Mohon tunggu...
Yanna Uzlifa
Yanna Uzlifa Mohon Tunggu... -

Berpikir besar kemudian bertindak I Ilmu Komunikasi 2013

Selanjutnya

Tutup

Politik

Duka Jakarta dan Kabar Divestasi Saham Freeport Hari Ini

15 Januari 2016   01:47 Diperbarui: 18 Januari 2016   13:57 335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Namun, ada beberapa hal yang perlu menjadi pertimbangan dalam menyikapi “Divestasi 10,64% Saham Freeport” yang ditawarkan kepada pemerintah Indonesia :

1.       Pro Kontra Keberaadaan Freeport di Indonesia

Siapapun tahu, bahwa Freeport memiliki keleluasaan dalam melakukan aktifitasnya sejak tahun 1967 di Indonesia. Dan semenjak itu pula, pro kontra masyarakat Indonesia menolak kebebasan dan hak Freeport mengelola tambang di Garsberg Papua hingga hari ini.  kekayaan alam yang seharusnya dinikmati oleh rakyat negeri hari ini, dengan angkuhnya dieksplorasi oleh perusahaan asing, dengan royalty yang tidak seberapa didapatkan. Apalagi, kemiskinan yang semakin merajai tanah papua begitu berbanding terbalik dengan kekayaan Freeport yang didapatkan dari bumi Papua. Menurut data BPS, tingkat kemiskinan di kabupaten sekitar pertambangan mencapai 31%, di mana angka ini merupakan angka kemiskinan tertinggi di antara seluruh kabupaten  di Papua (Akhir, 2015). Sungguh ironis bagaimana kekayaan sumber daya alam di Papua tersebut justru dinikmati oleh orang-orang asing, sedangkan warga yang tinggal di daerah yang kaya tersebut banyak yang masih hidup dalam kemiskinan. Menjadi hal yang wajar jika hingga hari ini, Indonesia menuntut kedaulatannya atas tanah emas yang diinjak PTFI di Papua.

2.       Pelanggaran Kesepakatan PT. Freeport Indonesia di Indonesia

Perpanjangan MoU dengan Freeport, menunjukkan sikap kurang tegas pemerintah dalam menindak Freeport yang jelas-jelas tidak menunjukkan komitmennya selama ini dalam melaksanakan poin-poin yang telah disepakati. Sementara, masyarakat semakin meresahkan peluang terjadinya perpanjangan kontrak Freeport karena semakin meluasnya kerusakan lingkungan, dan eksploitasi kawasan pertambangan oleh Freeport yang telah merusak lingkungan dengan membuat lubang tambang di Grasberg dengan diameter lubang 2,4 kilometer pada daerah seluas 499 ha dengan kedalaman mencapai 800 m2 . Dampak lingkungan yang Freeport berikan sangat signifikan, yaitu rusaknya bentang alam pegunngan Grasberg dan Ersbeg. Kerusakan lingkungan telah mengubah bentang alam seluas 166 km2 di daerah aliran sungai Ajkwa. Selain itu, Freeport masih melakukan ekspor konsentrat yang secara finansial hanya menguntukan pihak mereka saja, dan menyalahi kesepakatannya dengan pemerintah Indonesia.

3.       Divestasi sebagai syarat perpanjangan kontrak karya PTFI di Indonesia

Freeport Indonesia pertama kali mengadakan perjanjian kokntrak karya dengan pemerintah Indonesia pada tahun 1967 yang diperbaharui pada 1991. Kontrak karya PTFI atau hak mengelola tambang di Grasberg Papua akan berakhir pada tahun 2021, tapi dapat diperpanjang 10 tahun sesuai kesepakatan. Sementara, pelepasan saham Freeport ke pemerintah merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan perpanjangan kontrak pertambangan Grasberg, Mimika, Papua. Lantas, apakah kewajiban PTFI melakukan divestasi saham 30% sebagaimana tertera dalam PP. No. 77 Th. 2014 merupakan salah satu langkah untuk melakukan perpanjangan kontrak karya pada 2021 esok? Nah, inilah kawan yang perlu bersama-sama kita kawal. Jangan sampai, pelepasan 30% saham PTFI kepada pemerintah Indonesia merupakan salah satu persyaratan perpanjangan kontrak Freeport pasca tahun 2021. Setiap kesepakatan dan kebijakan pemerintah kepada para investor dan perusahaan-perusahaan Asing di Indonesia harus selalu kita kaji, apakah benar-benar kebijakan itu untuk kesejahteraan rakyat? Ataukah hanya untuk memenuhi kepentingan pihak-pihak yang berkuasa?

4.       BUMN butuh modal Rp. 15,42 Triliun untuk mendapatkan 10,64% saham PTFI. Uang darimana?

Menurut Simon Sembiring, pengamat pertambangan yang juga mantan Dirjen Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, dana yang diperlukan pemerintah jiika ingin menyerap 10,64% saham PTFI mencapai Rp. 15,42 Trilliun. Bila dibandingkan dengan pendapatan yang diterima negara dari PTFI, makan angka tersebut lebih dari dua tahun pendapatan pemerintah dari PTFI. Artinya, pemerintah harus mengorbankan waktu dua tahun penerimaan pendapatan dari PTFI untuk memiliki 20% saham PTFI. Itu saja tidak ada jaminan pemerintah mendapatkan deviden reguler, karena pemerintah Indonesia bukan pemilik saham mayoritas.

Sementara, Menteri BUMN Rini Soemarno dikabarkan akan mendorong dua BUMN, yaitu PT Aneka Tambang (ANTAM) dan PT Indonesia Asahan Alumunium (INALUM) untuk mengambil saham yang dilepas dari Freeport McMoran Inc tersebut. Namun, menyimak kemampuan kedua BUMN tersebut untuk mengambil divestasi saham PTFI, dirasa cukup berat. ANTAM memiliki aset sebesar Rp 22,55 Trilliun per-Juni 2015. Apalagi, aset Inalum yang hanya Rp 13,56 Trilliun per akhir 2014, lebih kecil dibandingkan aset ANTAM. Sehingga, pertimbangan aset BUMN yang masih belum cukup kuat untuk mengambil alih saham PTFI, apakah sanggup dan tidak lagi akan menambah pinjaman?

5.       Kembali kepada amanat pasal 33 UUD 1945 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun