Mohon tunggu...
Fauziah Kurniasari
Fauziah Kurniasari Mohon Tunggu... Penulis - Author/Health Humanities and Arts

Expanding new interest in Health and Medical Humanities, including its relevancy to Arts, Social Sciences, Anthropology, and Literature.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pria Satu Kata

21 Oktober 2024   11:38 Diperbarui: 30 Oktober 2024   19:00 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ayahku adalah pria dengan satu kata. Ia jarang sekali bicara. Sekali bicara hanya "Ya" dan "Tidak" atau satu kata lainnya. Ibuku bilang, mungkin ayah terlalu lelah bekerja. Tapi kupikir, mungkin ia hanya merasa tidak perlu banyak berkata-kata.

Baru ketika aku mati, kudengarnya banyak bicara. Hingga aku terkejut dengan sisi lain ayahku yang baru pertama kudapati itu. Di hari kematianku dan hari-hari setelahnya, pria satu kata itu berubah menjadi seorang pembual ulung.

Ia berkata kepada bibi penjaga warung. "Betapa hebat anakku semasa hidupnya. Merakit mobil dan menerbangkannya, membuat seluruh jalanan menengok kagum padanya!" Bibi itu hanya tertawa. 

Lain hari, ia berkata pada kawannya di proyek bangunan. "Anakku semasa hidup, giat bekerja. Tak pernah meminta uang dan rajin bersedekah." Dan kawannya itu tertawa lalu menyuruh ayah untuk pulang segera dan beristirahat.

Jika aku masih hidup dan mendengarnya, mungkin aku akan malu. Tapi itu tidak mungkin. Karena jika aku masih hidup, ia tidak akan banyak bicara seperti itu. Jika aku masih hidup, ia masih akan menjadi pria dengan satu kata yang penuh rasa malu akan diriku. 

Semasaku hidup, aku hanya berbaring. Aku lumpuh sejak lahir. Tapi aku bisa berpikir. Hanya saja sulit untuk kuungkapkan pikiranku melalui mulutku. Karena aku juga bisu. Otot-otot bibirku selalu kaku. Tapi aku bisa sedikit menggunakan tanganku. Walau untuk menggerakkannya aku harus bersusah payah. Aku juga bisa menulis. Ibuku yang mengajariku. Aku juga diajarinya menggambar benda-benda yang tak pernah kulihat langsung seumurku hidup sampai aku mati. 

Imajinasiku semasa hidup sungguh liar karena aku tak pernah keluar. Kupikir di luar sana orang-orang bisa terbang. Karena sesekali kudengar saudaraku bilang ia baru saja kembali terbang dari negeri seberang. 

Maka sekali itu pula kutanyakan melalui tulisan pada ayahku, "Apa orang-orang selain diriku yang lumpuh ini bisa terbang?" Dan Ayah menjawabnya "Ya.", tanpa memberi penjelasan lebih jauh lagi. Baru setelah aku mati, aku tahu orang-orang tidak bisa terbang seperti yang kubayangkan.

Mungkin ayahku terlalu malu untuk membawaku keluar. Ia hanya membaringkanku di dipanku dan sesekali mendudukkanku bersandar pada bantal-bantal yang ditinggikan. 

Setiap hari aku hanya menunggunya pulang untuk disuapinya makan berlauk garam. Ibuku sudah meninggal beberapa lama lalu karena kelelahan mengurusku. Dan saudaraku bekerja di negeri seberang. 

Begitulah aku semasa hidup. Tidak ada yang bisa banyak-banyak kuceritakan. Hanya berbaring di ranjang seorang diri dan bergolak dengan pikiran-pikiran imajinasiku saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun