Jadi, sangatlah jelas, ditinjau dari teori di atas, kemerdekaan belajar menjadi sangat "urgent" sifatnya. Indonesia, di tahun 2045, memerlukan generasi emas sebagai bonus demografi.Â
Generasi emas yang dimaksud adalah generasi yang bukan hanya sekedar menguasai "pengetahuan tentang". Tapi, generasi yang memiliki "kemampuan untuk". Mas Menteri menyebutnya sebagai generasi yang memiliki kompetensi, bukan kemampuan menghafal.Â
Generasi yang memiliki kemampuan nalar dan literasi yang tinggi. Teori tersebut di atas menjelaskan bahwa, kemerdekaan belajar yang diberikan kepada siswa, akan dapat membangun atau mengembangkan kedaulatan dan tanggung jawab diri pribadi siswa.Â
Kedaulatan dan tanggung jawab inilah yang menjadi modal besar bangsa untuk memiliki generasi yang menentukan tujuan (goal setting), mengambil keputusan (decisions) dan mengambil tindakan (actions).Â
Tantangan selanjutnya adalah, "Bagaimana bangsa ini menyediakan guru-guru kompeten yang dapat memberikan kemerdekaan belajar?". Mas Mendikbud, meberikan solusi sederhana, yaitu: "Mulailah dari melakukan perubahan kecil" yang dilakukan oleh "guru penggerak".Â
Kalimat ini mengisyaratkan bahwa, mengubah paradigma belajar dan membelajarkan sebagai guru penggerak harus dengan pendekatan yang sangat efektif dan efisien yaitu modeling, modeling dan modeling. Artinya, contoh perubahan kecil oleh guru-guru penggerak akan memberikan efek bola salju. Hasilnya, dapat diprediksi, akan luar biasa.Â
Mas Mendikbud seakan ingin menyampaikan pesan bahwa pendekatan lama sudah kuno. Pendekatan lama, melalui pelatihan dan penataran, tidak efektif, bahkan justeru menghabiskan, tenaga, waktu dan biaya yang sangat besar. UNESCO (2005) menyatakan bahwa pendekatan "to push" (dipaksa untuk melakukan walau perubahan kecil dan sederhana) lebih efektif , bahkan lebih efisien, dibandingkan dengan pendekatan "to pull" (sejenis pelatihan/penataran) yang tidak dirancang, dikembangkan dan dilaksanakan dengan baik.Â
Meningkatkan kinerja guru, dalam perspektif teknologi pendidikan, bisa dilakukan dengan berbagai intervensi. Pelatihan, apalagi penataran, bukan satu-satunya intervensi.Â
Oleh karena itu, mari kita berlomba-lomba untuk hijrah melakukan perubahan-perubahan kecil. Perubahan kecil tersebut, kita viralkan melalui berbagai saluran komunikasi yang ada. Maka, lihatlah dalam sekejap, kita akan memiliki model-model pembelajaran yang memberikan kemerdekaan belajar kepada siswa.Â
Lee & Hannafin (2016) dalam artikelnya yang berjudul, "A design framework for enhancing engagement in student-centered learning: own it, learn it", Â memberikan resep sederhana. Memfasilitasi "kemerdekaan belajar" bisa terjadi dalam kelas dapat dilakukan dengan tiga langkah, yaitu own it, learn it, dan share it.Â
Own it, maksudnya adalah upaya guru memfasilitasi siswa membangun rasa memiliki terhadap pemeblajaran yang akan terjadi di kelas. Setidaknya ada tiga langkah yang dapat dilakukan guru. Pertama, endorse external goal, secara rasional kaitkan tujuan dengan konteks.Â