Tiga hari ini Lea bukan dirinya, menurut Osa. Dia butuh Lea untuk menemaninya syuting di film dokumenter yang keras ini. Keras dalam naskah yang menguras emosi. Keras dalam fisik dan lapangan di udara terbuka bersama kuda Sumba dan masyarakat sekitar. Dia butuh Lea.
Tapi Lea awalnya sibuk dengan klien-klien Sumba, katanya. Ada kasus pelecehan seksual di Jakarta yang membawanya mencari narasumber dan saksi yang tinggal di Sumba. Jadi tidak sepenuhnya Lea setuju ikut gara-gara Osa butuh dia.
Setelah Lea mengatakan bahwa Sumba mengingatkan memori sedih tentang seseorang, cewek itu terasa jauh.Â
Memang dulu ketika bersama Osa, dia tidak sepenuhnya mendengarkan cowok itu bercerita - namun Lea masih tahu apa yang diceritakan. Tapi saat ini, setiap dia menemukan Lea melamun, cewek itu seperti tidak tersentuh lagi.
"Lea, kita butuh bicara," kata Osa.
"Bicara saja, dari dulu kamu kalau mau bicara tanpa minta ijin begini," jawab Lea sambil mengaduk jus alpukatnya. Tapi setelah itu perhatian Lea terbang entah ke mana karena Osa memanggilnya sampai tiga kali, cewek itu masih belum berhenti mengaduk jusnya dan tidak menjawabnya.
Osa menyentuh lengan Lea pelan. Cewek itu tersedak, seperti terkejut.Â
"Okay," Osa meraih kunci mobilnya dan menarik tangan Lea di meja. "Kita pergi."
"Ke mana, Os? Minumku belum habis," Lea paling tidak senang memesan minum atau makan disisakan. Namun Osa tidak bisa ditawar lagi.
"Kita mau ke mana, Os?" Lea mulai bingung ketika Osa membawa mobil menjauh dari arah pondok tempat syuting. Arah ini belum pernah dia lewati selama beberapa hari di Sumba.
"Bikin memori, kita berdua akan bikin memori baru," kata Osa serius tanpa memandang ke arah Lea. "Aku ingin kamu melupakan apapun yang bikin kamu sedih di masa lalu. Biar kamu meninggalkan Sumba hanya ingat tentang kita, tentang sesuatu yang bikin kamu senang. Kita ke pantai, kamu kan senang ke pantai, Lea?"
"Berhenti, Osa," Lea tiba-tiba merasa sesak. Osa melakukan sesuatu yang tidak diduganya. "Kamu tidak perlu melakukan ini. Udah, kita kembali ke pondok, jangan sampai Iva menelponku."
"Aku akan berhenti dan kembali kalau kamu berjanji tidak akan melamun lagi," Osa sempat memandang ke arah Lea ketika mereka berhenti di lampu merah. Dia lihat wajah Lea geram padanya.
"Itu bukan urusanmu, Osa. Bukan tanggung jawabmu. Aku mau melamun atau senang, itu hidupku. Kembali, Osa," Lea mulai marah. Entah dia mulai merasa tidak nyaman dan gerah. Dia ingin sendiri, ingin hanyut dalam pikirannya sendiri yang dihadirkan oleh Sumba dan suasananya.Â
"Tidak bisa," Osa keras kepala. Mobil dia bawa jalan terus, melanjutkan perjalanan ke pantai di Sumba yang menurutnya paling indah. Dia sudah sering syuting di Sumba dan pantai ini membuatnya merasa di dunia lain, membuatnya refresh karena sudah mendapatkan hiburan.
Tiba-tiba Osa merasa aneh. Lea diam saja, tidak ada suara di sampingnya. Mobil dia pelankan ketika jalanan sepi, dia lihat di belakang tidak ada kendaraan lain, Osa menoleh ke samping, ke arah Lea.
"Kamu menangis?" Osa kaget setengah mati. Selama ini dia hanya mengenal Lea yang selalu riang, atau pahitnya marah, bukan sedih dan menangis. Dia lihat ada aliran air mata berlinang di pipi Lea, berkilat kena cahaya lampu jalan.
Akhirnya Osa menepikan mobilnya. Dia tidak lagi marah, tapi cemas dan khawatir pada kondisi Lea. Dia menyesal telah memaksa cewek itu untuk ikut ke Sumba. Bisa-bisa cita-citanya untuk mengubah memori Lea bisa gagal total atau malah menambah memori buruk.
Anehnya, Lea tidak terisak tapi linangan air mata sepertinya deras mengalir dan sama sekali tidak ada usaha Lea untuk menghapusnya. Pandangan cewek itu dari tadi ke arah luar jendela mobil. Osa bingung harus ngapain. Cewek itu tetap diam.
"Lea," Osa merasa harus berhati-hati berinteraksi dengan Lea yang sangat rentan saat ini. Dia tidak siap menghadapi Lea yang sedih dan menangis. Biasanya cewek ini menjadi tempat curhatnya, penghiburannya, bahunya siap menanggung segala keluh kesahnya, Bukan kebalikannya.
"Balik, Os," suara Lea terdengar serak. Wajahnya tidak beralih dari jendela kaca. Osa bisa melihat pantulan wajah Lea dan matanya yang terpejam.Â
Osa menyentuh tangan Lea, kemudian terdengar cewek itu menghela napas cukup panjang.Â
"Baik," jawab Osa pendek, suaranya ikutan serak.Â
Mobil diarahkan kembali ke hotel tempat Lea menginap. Di perjalanan keduanya diam, Osa tidak berani mengatakan apapun karena takut Lea menangis lagi. Dia lihat sekilas barusan sudah tidak ada air mata mengalir.Â
Lea memilih diam. Dia menikmati suara kendaraan di jalanan, menikmati sepinya di dalam mobil tanpa suaranya dan suara Osa. Entah kenapa dia mulai merasa nyaman dengan suasana ini. Bahwa akhirnya Osa setuju membawanya kembali ke hotel membuat hatinya hangat.Â
Diamnya Osa tidak terasa aneh, malah bikin dia tenang. Matanya tetap terpejam.
Sampai di parkir hotel, Osa tetap tidak beranjak. Dia hanya mematikan mesin mobil. Dia tunggu Lea untuk bereaksi.
"Os," Lea masih serak. Kemudian dia berdehem, dia ingin ngomong lebih banyak. Dia merasa Osa siap mendengarkan apapun.
"Bagaimana kalau aku balik Jakarta besok?" perlahan Lea menoleh ke arah Osa. Sebenarnya dia tidak ingin mendapati reaksi Osa yang negatif. Perasaannya masih belum stabil. Tapi Osa penting, salah satu orang terpenting di hidupnya.
Dia lihat genggaman tangan Osa di setir menegang. Buku-buku jarinya terlihat jelas menggenggam erat, emosi yang tertahan. Wajahnya masih netral dan mau memandang balik ke Lea.
"Aku antar?" Osa menjawab singkat. Lea terkejut, bukan ini yang dia harapkan. Tapi Lea memutuskan untuk mengangguk saja. Dia sudah lelah untuk berdebat dan mengingatkan Osa pada tanggung jawabnya pada syuting penting ini.
Osa tidak hanya berencana mengantar Lea kembali ke Jakarta besok, dia juga mengantar Lea ke kamarnya saat ini. Dia ingin memastikan Lea aman dan nyaman.
Cowok itu ingin Lea tahu bahwa dia akan selalu ada untuknya. Dia raih tangan Lea, dia berikan genggaman sebagai teman. Genggaman itu tidak dia lepas sampai di depan pintu kamar Lea walau cewek itu sempat menariknya ketika melewati lobi. Untung Osa menahan erat, selanjutnya Lea tidak berusaha melepas lagi.
"Aku akan carikan kamu tiket terpagi," ujar Osa setelah Lea membuka pintu kamar dan kata-kata itu simbol pamitnya.
Tidak dinyana, Lea memeluknya erat, dalam diam. Osa membalasnya tapi tidak terlalu heboh walau dalam hati dia ingin menahan pelukan itu selama mungkin.
"Sorry, Os. Aku tidak bisa cerita sekarang, tapi aku janji suatu waktu aku akan memberi tahu kamu semuanya," kata Lea setelah pelukan itu berakhir. "Jangan khawatir, hari ini kamu sudah membuat memori baru untukku. Pertama kalinya hari ini kamu hanya diam di dalam mobil. Ternyata bisa."
Osa terbahak senang ketika melihat wajah nakal Lea ketika mengucapkan kalimat terakhir.
+
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H