"Pencet saja, pakai speaker," Osa menatap ke jalan, dia sibuk mencari celah untuk masuk ke jalan raya.
"Hey, Bos," sapa Osa ringan.
"Kamu di mana?" suara Iva terdengar jauh.
"Sudah sama aku, Va," teriak Lea. Dia masih meneruskan memilih musik tapi sudah dipelankan volumenya.
"Oh fine, ingatkan dia untuk syuting malam. Jangan lupa istirahat. Lawan main dia kayaknya berat, sering diulang takenya," Iva tidak mau berlama-lama bicara. Yang penting secara hak dan kewajiban sudah dilakukannya sebagai manajer. Dia sedikit cemburu sama Lea, namun dia paling tahu arti cewek itu dalam hidup Osa. Jadi dia mengalah.
"Kamu mau istirahat?" tanya Lea menyelidik setelah mematikan telpon dengan Iva. Osa terbahak. Dia mengarahkan mobil ke sebuah cafe langganan mereka yang selalu sepi.
"Iya, istirahat di sini, dari hidup, sama kamu dan kopi," kata Osa. Dia mematikan mobilnya tapi tidak segera keluar.
"Ada apa, Os?" Lea tadinya siap membuka pintu mobil, tapi dia lihat Osa masih belum membuka seatbeltnya. Dia menyandarkan punggungnya ke jok mobil tua tapi masih bersih ini.
"Kamu betah di kampung, ya? Dan reuni sekolah cukup mengesankan? Bertemu sepupu yang lama tinggal di luar?" Osa tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya karena dari cerita Lea, dia tidak sekalipun rindu balik ke Jakarta.
"Iya. Aku ceritakan detilnya di dalam?" tanya Lea ragu karena terlihat Osa masih nyaman di dalam mobil.
"Tidakkah ada saudara kamu yang menanyakan aku?" Osa merasa tersingkir dari potongan hidup Lea.