"Ada Iva," jawab Lea pendek.
"Iva malah yang memberi aku target, masa kamu lupa?" suara Osa semakin melemah. Dia bersandar di dinding dan menatap Lea tanpa kedip, seakan tidak ingin cewek itu hilang dari pandangannya. "Tadi aku ketemu sutradara Nugie, dia ingin pakai aku di film kolosalnya."
"Wah, congrats," jawab Lea sambil memeriksa jamnya. The clock is ticking ... Lea sudah membayangkan kemacetan di depan apartemennya. Lalu dia beranjak pergi, dan sedikit berlari menarik kopernya yang terasa ringan.
"Lea!" Osa kaget dengan kecepatan Lea bergerak meninggalkannya. Lorong apartemen itu terasa panjang. Pikiran sendiri tanpa Lea sudah melemahkan tubuhnya. Osa tidak bisa bergerak cepat. Cewek itu sudah lenyap dari lorong, ke basement untuk menuju mobilnya. Cowok itu merasa jiwanya turut pergi. Dia seharusnya menahan Lea sejak dulu. Tubuhnya menjawab semuanya.
Selalu ketika merasa lelah habis syuting, beradu argumen dengan sutradara atau pemain lain, Osa selalu menghubungi nomor Lea. Dia tidak pernah sekalipun menyimpan nomor itu, dia selalu memencet sebelas angka yang sudah dihapalnya sejak pertama kali mendengar deretan itu dari Lea ketika mereka selesai ngopi yang pertama.
Cewek itu tidak melakukan apapun, hanya mendengarkan, hanya duduk di sebelahnya. Bahkan pernah Lea membaca buku ketika Osa protes tentang perlakuan penyanyi lain yang bikin cover lagunya. Tapi Osa tidak marah pada Lea yang tertawa membaca komik yang disukainya. Dia tenang hanya ada Lea di dekatnya.
Osa suka Lea tidak mau bertemu di tempat kerjanya. Dia tidak pernah bersedia datang di undangan premier filmnya. Katanya selalu ada acara lain, tapi Osa tahu Lea tidak suka publik. Itu yang membuat mereka nyaman. Tak seorang pun tahu Lea. Kecuali Iva yang tidak sengaja melihat Osa tertawa ketika menelpon dan merebut telponnya karena curiga. Dia baru pertama kalinya mendengar Osa tertawa lepas, dia ingin tahu siapa yang membuatnya begitu. Lea.
Sekarang setelah tiga tahun Osa mengenal Lea, hari ini pertama kali cewek itu akan pergi jauh, ke kota lain di ujung pulau. Lea tidak akan mudah ditemuinya kapan saja. Sebulan! Sehari tidak bertemu Lea saja bikin Osa tidak fokus, ini sebulan.Â
HP Osa berdering. Setelah beberapa deringan, Osa baru kuat untuk menjawabnya.Â
"Os, jalanan macet, kamu cerita dong sekarang sedang ngapain?" cicit Lea masuk ke gendang telinganya. Menghangatkan otaknya yang memunculkan dopamin yang melimpah.Â
Osa tersenyum. Osa tertawa terbahak-bahak, hanya Lea yang bisa memberi kejutan tak terduga seperti ini. Rentetan kata-kata Osa mengalir lancar, menceritakan naskah yang akan dia perankan beberapa minggu lagi. Lea menimpalinya dengan teriakan marah dan kaget pada lalu lintas yang memberinya lampu merah sampai empat kali di perempatan yang sama.