"Maksud kalian, Kimaya yang kasih pengaruh ke Mona? Jangan bergosip, ah," timpal cowok gondrong tadi.
Adian sudah terlanjur panas. "Kimaya orangnya nggak kayak gitu," katanya sambil berdiri.
"Hey, kamu siapa?" kata cowok bertopi tadi. "Nguping, ya? Nggak kenal, main nyahut aja!"
Lalu cowok itu berdiri mendekati meja Adian. Ternyata cowok itu lebih tinggi dan lebih kekar daripada dia. Tadi dikejauhan terlihat biasa saja. Adian keder juga.
Tiga teman lainnya juga berhenti makan dan ikut berjalan di belakang cowok bertopi tadi, mendekati Adian. Muka mereka sangar. Terlebih mungkin karena ketahuan bergosip. Yang gondrong tetap melanjutkan makannya.
"Kamu bukan mahasiswa sini, kan?" desis cowok bertopi. "Aku nggak mau berkelahi karena cewek, tapi aku tidak suka mulut kamu. Sembarangan saja motong omongan orang. Ayo keluar, kita bicara baik-baik."
Adian tahu, 'bicara baik-baik' itu bukan seperti percakapan aman yang dibayangkannya.Â
"Maaf, Bang, aku teman lama Kimaya," katanya sedikit bergetar karena emosi. Tak tahunya, cowok bertopi itu terbahak,, menggelegar di warung yang sempit itu.
"Ah, teman pengecut!" sergahnya. Dia kecewa Adian tidak sekeras yang diharapkannya. "Ayo, kita balik makan lagi, trus cari penyanyi."
Cowok tadi lalu meninggalkan Adian, teman-temannya yang lain hanya melotot ke arahnya dan kembali ke meja mereka. Lalu mereka melanjutkan percapakan dengan bisik-bisik. Adian tidak dengar apapun dengan jelas.
Tahu tidak ada harapan di warung itu, selesai makan, Adian lalu keluar menuju dalam kampus.
"Hey," ada suara cowok yang memanggilnya di belakang. Adian menoleh, ternyata cowok gondrong tadi.
"Kamu bukan mahasiswa sini kenapa masuk ke kampus? Sendirian lagi," teriaknya sambil mendekat. Adian merasakan nada persahabatan, bukan seperti yang bertopi tadi yang ingin menciptakan permusuhan.