/1/
lelakiku,Â
Membaca tiap kata yang kau tulis dengan tinta darah dari luka menganga yang tak sengaja ku toreh padamu tempo hari, membuat hatiku pilu.
Melati yang kutanam kala itu bukan tuk membuatmu menjadi kelabu, suci dan putih kala itu dalam fikirku, kan buat kita menjadi satu selamanya.
Berkembang dari kuncup hingga akhirnya kan menyatu bersama bumi. Namun waktu tak sejalan dengan langkah kaki kita, rambutku pun kini tak terkepang lagi, Sayang. Lelah dan sakit terus terikat dan terkekang. Kini kubiarkan ia terurai : Cinta kita telah terurai , Sayang
/2/Â
Lelakiku,Â
Tahukah kau, tiap kenangan yang terukir dalam perjalanan kita kala itu tak dapat menghilang begitu saja. Tiap kenangan itu tetap membekas erat dalam aliran darahku. Hanya saja aku tak ingin bertahan dalam kenangan. Karena kenangan hanya kan jadi kenangan, tak kan terulang.Â
/3/Â
Lelakiku,
Jika fikirmu hanya pisaumu saja yang terlumur dengan air mata duka hingga mengental dan membuatnya berkarat, ku rasa tak sepenuhnya benar. Kau tak pernah tahu tiap malam ku terlelap dalam lautan air mata, yang membuat ku tenggelam tak bernafas. Kau tak pernah tahu tatapan kosong kala menatap sisi kosong dari tempat tidurku, dimana dahulu tempatmu terlelap. Tak pernah ada elang yang merebutku tuk terbang menjauh darimu, Sayang. Tak pernah ada. Hanya saja, jemari kita yang dahulu terpaut rasanya semakin merenggang. Pasir tak pernah bisa bertahan dalam genggaman kala tak tergenggam, kala itu cinta kita terbuang.Â
/4/Â
Lelakiku,Â
Tak sadarkah kau, bahwa kenangan kita sedikit demi sedikit terhapus tak sengaja dari fikirmu. Hingga kau bisa melupakan kebiasan pagi kita, secangkir kopi hitam dan setangkup roti bakar manis yang selalu ku siapkan tuk sarapan pagimu. Ritual pagi yang tak pernah kita lupakan, tapi kini tak kau lakukan lagi. Hanya tuk alasan ingin menghapus lukamu. Ritual itu memang harusnya terhapus.Â
/5/Â
Lelakiku,Â
Lolongan anjing dan srigala itu telah biasa kita dengar. Lupakah kau bagaimana kau memelukku tiap malam, saat aku menggigil ketakutan mendengarkan suara mereka. Dan katamu kala itu "Tenang, mereka sedang menyanyikan lagu tidur untuk kita"Â . Mengapa kini kau membencinya? Tak ada elang itu, Sayang. Bagaimana bisa kau temukan bayangannya kala wujudnya pun sebenarnya tak nyata. Tak pernah ada.Â
/6/Â
Lelakiku,
 Mungkin bukan tempatku tuk memintamu menyerah. Letakkan pisau belati itu, buang lah sejauh mungkin hingga hilang dari pandangan. Pisau itu bukan hanya menghunus jantungmu. tetapi membunuhku perlahan (Aku mati perlahan, Sayang)
jawaban atas puisi https://www.kompasiana.com/adhyepanritalopi/54f83cf6a333111c5f8b4763/suara-hati-lakilaki-pecinta-luka by :Â Adhye Panritalopi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H