan Adian.
Adian menyewa mobil jeep tua yang mesinnya masih halus. Dia sibuk mengatur google maps di handphonenya ketika mendengar Kimaya terisak.
"Kenapa kamu, Kim?" Adian cukup bingung dengan perilaku Kimaya yang sangat berbeda dibandingkan ketika SMA. Tapi semakin membuatnya penasaran. Kimaya penuh misteri sejak dia kenal dengannya.
"Sudah, jalan saja," isak Kimaya mereda tapi dia membuang muka ke arah luar jendela mobil, dan selalu diam tanpa kata ketika Adian bertanya arah jalan. Hanya tangannya yang menunjuk kanan kiri.
Akhirnya mereka sampai di cafe teman Adian. Tiba-tiba tangis Kimaya meledak, sedetik setelah dia keluar dari mobil.