Sementara itu di Sumba, Nael mencoba mencari tahu lebih dalam tentang Osa, sang aktor dan pemain musik, pada manajernya, Iva. Dia kenal Osa sudah sepopuler itu tapi tidak tahu kenapa. Akting dan kualitas musiknya bagus, tapi kepopulerannya mengalahkan seleb senior.
"Va, menurutmu kenapa Osa bisa followers di Instagram jutaan, ya? Dia bahkan tidak pernah membalas komentar-komentar yang ada. Aku juga lihat kamu kadang memberi komentar, dia juga nggak jawab," kata Nael sambil mengecek hasil syuting kemarin.
"Nggak usah sambil garuk-garuk kepala gitu, El, nanti rambutmu rontok loh, karena Osa memang tidak masuk akal," Iva malah menambah kebingungan.
"Kenapa juga kamu memilih Osa sebagai klienmu? Jadi manajer kan juga tidak mudah buat orang selevel Osa, resikonya besar," Nael masih menggaruk-nggaruk kepalanya. Dia tidak habis pikir tentang Osa.
"Dari awal aku sudah pengagum Osa. Jangan ceritakan ke dia ya, nanti dia semakin mempersulit aku," kata Iva cepat-cepat. "Dia pintar memilih naskah film. Peran yang dia terima memang luar biasa, beda dan unik. Dari sisi filmnya bisa booming. Dari sisi perannya menjadi sangat legendaris."
"Iya, aku setuju. Maka aku pilih dia buat kampanye kuda Sumba, sangat tepat buat target yang luas."
"Insting dia bagus untuk pemilihan peran dan naskah cerita," Iva melanjutkan. "Selain dia tampan dan badannya bagus."
"Haha, kamu perhatikan itu juga, ya? Tapi banyak aktor tampan yang tidak sepopuler dia."
"Dia misterius. Cewek suka cowok yang misterius, kan? Keluarga dia dan hubungan cinta dia kan nggak ada yang tahu," Iva memberi informasi tapi kedengeran seperti ngedumel.
"Memangnya kamu tahu hubungan cinta dia?" Nael menatap Iva tajam untuk menilai kejujurannya.
"Aku tidak akan menjawab," Iva menatap ke arah yang jauh. "No comment."
"Ah, karena kamu cemburu, kan, ya?" Nael menggoda Iva supaya dia kesal dan membuka semuanya.
Ternyata Iva diam saja. Nael menyerah.
"Bagaimana dengan cewek pengacara kemarin? Dia dan Osa menghilang bersama. Mereka, hmm, ada hubungan cinta?" Nael memancing dengan topik berbeda.
"Tidak," jawab Iva terlalu cepat. Satu, karena setahu dia demikian. Dua, karena dia menolak pernyataan itu. Kemudian Iva memutuskan untuk menjauh dari Nael, daripada ditanya yang membuka semua tentang Osa dan hatinya juga tertoreh kenyataan yang ada, Osa hanya menganggapnya sebagai manajer yang baik.
"Satu pertanyaan lagi," suara Nael yang mendesak membuat Iva mengurungkan niatnya untuk beranjak dari situ. Nada Nael tidak aman, jangan sampai hubungan kerja mereka terganggu gara-gara perasaan Iva sendiri.
"Osa bukan gay, kan?"
Tak dinyana Iva tidak bisa menahan ledakan tawanya sendiri. Osa gay? Tidak pernah terlintas di benaknya. Mungkin karena dia ingin melihat maskulinitas Osa dan memilikinya. Tapi juga karena Osa terlihat mengagumi perempuan. Eh, Lea, tepatnya. Lea saja.
Tiba-tiba saja tawa Iva terhenti dengan pemikiran terakhirnya. Lea. Ya, dari dulu hingga sekarang, bestie Osa yang perempuan adalah Lea. Dulu dia kira selain dia sendiri. Tapi Osa semakin hari memperjelas garis hidupnya hanyalah sebagai manajer buat penyanyi dan aktor ganteng ini.Â
"Kenapa? Osa beneran gay?"
"Tidak, Nael, setahuku tidak," Iva menjawab dengan yakin walau nadanya mengambang karena diganggu oleh perasaan baru tentang Lea. Jangan-jangan ... dia tidak mau meneruskan asumsi yang menyakiti dirinya sendiri.
"Oh, Osa belum ketemu jodohnya saja," Nael menyimpulkan sendiri sambil pergi ke studio untuk mengedit hasil rekaman syuting terakhir.
Iva sendirian, tercenung. Saat itu dia ingin menelpon Osa untuk mengkonfirmasi perasaannya. Namun dia tahu, dia akan terluka.
+++
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI