MEDIA SOSIAL DALAM KACAMATA SYARIAT
Berbicara tentang media sosial yang saat ini menjadi pegangan mayoritas orang. Pada zaman dahulu tidak ada istilah situs jejaring sosial atau yang populer di sebut media sosial, karena masyarakat zaman dahulu terselimuti oleh sifat keawaman atau jahiliah.
Seiring berjalannya waktu hingga munculah pemikiran-pemikiran baru dan suatu hasil pemikiran dari delegasi masa kini, berawal dari isyarat, surat-menyurat, hingga menduduki era media sosial seperti saat ini.
Media sosial seperti facebook, twitter, instagram, dan semacamnya telah banyak menyihir mayoritas masyarakat untuk bermedia sosial, dari kalangan anak kecil, remaja, hingga orang dewasa, hampir 99% masyarakat bermedia sosial.
Dalam bermedia sosial terdapat suatu dampak yang mana hal tersebut berpengaruh pada hukum media sosial perspektif islam. Banyak sekali manfaat atau nilai-nilai positif yang dapat kita ambil dari media sosial salah satunya ialah;
1). Dapat menghubungkan silaturrahmi dengan keluarga yang telah lama tidak bertemu.
2). Dapat memperluas pengetahuan dengan membaca berita atau informasi lewat media sosial.
3). Dapat berbisnis dengan orang-orang luar kota.
4). Dengan media sosial kita dapat berdakwah dan mensyiarkan ilmu agama islam kepada orang banyak. Namun dibalik nilai-nilai positif tersebut juga bisa timbul nilai-nilai negatif yang bertentangan yang tentunya tidak kalah banyaknya dengan dampak kepositifan tadi dikarenakan pengguna menyalah gunakan media sosial.
Contoh 1). Dari media sosial sering terjadi kejahatan, penipuan, serta tontonan pornogarafi atau pornoaksi. 2). Membuat orang malas dalam berkegiatan, kurang mandiri,dan kurang aktif dalam dunia nyata. 3). Dapat membuat orang lupa waktu, lupa dengan kegiatan yang harus di lakukan seperti ibadah, pekerjaan rumah tanggga, bekerja dan lainnya, karena mereka terlalu asyik bermedia sosial.
Lantas bagaimanakah pendapat syariat terkait media sosial yang dilandasi oleh dampak positif dan negatif tersebut? Mari kita ulas sedikit pembahasan dari problem diatas.
Ternyata masih banyak di temukan ketidakpahaman seseorang dalam menetapkan suatu hukum, dengan munculnya media sosial ini ada kalangan yang menganggapnya halal, mubah, atauh haram. Tanpa mereka kaji secara mendalam problematika yang di lihatnya itu.
Pernyataan bahwa media sosial diharamkan dalam islam karena banyak sisi negatifnya merupakan sesuatu yang sangat disayangkan dan kurang bijak. Sebelum membahas suatu hal itu halal atau haram maka sangatlah dibutuhkan dalil naqli dan aqli serta perpaduan diantara keduanya yang paling kuat dan mendukung hal tersebut.
Dalil naqli adalah dalil yang berdasarkan A-Qur'an dan Hadis, sedangkan dalil aqli adalah yang berdasarkan "akal sehat" adapun perpaduan antara keduanya ijtihad dan qias. Dalam perpaduan mengenai kedua hal ini salah satu yang paling utama diketahui adalah definisi, apa definisi media sosial secara etimologi, dari definisi tersebut kemudian dikaitkan dengan apa yang tertulis di dalam Al-Qur'an dan Hadis.
Ada satu kaidah fiqih yang menjelaskan bahwasanya segala sesuai itu hukumnya mubah selagi tidak ada dalil yang mengharamkannya. Entah itu perbuatan atau tingkah laku, bisa juga berupa benda dan lain-lain.
"asal dari segala sesuatu adalah mubah, selama tidak ada dalil yang mengharamkannya."[1]
Asal suatu perbuatan terikat dengan hukum syara', bukan mubah atau haram. Para ulama' juga mengeluarkan rumusan tentang perbuatan manusia. Salah satu rumusan tersebut ialah Qowa'idul fiqh:
"Hukum pelantara (media) itu mengikuti hukum tujuannya"[2]
Bukan mubah atau haram. intinya mengajak manusia berhati-hati dalam melakukan suatu perbuatan dengan cara menyesuaikan perbuatan tersebut pada hukum syara'. Dan pada dasarnya media sosial adalah tergantung pemanfaatannya. Kalau dimanfaatkan untuk perkara yang sia-sia dan hanya membuang-buang waktu, begitu pula jika media sosial digunakan untuk perkara yang haram, maka hukumnya pun menjadi haram.
Jangan menganggap sepele hukum suatu perbuatan dengan menyatakan semua 'serba boleh' atau mubah. Dan juga jangan tergesa-gesa menolak suatu perbuatan dengan menyatakan haram. Yang benar adalah mencermati suatu perbuatan dengan sesama dan detile, setelah itu baru mengemukakan hukumnya, dan melakukan perbuatan seperti hukum yang ditemukan itu.
Dengan demikian yang harus dimunculkan ketika seseorang akan memanfaatkan medsos adalah menyadari keterkaitannya dengan hukum syara', jangan berfikir bahwa karena hukum medsos halal, maka semua pemanfaatan medsos juga halal. Tidak seperti itu.
Demikian juga jangan tergesa-gesa menyatakan haram, walaupun medsos itu digunakan untuk hal negatif. Ketika akan memanfaatkan medsos, ingatlah bahwa semua perbuatan, termasuk memanfaatkan akan dimintai pertanggung jawaban di akhirat kelak.
Demikian juga ingatlah bahwa semua perbuatan termasuk memanfaatkan medsos harus sesuai dengan ajaran agama islam. Akan lebih baik apabila kita mau berpikir dan menyadari bahwa hukum asal penggunaan medsos adalah tergantung dari tujuan pengguna.
Media sosial itu ibarat pisau. Ditangan seorang ibu, sebilah pisau sangat bermanfaat ketika digunakan untuk memotong bahan-bahan yang akan ibu masak, atau ketika seorang ibu ingin membuat masakan, fungsi sebagai alat pemotong akan sangat dibutuhkan. Seperti memotong ikan, tempe, sayur, tahu, dan keperluan dapur lainnya.
Namun, beda ketika sebilah pisau berada ditangan seorang penjahat yang sedang beraksi (pembunuhan, perampokan,dan lain-lain). Pisau tidak akan lagi digunakan untuk memberi manfaat. Tapi akan memberikan dampak buruk, bahkan kematian bagi penjahat tersebut maupun orang lain.
Wallahua'lam....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H