Warung kopi di Pontianak, saat matahari tak menampakkan diri selalu ramai dikunjungi. Meja dan kursi digelar dari depan warung memenuhi halaman sampai trotoar Jalan Gajah Mada. Fasilitas wifi jadi pemikat para pengunjung untuk membawa laptop kemudian menikmati kopi dan penganan kecil sambil internetan. Hingar bingar warung kopi terasa khas di malam hari. Kawan lama dan teman baru telah duduk mengelilingi dua meja yang digabungkan, persis di tepi trotoar jalan. Kopi dan penganan kecil terhidang, omongan basa-basi mulai meluncur dari mulut masing-masing.
“Ooy… waaak, jangan habiskan obrolan serunya, aku baru datang niii..!” Ada teriakan dari jalan hampir mengalahkan suara hilir mudik kendaraan.
“Aah… Bocaaaw… kemarilah, bawa kursi kau tu..!” Am melambai dan menunjuk satu kursi di seberang meja. Ternyata yang baru datang itu Bocaw alias Dri ahli taksonomi tumbuhan yang berbadan subur. Peserta kongkow di warung kopi makin marak setelah kedatangan Yon yang tiba hampir berbarengan dengan Yun, bos salah satu Yayasan Konservasi di Kalbar. Kami ber haha hihi cerita-cerita pengalaman masing-masing.
***
Obrolan haha hihi berubah tema menjadi agak serius [tentu saja serius di level obrolan warkop] tentang meningkatnya kesadaran beberapa pengusaha perkebunan sawit anggota RSPO untuk menjadikan sebagian arealnya yang mempunyai nilai konservasi tinggi alias high conservation value (HCV) menjadi kawasan yang tidak dibuka untuk perkebunan. Pertanyaannya, “Apakah wilayah semacam ini nantinya dikategorikan tanah terlantar oleh BPN?”
“Apa? Terlantar? Yang bener aja…. HCV di kebun atau calon kebun itu secara fisik hutan yang bagus… kalo di lahan gambut biasanya hutan habitat orangutan dan kaya biodiversity, terlantar gimana?” Teman-teman dengan jiwa konservasi tinggi, seperti biasa kalau disuguhkan hal seperti ini selalu mengulang-ulang pertanyaan yang sama bernada protes. Konotasi tanah terlantar… tentu saja jelek, dan mereka ngak rela hutan yang bagus dikategorikan terlantar, gitu lah.
Kertas-kertas oret-oretan mulai berserakan di meja di sela-sela gelas kopi, dan piring penganan. Diskusi baru beberapa menit berlangsung tapi kertas putih di antara kami sudah mulai terisi coret-coretan ngak tertata rapih dan gambar sketsa dalam macam-macam bentuk… kotak, lingkaran, garis, dan titik-titik… bahkan buletan berisi dua titik dan satu garis melengkung… Smiley..!
“Undang-undang? Peraturan? Hehehe… tunggu aku lihat database” Yon mengeluarkan laptop, konek ke wifi kemudian googling database peraturan perundangan. Jreeng…!
“Penertiban tanah terlantar… PP no. 11/2010”, Yon membacakan hasil temuannya di internet.
“Ahooy… di situ tidak dijelaskan definisinya, coba lihat di Peraturan Kepala BPN Nomor 4 tahun 2010”, Fif menimpali.
“Ok..”, Yon merengut sambil memijit-mijit tuts keyboard laptopnya, kemudian menggumam…
“Hmmm… peraturan Kepala BPN ini menyebutkan bahwa tanah terlantar adalah tanah yang sudah diberikan hak oleh negara berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya, begitoooh kawan-kawan sekalian… hehehe”.
“Oke, sekarang cari PP no. 40 / 1996”, Fif melanjutkan permintaannya
“Bentar…, nah ini dia…”, Yon membaca pasal-pasal berkaitan dengan pelekatan hak atas tanah itu untuk kami… kemudian matanya menerawang… menggumam ngomong sendiri, “Hmm…, usaha perkebunan sawit biasanya berada pada tanah dengan status Ijin Lokasi atau Ijin Usaha Perkebunan, atau dengan status HGU. Dua yang pertama termasuk kategori tanah yang sudah diperoleh dasar penguasaannya tetapi belum diperoleh hak atas tanahnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sedangkan status tanah dengan sertifikat HGU jelas telah memiliki hak untuk diusahakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
“Tuuuhhh…. PP no. 40 tahun 1996 menyebutkan bahwa HGU diberikan untuk usaha yang terdiri dari pertanian, perkebunan, perikanan dan atau peternakan sesuai peruntukan dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya. Artinya, pada sebidang tanah dengan
HGU yang diberikan untuk usaha perkebunan sawit harus dijadikan areal perkebunan sawit, kan? Tidak boleh disisakan hutannya gara-gara HCV…” Yun melemparkan pendapat.