Mohon tunggu...
R.A. Vita Astuti
R.A. Vita Astuti Mohon Tunggu... Dosen - IG @v4vita | @ravita.nat | @svasti.lakshmi

Edukator dan penulis #uajy

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Membantu Kimaya

5 Juni 2023   20:54 Diperbarui: 5 Juni 2023   20:59 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertaruhan Kimaya

Setelah hatinya hancur bertemu ibu Yuda yang menganggap dia yang membuat cowok itu tiada, Kimaya hanya kuat semalam tinggal bersama keluarganya di Jogja. Pagi-pagi subuh dia sudah lari ke bandara untuk kembali ke Bali, mendekati roh Yuda yang terakhir hidup di sana.

Dia tidak menghubungi siapapun, termasuk Mona. Dia ingin sendiri untuk menghadapi kenyataan bahwa Jogja bukan lagi pilihan yang menyenangkan. Yuda sudah menjadi kutukan di kota itu. Kimaya sudah sign out dari Jogja selamanya. Bali adalah hidupnya.

Baca juga: Pertaruhan Kimaya

Siang sampai di rumah kontrakan, Kimaya tidak bertemu siapapun. Lega. Mona pasti sudah sibuk di kampus, pikirnya. Itu yang dia inginkan. Semua jendela dia tutup. Isi rumah gelap, dia nyalakan musik lembut. Meditasinya dimulai, berharap bertemu Yuda dalam imajinasinya.

Tiba-tiba suara barang-barang berjatuhan membangunkannya dari ketenangan. Ternyata Kimaya tertidur. Mentalnya terlalu lelah untuk bermeditasi.

"Ini rumah kok gelap banget!" suara Mona memecahkan keheningan dan kegelapan ketika semua korden jendela dan pintu-pintu dibuka. Menghembuskan hawa hangat Bali yang ramah. Kimaya tersenyum. Yuda ada dalam hawa itu.

"Tadi sepertinya tidak begini," suara berat cowok membuat perut Kimaya mengkerut. Mona membawa cowok ke rumah? Dia harus pergi sebelum bertemu mereka. Pikiran mencari jalan keluar berkelebatan seperti maling yang tidak mau ketahuan pemilik rumah.

"Pasti Kimaya sudah pulang," bisikan Mona ternyata sampai di kupingnya. Wah, ketahuan. Kimaya lalu berpura-pura tidur di kamarnya yang masih gelap.

Baca juga: Bertemu Mona

Pintu kamarnya terdengar dibuka perlahan. Mona sangat paham kalau sahabatnya butuh tidur, dia tidak mau membangunkannya walau tadi kursi dan meja sudah ribut berjatuhan ditabraknya karena rumah gelap.

Pintu terdengar ditutup kembali. Kimaya tidak mendengar helaan napas dan suara apapun di dalam kamarnya. Mona pasti tidak masuk ke kamar. Dia duduk dan menunggu semua orang pergi. Cowok itu pasti tidak akan lama.

"Mau minum apa?" terdengar Mona menawarkan ke cowok itu dari arah dapur. Wah, mereka tidak segera pergi? Kimaya pusing. Lalu daripada terpenjara di kamarnya sendiri, dia memutuskan untuk keluar dan berharap semua kesedihannya menghilang dengan hadirnya Mona.

"Kimaya?" suara cowok itu segera masuk ke telinganya ketika dia keluar kamar dan merasa silau dengan sinar siang dari beberapa jendela. Suaranya familiar, tapi siapa?

"Aku Adian," suara berat itu kembali bergema di telinganya. "Kamu lupa? Kita bertemu di bandara beberapa hari lalu."

"Ngapain kamu di sini?" walau bingung Kimaya tidak ingin harga dirinya terbanting oleh Adian musuh bebuyutannya di SMA. Walau cowok itu tidak pernah mengakuinya.

"Berharap ketemu kamu," suara itu mendekat. Mata Kimaya sudah agak terbiasa dengan cahaya ruangan. Ada tubuh cowok yang tinggi atletis, dan berbau wangi. Senyumnya cerah dan sangat familiar, sekali lagi. Iya, Adian yang dulu.

"Oh," jawab Kimaya singkat. Dia lalu menuju dapur untuk ambil minum. Tiba-tiba saja tenggorokannya terasa kering.

Mendadak Kimaya menyadari kalau Mona sudah menghilang entah ke mana. Hanya tinggal dia dan Adian di ruangan itu. Mungkin Mona di kamarnya, batinnya. 

"Kamu sudah lama sampai?" Adian seperti ingin mengajak mengobrol santai. Kimaya belum siap, hatinya masih lelah.

"Masih capek," jawaban singkatnya diharapkan dipahami oleh Adian bahwa Kimaya tidak ingin bertemu dengannya.

"Okay, istirahatlah dulu, mau tidur lagi?" tanya Adian yang sangat tidak diduga oleh Kimaya. Aku pikir dia ingin menahanku buat ngobrol lama. Hmm, kayaknya tidak sopan kalau aku tidak ramah sama dia.

"Ah, udah nggak ngantuk lagi, yuk duduk di sofa itu, paling nyaman buat nyantai," ajak Kimaya dengan kesadaran tinggi. Adian tersenyum lega. Dia lalu mengambil cangkir kopinya yang belum sempat diminum.

"Kamu mau berapa lama di Bali?" Kimaya ingin menunjukkan sebagai pemilik rumah yang baik.

"Sekitar sebulan, tergantung kelancaran proyek," jawab Adian singkat. Dia lebih ingin mendengarkan cerita dari sisi cewek ini. "Apa kabarmu selama ini? Aku hilang kontak dan hilang ceritamu."

"Yah, Bali tempat yang sempurna buat kuliah. Capek tugas, tinggal ke pantai atau ke gunung, perfectlah," Kimaya ingin beri kesan yang baik dan bahagia di depan Adian.

"Sekarang kamu kelihatan capek, mau ke gunung? Antar aku dan tunjukin tempat favoritmu?" Adian mencobai peruntungannya. Dia ingin selama mungkin bersama Kimaya. Cerita cewek ini belumlah lengkap.

"Ke desa adat saja, yuk," tiba-tiba Kimaya rindu mengobrol panjang dengan Adian, pesaingnya dulu, taruhan senilai sejuta di waktu SMA. Adian teman yang mahal.

Di perjalanan, Kimaya hanya terdiam dalam mobil sewaan Adian. Cowok itu sepertinya membiarkan Kimaya beristirahat dengan kecamuk dalam pikirannya. Adian sendiri sudah merasa senang dalam satu ruangan kecil di mobil hanya berdua dengan Kimaya. Ah, tidak, aku tidak punya rasa apapun sama Kimaya. Aku hanya nyaman bersama dia. Kenyamanan yang dulu hilang setelah SMA.

Satu setengah jam perjalanan membawa mereka ke sebuah desa yang di dekat gunung. Adem, pikir Adian. Di mobil, Kimaya akhirnya jatuh tertidur, yang membuat Adian senang karena menunjukkan cewek ini percaya padanya. Setelah menemukan tempat parkir yang teduh, Adian tetap menunggu di dalam mobil sampai Kimaya terbangun.

Mungkin karena ketenangan dalam mobil yang berbeda, walau mesin tetap menyala, Kimaya bergerak dan membuka matanya. Lalu dia tersenyum seperti malu pada Adian.

"Sorry, aku ngantuk banget," katanya minta maaf. "Padahal tadi sudah tidur berjam-jam."

"Nggak papa, asal aku tidak perlu membangunkan kamu aja karena tidur berjam-jam di dalam mobil," jawab Adian santai. Kimaya tergelak. Adian senang.

"Ini kamu tidak ngerjain proyek?" tanya Kimaya heran sembari keluar dari mobil sendiri walau Adian sudah sigap ingin membukakan pintu mobilnya.

"Targetku sudah aku selesaikan kemarin, hari ini aku ambil off ke lapangan, sambil berharap ketemu kamu," Adian menjelaskan panjang lebar, berharap juga Kimaya paham bahwa dia ingin bersama Kimaya dan ini penting.

"Ada apa pengin ketemu aku?" Kimaya menjawab ringan. Pikirannya sudah terbang ke pemandangan desa adat yang ada di kaki gunung. Di hamparan di depannya matahari bersinar cerah tapi tidak panas karena sudah miring ke barat, memberi sirat warna langit yang oranye indah. Kimaya tersenyum melihat keindahan yang ada di depannya. Hijaunya bukit dan oranyenya langit di sisi barat.

"Aku kehilangan kamu, Kim," Adian merasa waktunya tidak banyak. Tidak perlu basa-basi. Dia juga ingin membantu Kimaya untuk melupakan Yuda. Dia ingin menemani sahabatnya ini supaya tidak sedih lagi.

"Aku juga," Kimaya masih menjawab dengan ringan sambil lompat-lompat kecil di jalan setapak menuju tengah-tengah dusun adat yang tidak ramai. Adian menghela napas untuk melepaskan ketegangannya.

"Bolehkah aku sering menemui kamu ketika kerjaanku selesai? Sambil kita cerita-cerita update habis SMA, juga kamu jadi tour guide-ku di Bali ini. Terus terang aku ke Bali hanya dua kali waktu study tour sekolah," Adian terkikik geli. Baru disadarinya Kimaya menatapnya dengan siratan yang tidak bisa ditebak artinya.

"Memangnya aku nggak kuliah?" lalu mata Kimaya terlihat melotot marah. Tapi Adian tahu, sahabatnya ini hanya bercanda. Siratan matanya ramah.

"Aku ngikut kuliahmu, kalau boleh," Adian mencobai peruntungannya. Ternyata Kimaya tergelak mendengar persuasinya.

"Kamu ada apa, sih? Baru tahu juga aku di Bali sekarang ini. Ada apa, Adian?" Kimaya memilih berterus terang daripada muter-muter dengan teman tampan yang dulu diperebutkan cewek satu sekolah.

"Aku tidak mengira ketemu kamu di sini, dan aku kehilangan kamu beberapa tahun ini, kamu tidak pernah muncul di reuni sekolah," Adian sudah merasa kepalang basah. Dengan Kimaya, seingatnya, memang lebih baik tidak usah menutupi apapun. Kalau dia tahu yang sebenarnya dari orang lain. Dunia akan ambruk diserang emosinya.

"Kita lihat besok," lalu Kimaya memimpin berjalan mengelilingi desa adat sambil menyapa sana sini. Adian bisa melihat, penduduk lokal sudah mengenal Kimaya dengan baik. Hatinya tenang.

+++

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun