Lea tahu, dirinya hanya kagum. Dirinya perempuan biasa yang suka dengan cowok cakep, keren, anak band, bisa main alat musik, romantis, dipuja banyak orang, pintar berbadan bagus, pokoknya Osa idola kesempurnaan seorang laki-laki.
Lea sangat sadar itu. dan dia menikmatinya sekarang. Tapi hanya stop, berhenti di situ.
Perlakuan istimewa Osa padanya dirasakan semenjak pertemuan mereka pertama kali. Setelah selesai pertunjukan, selalu Osa menelponnya. Dia tahu karena background suara musik lain masih terdengar di sela-sela teriakan telpon Osa. 'Aku tadi bikin riff baru, Lea' - itu salah satu laporannya.Â
Atau, 'Lea, Adam menjatuhkan stik drumnya, tapi nggak ada yang tahu, semua tetap lancar.'
Hal-hal kecil diceritakan Osa, sampai suatu saat Iva menelponnya untuk menjauhi Osa kalau tidak bisa setia. Iva manajer Osa yang sangat tahu pengaruh keberadaan dan respon Lea pada artisnya ini.Â
"Dulu Osa kuat, tidak terpengaruh apapun. Sekarang ada kamu, semua hidup Osa terpusat sama kamu, Lea," Iva berkata dengan dingin dan kalem, tapi itu malah membuatnya sangat serius dan penting. "Walau aku akui, kreativitas Osa melangit sejak bertemu kamu. Banyak penyanyi yang minta dituliskan lagu dan aransemennya. Itu bagus buat karir Osa, tapi tidak bagus buat kemandiriannya."
Lea tidak tahu harus menjawab apa, bahkan dia merasa tidak perlu menjawab apapun. Untung saja Osa masih menghargai identitas Lea sebagai pekerja. Cewek itu masih bisa menjalani rutinitasnya tanpa merasa terganggu dengan kebutuhan Osa.
Cowok itu hanya perlu didengarkan ketika menelpon.Â
"Lea, aku pesankan cake lemon kesukaanmu," suara Osa di sebelahnya memecah lamunan Lea. "Aku bisa romantis juga, kan?"
Lea hanya melotot tidak senang. Dia tidak suka ngomong tentang hal beginian.
"Ups, sorry, Lea, maksudku, aku baik, kan, ingat kesukaanmu dan membelikanmu ini?" Osa terlihat gugup melihat reaksi Lea yang negatif.